Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya.
Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi. "Pak Evan?" Celin sedikit kaget. "Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan. "Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin. "Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman," "Baik, Pak!" "Masih?" "Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman," "Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya. "Pulanglah!" Pinta Evan dengan suara dingin. "Tidak mau, bukannya sudah ada Jeni?" Celin berterus terang, Evan sedikit canggung. "Dia tidak bisa menggantikanmu, karena itu kau harus mendengarkankan dulu penjelasanku," ucap Evan. "Aku yang tidak bisa menggantikannya, bukannya dia yang ada di dalam sini?" Celin menunjuk dada Evan. "Maaf tentang itu, tapi aku akan berusaha," Evan hanya bisa jujur, ia memang masih sangat mencintai Jeni, ia masih hidup walaupun sangat tidak sehat. "Kamu tidak perlu menjelaskan, kau semakin membuatku merasa lebih buruk lagi," Celin membuang muka. "Terus sekarang bagaimana? Apakah sebaiknya kita bercerai saja," Meski Celin berusaha santai, suaranya masih terdengar bergetar, jelas hatinya sakit mengatakan itu, ia yang selalu tergila-gila pada Evan semasa kuliah, ia yang selalu aktif mendekati Evan, dan sangat bahagia saat akhirnya dua tahun lalu Evan datang sendiri melamarnya. Tapi malah berakhir seperti ini. Ia membuang muka karena demi menahan air mata. "Omong kosong apa itu?" "Aku serius, memangnya kamu masih ingin mempertahankan pernikahan yang tidak normal ini? Terus terang aku tidak bisa berbagi walaupun aku juga tidak tau tentang apa yang harus aku bagi, kau mencintaiku saja tidak." Celin sangat berusaha menahan emosinya. "Tapi aku masih memperlakukanmu dengan baik, aku memenuhi semua kewajibanku sebagai suami," "Dan dengan bodohnya aku bertahan karena itu, ada baiknya kita berpisah saja, aku menyerah, aku tidak bisa bertahan lagi," "Jangan seperti ini," Evan tampak serius. "Lalu aku harus bagaimana?" Celin memberontak suaranya meninggi bersamaan dengan air mata yang tidak dapat dibendungnya lagi. "Cukup seperti biasanya saja." Suara Evan agak melemah. "Aku selalu mati-matian memikirkan cara agar kau mencintaiku, aku mati-matian menghadapi sikap dinginmu, membunuh pikiran tentang ada wanita lain di sisimu, itulah diriku yang biasanya, aku selalu dihantui rasa takut dan gelisah, aku tidak mau lagi," Celin berterus terang. Evan terdiam memperhatikan Celin yang tampak berapi-api, namun itu belum membuat hatinya tersentuh sama sekali. Ia malah berkata, "Dia lebih dulu menjadi istriku, Celin," "Lalu kenapa kau menikahiku juga?" Suara Celin meninggi. "Karena aku tau kau sangat terobsesi padaku, kau cantik dan aku laki-laki normal," "Jadi kau memanfaatkan perasaanku agar aku bisa menjadi pelampiasan nafsumu, begitu?" "Bukan begitu, sebaiknya kita bicarakan ini di rumah," Evan meraih tangan Celin, ie hendak menariknya agar mengikutinya. "Kita sedang di luar, bahkan di rumah pun kau tidak pernah melakukan ini, kecuali kalau kamu mau tubuhku," Celin mulai sinis, membuat Evan melepaskan tangannya. "Apa maksudmu?" "Aku tidak ada waktu berbicara denganmu, semua sudah jelas." Celin langsung pergi. "Celin!" Evan hendak mengejar tapi urung ketika melihat rombongan yang keluar dari tempat makan tadi. "Pak Evan, apakah Anda baik-baik saja? Anda pergi cukup lama," tanya Pak Seto. "Aku baik-baik saja, Pak. Hanya masalah pencernaan," jawab Evan. "Syukurlah," "Oh, iya kemana Nona Celin?" Tanya salah satu tamu yang tampak sepantaran dengan Evan. "Wah, Anda cepat juga Pak Dev, langsung tau yang mana bibit unggul," goda yang lain. "Saya hanya ingin menyapa, " Dev tampak malu-malu. "Awalnya menyapa, lama-lama tersapa," goda yang lainnya. "Nah, itu dia," seru Pak Yanto begitu melihat Celin, ternyata ia habis mengambil barang-barangnya, Dev langsung menyambutnya dengan senyum. "Nona Celin, Pak Dev mencari Anda," ucap Pak Yanto segera, dengan tatapan yang menggoda. "Ah, ada apa Pak Dev, maaf saya terlambat," ucap Celin dengan ramah dan sopan. "Bukan apa-apa, Nona Celin, saya hanya ingin menyapa," "Oh, begitu! Senang bertemu anda, Pak Dev." Ucap Celin ramah, Dev belum sempat membalas saat Evan berbicara, "Mohon maaf, saya masih ada urusan jadi saya akan pamit duluan, " Evan sebenarnya merasa tidak nyaman melihat adegan ini, tapi ia juga merasa tidak harus peduli dan memilih pergi, setelah Evan pergi yang lainnya juga ikut pamit, hingga tersisa Celin dan Dev. Mereka tampak akrab mengobrol bahkan sempat bertukar nomor. Sementara itu, ternyata Evan belum benar-benar pergi, karena masih ingin menyelesaikan masalahnya dengan Celin, karena itu secara otomatis ia menyaksikan semua keakraban yang terjalin antara Dev dan Celin. Beberapa saat kemudian mereka menyudahi obrolan mereka, Dev menawarkan diri untuk mengantar Celin tapi Celin cukup tau diri untuk menolak, ia masih mengingat statusnya sebagai istri orang, ia pun beralasan sudah membawa kendaraan sendiri, tapi kenyataannya mobilnya sedang terparkir manis di garasi kantornya. Ia tampak menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya seolah membuang sesak yang sudah lama menumpuk, ia lalu pergi meninggalkan tempat itu, Celin berhenti di halte bus, ia duduk di kursi panjang yang telah disiapkan, ia melamun sebentar lalu menutup wajahnya, tubuhnya tampak sedikit bergetar. Celin menangis setelah memastikan tidak ada orang di sekitarnya, ia menangis tergugu-gugu, sepertinya ia tidak bisa berpura-pura lagi, ia tidak seramah dan sesantai saat mengobrol dengan Dev. Ia sedang sakit. Ia membuka tangannya perlahan saat merasakan sentuhan hangat di kulitnya. "Evan? Kau masih di sini?" Suara Celin terdengar serak. Ia berusaha memalingkan wajahnya dengan bingung sambil mengusap pipinya dengan asal. "Ada apa?" Tanya Evan penasaran, Celin menggeleng. "Aku tau kau tidak baik-baik saja?" "Jangan pedulikan aku, pergi saja sana! " Celin tidak ingin diintrogasi. "Kau seperti ini karena aku memberitahumu tentang Jeni?" "Sudahlah, Evan. Pergi saja!" "Aku akan belajar mencintaimu." Celin menatap Evan lalu berkata, "Aku yang akan belajar melupakanmu."Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya. "Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengata
Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin. "Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap E
Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya. Celin mengacungkan tangannya, "Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan. "Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi. "Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan," "Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya. "Ada lagi?" Ucap panitia rapat. Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk meng
Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini s
sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak
Celin terbangun tengah malam, Evan tidak ada di sampingnya, mungkin sedang menemani Jeni lagi, Celin berpikir, 'Memangnya untuk apa Evan tidur di sini dengannya? paling kalau ada maunya saja baru dia di sini." Dari pada pusing dengan pikirannya sendiri, ia segera membawa dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali tidur. keesokannya, ia terbangun lagi dan langsung ditodong oleh Evan. "Pagi ini ikut aku ke perusahaan Mahendra, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," Suara Evan memembuat Celin yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Aku bukan karyawan Mahendra, Pak Evan." Celin terdengar malas. "Ingat tentang kerja sama kita? " "Aku belum mendapat perintah dari atasan." "Saya adalah atasan dari atasanmu, jadi menurutmu siapa yang paling berhak kamu taati." "Iya, baiklah," Celin lebih baik mengalah dari pada harus mendengar kesombongannya. Mereka tiba di kantor perusahaan Mahendra, Celin dibuat terkagum-kagum, gedung milik Mahendra berkali-kali li