Celin kembali duduk di sofa sambil mengangkat kedua kakinya dan memeluk lututnya, ia tidak tau harus berbuat apa? Ia sudah sejauh ini melangkah tapi Evan tidak ingin berpisah. Perasaannya menjadi terombang-ambing. Evan di kamar menunggu Celin untuk datang, ia ingin meminta maaf karena tidak kembali selama hampir dua bulan, ia pikir Celin marah dan ingin berpisah karena hal itu. Sudah tiga puluh menit menunggu, tapi Celin belum juga masuk, akhirnya ia keluar untuk mengecek, ia mendapati Celin meringkuk di sofa sambil memegangi berkas perceraiannya. Evan berpikir, apakah Celin memang suka tidur dengan sebuah berkas di tangan. Evan mendekati Celin, ia merapikan anak rambutnya sambil menatapnya beberapa detik lalu menggendongnya ke kamar. Ia meletakkan Celin di atas tempat tidur dengan hati-hati, ia ikut berbaring di sampingnya, ia mencoba mendapatkan hatinya untuk Celin, ia mengangkat kepala Celin ke pundaknya kemudian memeluknya. "Maafkan aku, Celin. Aku benar-benar akan berusa
Celin sudah berada di dalam mobilnya, ia tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan aroma di dalam mobilnya dan memaksanya untuk mual, perutnya bergejolak tanpa sebab. Ia buru-buru turun dan berlari ke wastafel terdekat untuk memuntahkan isi perutnya. Evan yang melihatnya, mengernyitkan kening, ia mendekati Celin dan berkata, "Kamu sakit?" Celin menggeleng sambil menenangkan perasaan dan perutnya. "Sepertinya kamu sedang masuk angin." Evan terdengar sangat perhatian. "Aku tidak apa-apa, Evan. Tidak usah pedulikan aku. Aku sudah sering sakit yang lebih parah dari ini, nyatanya aku bisa melewatinya tanpa perhatianmu." Celin berkata dengan begitu sinisnya, ia memang sering sakit sampai demam, ia hanya bisa mengandalkan asisten rumah tangga. Sialnya, ia selalu sakit saat Evan yang memang jarang di rumah sedang pergi. Tapi Evan ada pun sepertinya sama saja. "Kau butuh sesuatu? Mungkin ke rumah sakit? Aku akan mengantarmu," tawar Evan dengan hati-hati. "Sudah kubilang aku tidak apa
Saat di rumah, Evan masih setia menemani Celin yang tampak cuek, ia terus berusaha mengakrabkan diri, "Kamu tidak membutuhkan sesuatu? Ini aku sudah siap siaga loh!" ucap Evan yang merasa tidak berguna di sekitar Celin. "Kalau aku butuh aku akan melakukannya sendiri," "Kau sungguh mandiri, Celin." Evan benar-benar jengah dibuatnya. Celin ingin mengambil sesuatu di rak paling atas di dalam lemarinya, Evan dengan sigap membantunya. "Biar aku saja," ucap Evan buru-buru. "Baiklah, Evan. Lakukan sesukamu," akhirnya Celin menyerah. Ia menerima kain yang diambilkan Evan lalu membawanya ke kamar mandi. Celin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, Evan dengan sigap mengambilkan hairdryer dan mendudukkan Celin di depan meja rias dan melayani bak seorang ratu, ia ingin mengeringkan rambut Celin. Ia melakukan semuanya dengan cepat agar Celin tidak sempat menolak. "Ada apa sih, Evan? Kenapa kamu jadi begini?" Celin bertanya dengan heran. "Kau tidak boleh masuk angin, tidak b
Celin tidur setelah melakukan pergumulan yang melelahkan, ia tertidur hingga sore. Saat bangun ia langsung merasa sangat lapar. Mungkin bawaan bayi di perutnya. Saat ia hendak mencari makan, Evan sudah berada di meja makan sedang sibuk dengan tabletnya. Ia menoleh saat menyadari kehadiran Celin, ia pun tersenyum pada istrinya itu, Celin merasa bingung karena tidak terbiasa. "Ayo, makan! Aku sudah memasak semuanya untukmu," Celin melongo tidak percaya, apakah Evan benar-benar bisa memasak semua makanan itu? Setidaknya ada enam jenis makanan di atas meja, belum terhitung buah yang sudah dipotong-potong dan disajikan dengan apik. "Dia benar-benar memasak semua ini, Bi?" Celin. bertanya pada Bi Asih yang sedang menyiapkan air minum. "Iya, Bu! Saya saja tidak percaya dengan kemampuan memasak Tuan Evan," puji Bu Asih. "Dulu aku kuliah di luar negeri, ayah tidak ingin memanjakanku, ia menyuruhku melakukan semuanya sendiri, kalau aku merasa bosan dengan delivery order, ya aku memasa
Merupakan anugrah terindah bagi seorang perempuan jika memiliki suami berwajah tampan paripurna dan pewaris tunggal dari keluarga kaya, paket komplit dengan sifatnya yang pengertian dan bertanggung jawab. Hanya satu hal yang belum membuat Celin puas, yaitu kata 'Aku mencintaimu' belum pernah ia dengar selama dua tahun pernikahannya, Ia memiliki segalanya dari Evan kecuali hatinya. Hak dan kewajiban sebagai istri terpenuhi, tapi perasaan Evan bukan miliknya. Ia tidak pernah melihat cinta di mata Evan. Ia juga ingin tahu siapa yang memiliki hati suaminya, tapi ia takut jika faktanya ada orang lain, Pada akhirnya ia hanya bisa bersabar dan berharap suatu saat hati Evan berpihak padanya dan bersiap-siap seandainya tidak sesuai harapannya. "Aku akan ke luar negeri besok, " ucap Evan seperti biasanya, seolah luar negeri bukan perjalanan jauh lagi baginya, hampir setiap bulan ia mengatakan itu pada Celin, bahkan pernah hanya berselang seminggu saja. "Untuk apa?" "Untuk pekerjaan
Celin baru menumpahkan segalanya saat berada di dalam mobil, saat tidak ada orang yang menertawakan perasaannya.Ia belum pernah merasakan sakit seperih itu, meski dalam hatinya ia selalu menduga adanya wanita lain di sisi Evan tapi ia selalu bisa menghindari pikirannya, namun setelah menghadapi kenyataan bahwa dugaannya benar, ternyata ia tidak sanggup dan sangat ingin lari dari kenyataan. Tiba-tiba teleponnya berdering, tulisan My Beloved husband menari-nari di sana, ia mengabaikannya, sedetik kemudian sebuah pesan masuk, ia hanya membaca di layar kunci, ia tidak berminat membuka apalagi membalasnya. 'Aku tau kau sedang emosi, bahaya saat menyetir,' "Sejak kapan kau peduli?" ucap Celin, rasanya ingin berteriak dan memaki di depan orangnya langsung. Celin mengalah setelah membaca isi pesan itu, sepelik apapun masalahnya, ia harus tetap hidup, jadi ia menepikan mobilnya untuk sedikit menenangkan diri, sambil berpikir kemana ia harus pergi. Ia tidak bisa ke rumah orang tuanya, p
Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya. Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi. "Pak Evan?" Celin sedikit kaget. "Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan. "Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin. "Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman," "Baik, Pak!" "Masih?" "Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman," "Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya. "Pulanglah
Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya. "Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengata