Sepasang mata itu menatap nyalang ke arahku dan Bu Pertiwi. Aku mengusap wajahku kasar. Rasanya aku sudah kehilangan daya untuk meladeni kemurkaan Aluna yang sudah siap menyembur. Kulihat wajah Bu Pertiwi yang sedikit menegang. Hanya saja tak ada kegentaran yang begitu kentara. “Bu, perlukah Ibu kuingatkan apa yang bisa orangtuaku lakukan jika mereka tahu anaknya diperlakukan securang ini oleh Ibu dan Mas Giandra?” Suara Aluna terdengar pelan namun penuh penekanan. Bahkan sikapnya itu menunjukkan dirinya sedang mengintimidasi mertuanya. Wanita itu duduk tanpa kupersilahkan. Bahkan yang membuatku terheran, kakinya langsung disilangkan tanpa rasa segan sedikit pun di depan sang mertua yang kali ini lebih memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. “Kita sudah membahasnya kemarin. Apakah Ibu lupa? Atau…perlu kupanggil Ayah mertua kemari? Bukankah kemarin kita sudah sepakat…”“Bukan aku yang sepakat, tapi kau dan suamiku!” Suara Ibu bergetar. Aku hanya diam melihat pertikaian yang mula
Minggu pagi ini aku sengaja meliburkan diri dari sekian banyak aktivitasku di restoran dan kafe. Kuhubungi orang-orang kepercayaanku di sana. Pak Rama yang sebenarnya hari ini meminta waktu untuk bertemu pun terpaksa kugagalkan. Aku benar-benar menginginkan waktu intens bersama Bintang. Anakku itu pun amat antusias saat aku mengatakan padanya hari ini ibunya sengaja mengosongkan waktu demi menemaninya berjalan-jalan di sebuah perbelanjaan ternama di kota ini. Mbak Tini pun sudah kuminta untuk libur dan kuizinkan dia pulang ke rumahnya untuk bertemu keluarganya. Dia yang tulang punggung keluarga sama sepertiku pun butuh kebersamaan dengan keluarga dimana kebahagiaan mereka pun tengah diusahakannya. Senyum wanita itu tak pernah lepas saat membantu anakku memakai pakaian yang sudah kusiapkan untuk menghabiskan waktu di luar. Bibirnya tak berhenti merapalkan petuah panjang lebar untuk putraku. Aku tersenyum geli. Wanita itu bahkan sepertinya lebih cerewet dari yang kukira. Mungkin ked
Pertemuan Dengan Lelaki Asing Kutatap lekat-lekat anakku yang lahap menyantap ayam tepung di salah satu gerai makan siap saji. Tadinya aku ingin mengajak Bintang ke tempat lain yang sudah kurekomendasikan dan awalnya dia setuju, tetapi saat indra penciumannya menghirup aroma gurih dari makanan tersebut akhirnya pilihannya berbalik. Rasanya sudah lama sekali aku tak menghabiskan waktu santai seperti ini bersamanya. Ada rasa sedih, namun ketika teringat bahwa semua yang kulakukan adalah untuk kebahagiaannya membuatku cukup menerima keadaan yang harus kujalani ini. Jika bukan aku yang mengusahakannya, maka siapa lagi?“Mbak Rindu?” Aku menoleh cepat. Ternyata Pak Rama, dengan seorang wanita yang kutaksir adalah istrinya. Aku mencoba beramahtamah dengan wanita itu dengan mengulurkan tangan ke arah wanita itu.“Saya Kemala, istri Mas Rama,” ucapnya dengan senyum yang mengembang. Ini kali pertama kami bertemu setelah sekian waktu mengenal investor pembangunan kafeku itu. Kukenalkan dir
Deg. Om Satya lagi?Kenapa anakku mendadak aneh seperti ini?Apakah kehilangannya akan sosok itu membuatnya berhalusinasi?“Bintang…Jangan ngomongin Om Satya terus. Nanti kalau urusannya selesai juga pulang. Bintang doakan Om Satya ya.” Aku mengusap lembut kepala anakku. Ada rasa miris, namun buru-buru kuhentikan laju perasaanku agar tak makin berlanjut. “Sepertinya Bintang sangat dekat dengan Pak Satya,” ujar Mbak Kemala dengan cukup hati-hati. Aku hanya menimpalinya dengan senyum karena memang tak tahu harus menjawab dengan jawaban seperti apa. Bintang dan Satya bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Bunyi dering ponsel Mbak Kemala membuatnya segera meraih benda pipih itu. Aku masih sempat melihatnya menampilkan raut wajah aneh, namun buru-buru kualihkan tatapanku ke arah ponsel yang juga berbunyi menandakan sebuah pesan masuk ke dalam sana. Sebuah pesan dari Putri, salah satu pegawai yang membantuku di kafe. [Mbak, ada Mbak Andira. Dia nyari Mbak R
Kucermati barisan tulisan yang tertera dari laporan keuangan yang disodorkan padaku. Mataku membesar seiring angka-angka bernilai fantastis itu seolah meluruhkan rasa lelah yang akhir-akhir ini hampir membuat tubuhku tumbang. Rasanya aku hampir tak percaya bahwa pencapaian bulan ini benar-benar melampaui target penjualan. Kedatangan beberapa foodvlogger nampaknya berpengaruh cukup signifikan dengan penjualan produk baik di restoran maupun kafe yang baru buka satu bulan yang lalu itu. Meski harus ada sedikit drama karena beberapa pelaku industri digital itu yang didominasi anak muda itu harus diperlakukan bak raja. Namun tak masalah, selagi permintaan mereka masuk akal dan tetap menerapkan sopan santun aku pun tak keberatan. Beberapa dari mereka sudah kutandai, bahkan mereka yang juga terkesan dengan makanan di kedua tempat usahaku ini tanpa ragu memberikan review cukup memuaskan sesuai harapanku. “Mbak. Ada tamu,” ucap Putri sesaat setelah ketukan pintu terdengar. Aku mengingat-in
Mataku masih tertuju pada sedan mewah berwarna hitam yang perlahan-lahan meninggalkan halaman restoranku. Laki-laki yang akhirnya kutahu bernama Guntoro Adyatama itu masuk ke dalam mobil setelah seorang laki-laki yang memakai jas warna hitam membukakan pintu mobil untuknya. Tanpa menoleh padaku sekalipun, lelaki itu masuk ke dalam kendaraannya hingga kini menghilang, berbaur dengan puluhan mobil lain di jalanan. Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kuhadapi. Pertemuan kurang dari setengah jam itu menyisakan tanda tanya dan perasaan tak habis pikir. Apa yang dikatakan oleh Pak Guntoro membuatku kaku seketika. Kisah tentang Satya menjadi satu-satunya alasan mengapa lelaki itu bergerak menemuiku. “Berapa lama mengenal Satya?” Lelaki dengan garis-garis halus di sekitar matanya itu menatapku dengan pandangan membidik tajam. Beruntung aku masih bisa mengendalikan diriku agar tetap bersikap tenang meski tanpa banyak berkata pun lelaki itu mampu mengintidasiku. “Satu tahun? du
“Hai, Mbak.” Senyum Andira merekah. Kupaksa bibirku melengkungkan senyum. Andira mendekat dan mencium kedua pipiku. Agak kaget dengan sikapnya yang terkesan friendly. Atau memang beginilah sifat aslinya. “Bintang nggak ikut, Mbak?” Lagi-lagi dia menanyakan sesuatu seolah kami sudah mengenal lama. Kurasa Satya yang menceritakan perihal kami padanya. Sedekat itukah mereka? Hatiku rasanya tercubit. “Bilang sama Bintang ya, Mbak. Kupinjam dulu Om Satyanya. Agak sebal juga sebenarnya, bisa-bisanya tiap saat yang dia bicarakan adalah Bintang.” Tawanya pecah. Entah di bagian mana yang lucu. Jangan tanya hatiku saat ini. Semacam luka yang tak kasat mata. Bibir bersemu merah alami itu benar-benar tak lepas dari senyumannya. Perlahan-lahan jiwa kotorku menggeliat. Ada rasa tak suka padanya. Namun buru-buru aku menepis pikiran itu agar tak makin menguasai diriku. “Dia sering cerita Mbak Rindu dan Bintang. Terima kasih ya, sudah menemaninya selama ini. Sayangnya mungkin beberapa waktu ke de
Kulihat dengan tatapan nanar anak lelakiku yang kini meloncat penuh kegirangan di atas tempat tidurnya. Bintang menciumi hadiahnya yang kutaksir berharga jutaan rupiah. Ada rasa kesal yang sulit sekali kuterjemahkan. Dulu, aku selalu melayangkan protes pada Satya yang selalu menuruti keinginan Bintang. Tak hanya itu, bahkan lelaki itu melimpahi anakku dengan hal-hal yang sebetulnya tidak diperlukan. Aku tak ingin Bintang tumbuh menjadi anak manja yang terus-menerus mendapatkan barang-barang mewah. “Bintang. Jangan pernah meminta apapun lagi pada Om Satya.” Kalimatku membuatnya berhenti meloncat-loncat. Tubuhnya membeku. Bintang anak yang perasa. Dia paham dengan perubahan wajahku yang tidak seperti biasanya ini. Tak lama dia beringsut, bergerak mendekatiku yang duduk di tepian tempat tidurnya. “Mama kenapa? Apakah Mama sakit?” tanyanya sambil menyentuh keningku. Hangat. Aku tak kuasa menahan laju air mata yang tiba-tiba menerobos pertahananku. Kuraih tangan kecil itu dan menciumny