Celin kembali ke rumah Evan, mereka sudah menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi, Evan mengaku sangat bersalah, sementara Celin tidak begitu antusias membahasnya, ia tidak berjanji akan memberi kesempatan seperti yang diinginkan Evan, tapi tidak juga menseriusi masalah perceraian yang ia niatkan. Tapi jika ia mendapat tekanan dan perlakuan berlebihan lagi, ia tidak akan sungkan untuk melakukannya, saat ini prioritasnya adalah kenyamanan saja, ia hanya bertahan karena masih merasa aman dan jauh di dalam hatinya ia takut berstatus janda. Masalah percintaan ia sudah tidak peduli lagi. Celin terpaksa izin tidak masuk bekerja, bosnya juga tidak mempermasalahkan, sementara Evan tetap pergi karena ada rapat penting. Ia sangat bosan hanya berdiam diri di rumah, ia merasa kembali seperti di awal pernikahannya dua tahun yang lalu, sangat menyakitkan jika mengingatnya, ia tidak melakukan apapun karena ingin fokus mengurus rumah tangganya, ia memasak setiap hari untuk Evan, namun Evan ti
Beberapa hari kemudian, Celin merasa lebih kesepian dari sebelumnya, mungkin karena beberapa hari yang lalu, ia menghabiskan banyak waktu dengan Evan. Setelah dipikir-pikir ternyata ia masih rindu seperti sebelumnya, tapi ia menekan dirinya untuk berharap. Ia sudah jengah diperlakukan tidak adil selama dua tahun, teleponnya berdering selagi ia sedang bekerja, "Halo, saya dengan Celin Dian. Ada yang bisa saya bantu?" Mata Celin sedang fokus menatap layar komputer. "Begitu cara menyambut suami yang sedang menelpon?" Suara familiar itu membuat fokus Celin terpecah. Ia buru-buru melihat nama penelpon 'My beloved husband' tertulis di layar. Dulu ia sangat antusias menerima telpon suaminya, walaupun Evan hanya mengabarkan hal-hal biasa seperti ia akan tinggal lebih lama dan sebagainya. Sekarang ia berusaha menahan diri. "Ada apa?" "Tidak ada, hanya ingin menelpon saja," Celin mengerutkan kening, ia memastikan si penelpon benar-benar Evan. Dulu Evan tidak pernah ramah, ia langs
Celin tetap teguh dengan pendiriannya, ia tidak akan ikut dengan Evan, ia malah berangkat ke tempat kerja, Evan juga tidak menghalanginya tapi sepertinya ia sedang memikirkan sebuah rencana. Celin tiba di depan kantornya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di dekatnya, ia ditarik oleh beberapa orang yang berada di dalam mobil dan membawanya pergi. Ia berontak sekuat tenaga tapi masih belum bisa melawan kekuatan mereka. "Tenang saja, Nona. Kami tidak akan menyakitimu." Salah seorang menenangkannya. Mereka terus membelah jalanan hingga tiba di bandara. Evan sudah ada menunggunya di sana. "Selamat datang, Celin," ucap Evan tersenyum licik. "Kau ya!" Seru Celin, ia kehabisan kata-kata. "Kalau kamu mau nurut, aku tidak akan melakukan sejauh ini," Celin tidak tau harus berbuat apa, ia hanya bisa merasa kesal di dalam hatinya. "Ayo ikut aku, sebentar lagi pesawatnya berangkat," Celin tiba-tiba ingat kartu identitas dan sebagainya, mana mungkin ia bisa bepergian tanpa i
Evan dan Celin sudah berada di rumah sakit mewah, mereka sudah berada di kamar Jeni yang sedang terbaring lemah tidak berdaya. Evan mendekatinya lalu mengecup keningnya dengan penuh cinta, Celin hanya bisa membuang muka, rasanya masih sakit menyaksikan semuanya. "Hai, Sayang! Aku datang," ucap Evan terdengar sangat lembut. Hati Celin bergejolak aneh, rasanya lebih sakit dari pada menyaksikan adegan sebelumnya. "Aku akan menunggu di luar," ucap Celin, ia langsung keluar tanpa menunggu jawaban Evan. "Orang gila mana yang mau melakukan semua ini?" Lirih Celin mengumpat kebodohan dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian Evan ikut keluar. "Masuklah, tolong temani Jeni, aku sedang ada pertemuan penting," pinta Evan dengan sangat santainya. Celin memandangi Evan tanpa berkedip, ingin sekali memaki dan mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, tapi lidahnya kelu. Evan mendekatinya, berdiri tepat di hadapannya dan bersiap untuk mendaratkan sebuah kecupan sebelum pergi, namun sebelum it
Saat di lobi, Celin iseng menanyai petugas resepsionis apakah dia melihatnya digendong seseorang semalam? Jawaban petugas resepsionis membuatnya terhenyak, ternyata Evan memang menggendongnya. "Ayo!" Seru Evan begitu melihat Celin yang sedang menunggunya di lobi, Celin tidak berani menatap Evan. "Kita makan dulu, habis itu ke rumah sakit," ucap Evan. Celin diam saja dan mengikuti arahannya. "Kau butuh sesuatu?" Evan menoleh pada Celin yang kelagapan, responnya tampak sangat berlebihan. Ditambah petugas resepsionis yang senyum-senyum masam membuatnya curiga. "Tidak ada," jawab Celin. "Ada apa denganmu?" "Aku tidak apa-apa. Ayo jalan kasihan Jeni," ucap Celin. Evan tersenyum miring melihatnya, sepertinya ia paham apa yang terjadi. "Sepertinya kau sudah menemukan bukti kalau aku memang menggendongmu semalam," pancing Evan. Kini mereka sudah berada di dalam mobil. "Kamulah yang berbohong pertama kali, jadi aku bingung harus percaya yang mana." Celin tidak mau mengalah.
Celin sudah setengah hari menunggu di luar seperti orang bodoh yang tidak punya tujuan, ia juga mulai lapar, tapi Evan belum juga keluar, ia akhirnya mencari makan sendiri di sekitar rumah sakit. Saat ia kembali, ia mengintip ke dalam, Evan masih sibuk dengan Jeni, saat ia ingin masuk, tiba-tiba seorang perawat datang dan menyuruhnya tetap menunggu di luar. Ia sadar apa yang harus ia lakukan, harusnya ia pergi dari tempat itu sejak tadi. Ia sadar Evan tidak mungkin peduli lagi padanya, ia sudah tau langkah apa yang harus ia lakukan, semoga Evan akan lebih mudah menyetujui perceraiannya setelah Jeni lebih sehat. Kini Ia merasa telah menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mau-maunya membantu kesembuhan rivalnya Evan tampak bahagia melihat kondisi Jeni, apalagi Jeni sudah bisa tersenyum samar padanya, ia tidak pernah lepas memegangi tangannya dan mengecupnya berkali-kali, ia mengurusnya dengan telaten sampai lupa siapa yang berjasa untuk Jeni. Hari sudah berganti, Evan masih sibuk ber
Waktu berlalu sangat cepat, proyek yang ditangani perusahaan Setiawan akhirnya selesai, hari ini mereka mengadakan acara launching, tentu semua investor akan hadir. Sayangnya Evan sudah mencabut investasinya, sudah pasti ia tidak akan datang. Celin kurang bersemangat karena memikirkan hal itu. Ia masih menyimpan rindu meskipun ia sudah bulat dengan rencananya, ia merasa yakin, pasti bisa mengatasi perasaannya. Selagi memikirkannya, para pembesar memasuki ruangan, Celin mengerutkan keningnya saat melihat ada Evan di rombongan mereka, bahkan Evan terlihat paling memimpin. "Ada apa? Harusnya dia sudah tidak punya urusan lagi," gumam Celin. Tidak hanya hadir dan tampak mendominasi, ia juga yang memotong pita peresmiannya. Setelah mendengar penjelasan Pak Seto, Ternyata Evan telah mengakuisisi proyek. "Wah luar biasa, calon mantan suamiku." Celin kembali bergumam. Setelah acara peresmian selesai, semua undangan diperbolehkan menyantap hidangan yang disajikan. Celin mengambil b
Celin kembali duduk di sofa sambil mengangkat kedua kakinya dan memeluk lututnya, ia tidak tau harus berbuat apa? Ia sudah sejauh ini melangkah tapi Evan tidak ingin berpisah. Perasaannya menjadi terombang-ambing. Evan di kamar menunggu Celin untuk datang, ia ingin meminta maaf karena tidak kembali selama hampir dua bulan, ia pikir Celin marah dan ingin berpisah karena hal itu. Sudah tiga puluh menit menunggu, tapi Celin belum juga masuk, akhirnya ia keluar untuk mengecek, ia mendapati Celin meringkuk di sofa sambil memegangi berkas perceraiannya. Evan berpikir, apakah Celin memang suka tidur dengan sebuah berkas di tangan. Evan mendekati Celin, ia merapikan anak rambutnya sambil menatapnya beberapa detik lalu menggendongnya ke kamar. Ia meletakkan Celin di atas tempat tidur dengan hati-hati, ia ikut berbaring di sampingnya, ia mencoba mendapatkan hatinya untuk Celin, ia mengangkat kepala Celin ke pundaknya kemudian memeluknya. "Maafkan aku, Celin. Aku benar-benar akan berusa