Share

Bagian 3

Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya.

Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi.

"Pak Evan?" Celin sedikit kaget.

"Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan.

"Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin.

"Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman,"

"Baik, Pak!"

"Masih?"

"Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman,"

"Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya.

"Pulanglah!" Pinta Evan dengan suara dingin.

"Tidak mau, bukannya sudah ada Jeni?" Celin berterus terang, Evan sedikit canggung.

"Dia tidak bisa menggantikanmu, karena itu kau harus mendengarkankan dulu penjelasanku," ucap Evan.

"Aku yang tidak bisa menggantikannya, bukannya dia yang ada di dalam sini?" Celin menunjuk dada Evan.

"Maaf tentang itu, tapi aku akan berusaha," Evan hanya bisa jujur, ia memang masih sangat mencintai Jeni, ia masih hidup walaupun sangat tidak sehat.

"Kamu tidak perlu menjelaskan, kau semakin membuatku merasa lebih buruk lagi," Celin membuang muka.

"Terus sekarang bagaimana? Apakah sebaiknya kita bercerai saja," Meski Celin berusaha santai, suaranya masih terdengar bergetar, jelas hatinya sakit mengatakan itu, ia yang selalu tergila-gila pada Evan semasa kuliah, ia yang selalu aktif mendekati Evan, dan sangat bahagia saat akhirnya dua tahun lalu Evan datang sendiri melamarnya. Tapi malah berakhir seperti ini. Ia membuang muka karena demi menahan air mata.

"Omong kosong apa itu?"

"Aku serius, memangnya kamu masih ingin mempertahankan pernikahan yang tidak normal ini? Terus terang aku tidak bisa berbagi walaupun aku juga tidak tau tentang apa yang harus aku bagi, kau mencintaiku saja tidak." Celin sangat berusaha menahan emosinya.

"Tapi aku masih memperlakukanmu dengan baik, aku memenuhi semua kewajibanku sebagai suami,"

"Dan dengan bodohnya aku bertahan karena itu, ada baiknya kita berpisah saja, aku menyerah, aku tidak bisa bertahan lagi,"

"Jangan seperti ini," Evan tampak serius.

"Lalu aku harus bagaimana?" Celin memberontak suaranya meninggi bersamaan dengan air mata yang tidak dapat dibendungnya lagi.

"Cukup seperti biasanya saja." Suara Evan agak melemah.

"Aku selalu mati-matian memikirkan cara agar kau mencintaiku, aku mati-matian menghadapi sikap dinginmu, membunuh pikiran tentang ada wanita lain di sisimu, itulah diriku yang biasanya, aku selalu dihantui rasa takut dan gelisah, aku tidak mau lagi," Celin berterus terang.

Evan terdiam memperhatikan Celin yang tampak berapi-api, namun itu belum membuat hatinya tersentuh sama sekali. Ia malah berkata,

"Dia lebih dulu menjadi istriku, Celin,"

"Lalu kenapa kau menikahiku juga?" Suara Celin meninggi.

"Karena aku tau kau sangat terobsesi padaku, kau cantik dan aku laki-laki normal,"

"Jadi kau memanfaatkan perasaanku agar aku bisa menjadi pelampiasan nafsumu, begitu?"

"Bukan begitu, sebaiknya kita bicarakan ini di rumah," Evan meraih tangan Celin, ie hendak menariknya agar mengikutinya.

"Kita sedang di luar, bahkan di rumah pun kau tidak pernah melakukan ini, kecuali kalau kamu mau tubuhku," Celin mulai sinis, membuat Evan melepaskan tangannya.

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak ada waktu berbicara denganmu, semua sudah jelas." Celin langsung pergi.

"Celin!" Evan hendak mengejar tapi urung ketika melihat rombongan yang keluar dari tempat makan tadi.

"Pak Evan, apakah Anda baik-baik saja? Anda pergi cukup lama," tanya Pak Seto.

"Aku baik-baik saja, Pak. Hanya masalah pencernaan," jawab Evan.

"Syukurlah,"

"Oh, iya kemana Nona Celin?" Tanya salah satu tamu yang tampak sepantaran dengan Evan.

"Wah, Anda cepat juga Pak Dev, langsung tau yang mana bibit unggul," goda yang lain.

"Saya hanya ingin menyapa, " Dev tampak malu-malu.

"Awalnya menyapa, lama-lama tersapa," goda yang lainnya.

"Nah, itu dia," seru Pak Yanto begitu melihat Celin, ternyata ia habis mengambil barang-barangnya, Dev langsung menyambutnya dengan senyum.

"Nona Celin, Pak Dev mencari Anda," ucap Pak Yanto segera, dengan tatapan yang menggoda.

"Ah, ada apa Pak Dev, maaf saya terlambat," ucap Celin dengan ramah dan sopan.

"Bukan apa-apa, Nona Celin, saya hanya ingin menyapa,"

"Oh, begitu! Senang bertemu anda, Pak Dev." Ucap Celin ramah, Dev belum sempat membalas saat Evan berbicara,

"Mohon maaf, saya masih ada urusan jadi saya akan pamit duluan, " Evan sebenarnya merasa tidak nyaman melihat adegan ini, tapi ia juga merasa tidak harus peduli dan memilih pergi, setelah Evan pergi yang lainnya juga ikut pamit, hingga tersisa Celin dan Dev. Mereka tampak akrab mengobrol bahkan sempat bertukar nomor.

Sementara itu, ternyata Evan belum benar-benar pergi, karena masih ingin menyelesaikan masalahnya dengan Celin, karena itu secara otomatis ia menyaksikan semua keakraban yang terjalin antara Dev dan Celin.

Beberapa saat kemudian mereka menyudahi obrolan mereka, Dev menawarkan diri untuk mengantar Celin tapi Celin cukup tau diri untuk menolak, ia masih mengingat statusnya sebagai istri orang, ia pun beralasan sudah membawa kendaraan sendiri, tapi kenyataannya mobilnya sedang terparkir manis di garasi kantornya.

Ia tampak menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya seolah membuang sesak yang sudah lama menumpuk, ia lalu pergi meninggalkan tempat itu, Celin berhenti di halte bus, ia duduk di kursi panjang yang telah disiapkan, ia melamun sebentar lalu menutup wajahnya, tubuhnya tampak sedikit bergetar. Celin menangis setelah memastikan tidak ada orang di sekitarnya, ia menangis tergugu-gugu, sepertinya ia tidak bisa berpura-pura lagi, ia tidak seramah dan sesantai saat mengobrol dengan Dev. Ia sedang sakit.

Ia membuka tangannya perlahan saat merasakan sentuhan hangat di kulitnya.

"Evan? Kau masih di sini?" Suara Celin terdengar serak. Ia berusaha memalingkan wajahnya dengan bingung sambil mengusap pipinya dengan asal.

"Ada apa?" Tanya Evan penasaran, Celin menggeleng.

"Aku tau kau tidak baik-baik saja?"

"Jangan pedulikan aku, pergi saja sana! " Celin tidak ingin diintrogasi.

"Kau seperti ini karena aku memberitahumu tentang Jeni?"

"Sudahlah, Evan. Pergi saja!"

"Aku akan belajar mencintaimu."

Celin menatap Evan lalu berkata,

"Aku yang akan belajar melupakanmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status