Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya.
"Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengatakan hal-hal yang akan menyakitimu," Evan sangat mengerti apa yang membuat Celin tidak mau mendengarkannya, Celin hanya tidak ingin mendengar tentang Jeni. Evan pun mulai berbicara tanpa memperdulikan Celin yang menutupi telinga. "Maaf, karena aku tidak memberitahumu sebelumnya, aku pikir tidak ada gunanya juga, dia koma dan divonis tidak akan pernah sadar lagi sampai mati," Evan melirik Celin untuk melihat ekspresinya, meskipun Celin menutup telinganya, Evan tau istri malangnya itu masih mendengarkan. "Kami menikah tiga tahun yang lalu, tepat di hari pernikahanan itu kami kecelakaan dan mengakibatkan dirinya kehilangan segalanya, Jeni koma selama tiga tahun, dua bulan lalu aku mendengar kabar kalau dia sadar, tapi dia lumpuh total dan otaknya tidak akan berfungsi dengan baik bahkan berbicara pun tidak mampu, sewaktu-waktu ia bisa kehilangan nyawanya, dia terapi bukan agar sembuh tapi untuk tetap hidup, kurasa kau perlu tahu tentang ini," jelas Evan, ia tampak bernafas lega setelahnya. Celin akhirnya mengerti sepenuhnya kenapa Jeni diam saja dengan tatapan yang kosong. Harusnya sebagai istri pertama ia pasti akan marah padanya karena menikah dengan suaminya. "Biarkan dia tinggal di rumah kita, keluarganya terlalu putus asa menerima keadaannya, sementara keluargaku sudah menganggapnya mati saat dokter berkata kesempatan hidupnya tinggal lima persen, tapi bagiku meskipun hanya lima persen itu masih sebuah kehidupan, jadi aku memindahkannya ke luar negeri agar mendapatkan perawatan lebih baik," "Karena itu kau selalu pergi? " Celin akhirnya mau menanggapi. "Iya, tapi aku tidak pernah berbohong tentang pekerjaan, di sana aku punya perusahaan mentereng juga," Evan coba menjelaskan. "Kamu harus tau ini, hanya kamu yang bisa memenuhi kewajiban sebagai istri," lanjutnya terdengar menghibur. "Tetap saja kau tidak pernah mencintaiku, lucu sekali." Celin terdengar sangat putus asa. "Maaf tentang itu, aku tidak bisa memaksakan perasaanku," "Kau tidak perlu memperjelasnya," Celin menatapnya dengan tatapan menyedihkan. Evan langsung membuang muka. Ia teringat untuk membawa Celin pulang, ia mulai menyalakan mobil, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada digenggamannya. "Ngomong-ngomong tadi penampilanmu sangat luar biasa," Evan tiba-tiba memuji. "Terimakasih." "Kau juga sangat berbeda dari biasanya, " Evan tampak berpikir akan melanjutkan atau tidak. "Ehem, hari ini kau sangat cantik," "Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakan hal-hal yang tidak kamu inginkan," Celin terdengat acuh tak acuh. "Aku hanya berkata jujur." Sepertinya Evan benar-benar tulus. Celin membuang muka ke arah jendela, ia merasa semua sudah terlambat untuk melakukan hal-hal itu sekarang, ia tiba-tiba ingin bertanya lagi, "Kenapa kau mau menikahiku?" "Karena kamu mencintaiku," "Itu saja?" Evan tampak berpikir. "Tak apa jujur saja," tuntut Celin. "Karena aku harus menikahi wanita lain untuk mengelabui keluarga besarku," "Kenapa harus aku?" "Karena aku mengenalmu lebih baik dibanding wanita manapun," "Dan kau tau dengan jelas perasaanku, sudah pasti aku tidak akan menolak, ya 'kan? Alangkah bodohnya kamu Celin," gumam Celin terdengar putus asa, seolah ingin kembali ke masa lalu dan menghapus ingatannya tentang Evan. Sementara Evan diam saja, ia berpura-pura sibuk dengan stir mobil. Celin dan Evan tiba di rumah, ada Jeni yang sedang disuapi oleh seorang suster. Celin hanya melirik sebentar kemudian berlalu ke kamarnya. Sementara Evan mengahmpiri Jeni. Beberapa saat kemudian Evan juga masuk kamar, tepat ketika Celin keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk setinggi paha dan bagian dada dibiarkan terbuka. Evan secara otomatis mendekatinya. "Kamu mau apa?" Celin tiba-tiba waspada. "Mau apa lagi? Kau sudah tahu dengan jelas," "Aku ku tidak mau," Celin menolak terang-terangan. "Kenapa? Memangnya kau bisa menolakku?" "Ada Jeni di rumah ini, kau tidak merasa kalau kamu akan menyakitinya atau mengkhianatinya," "perasaan apa yang bisa dia rasakan, Celin? Bertahan hidup saja sudah cukup melegakan, dan siapa yang berkhianat kalian istriku yang berhak aku sentuh," "Kau menyentuh Jeni dalam keadaan seperti itu?" Celin memandang Evan dengan jijik. "Apa yang kamu pikirkan? Aku tidak serendah itu, aku belum pernah menyentuh Jeni, aku hanya pernah menyentuhmu," "Dan itu cukup sering." Celin terdengar mengejek, seolah berkata 'Dasar buaya' "Mau bagaimana lagi, cuma kamu yang halal untukku," Evan mulai memeluknya dari belakang. Ia selalu seperti itu pada Celin, sampai Celin terkadang salah paham kalau Evan mungkin mencintainya, tapi setelah ada Jeni semuanya menjadi jelas, Evan hanya ingin melampiaskan nafsunya. "Kau membuatku merasa seperti wanita murahan saja," "Murahan dari mananya? Kamu itu istriku," Evan merasa sudah terlalu banyak menjelaskan, jadi langsung memulai saja. Ia mencium ceruk leher Celin, seketika aroma wangi tubuh Celin menyeruak memenuhi rongga hidungnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia menggendong Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur. Sepanjang Evan melakukan aktifitasnya, Celin terus berpikir apakah laki-laki memang bisa sekurang aja ini? Mereka bisa menggauli wanita meskipun tanpa cinta. Selesai melakukan rutinitas yang menguras tenaga itu, Evan memeluk Celin seperti biasa, Celin mulai menghitung di dalam hati berapa lama Evan bisa bertahan di posisinya, satu menit? Dua menit? Oh tidak ini lebih lama dari biasanya. Kebiasaan Evan memeluk Celin sudah sejak lama, tapi Evan tidak pernah memeluknya dalam waktu yang lama, sepertinya Evan melakukan itu agar tidak terkesan kurang ajar saja, setelah memakai langsung ditinggalkan begitu saja. Tapi kali ini berbeda, Ini adalah kenyamanan dan kehangatan terlama yang pernah Celin terima di sepanjang dua tahun kehidupan pernikahannya.Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin. "Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap E
Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya. Celin mengacungkan tangannya, "Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan. "Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi. "Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan," "Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya. "Ada lagi?" Ucap panitia rapat. Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk meng
Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini s
sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak
Celin terbangun tengah malam, Evan tidak ada di sampingnya, mungkin sedang menemani Jeni lagi, Celin berpikir, 'Memangnya untuk apa Evan tidur di sini dengannya? paling kalau ada maunya saja baru dia di sini." Dari pada pusing dengan pikirannya sendiri, ia segera membawa dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali tidur. keesokannya, ia terbangun lagi dan langsung ditodong oleh Evan. "Pagi ini ikut aku ke perusahaan Mahendra, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," Suara Evan memembuat Celin yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Aku bukan karyawan Mahendra, Pak Evan." Celin terdengar malas. "Ingat tentang kerja sama kita? " "Aku belum mendapat perintah dari atasan." "Saya adalah atasan dari atasanmu, jadi menurutmu siapa yang paling berhak kamu taati." "Iya, baiklah," Celin lebih baik mengalah dari pada harus mendengar kesombongannya. Mereka tiba di kantor perusahaan Mahendra, Celin dibuat terkagum-kagum, gedung milik Mahendra berkali-kali li
Evan benar-benar menepati janjinya, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, ia datang ke kantor Celin. Malah Celin yang menjadi ragu dan ingin membatalkannya, tapi Evan tidak akan pernah menarik kembali perkataannya. Ketika mereka tiba di kantor Celin, mereka menjadi pusat perhatian, dari pintu masuk bangunan tujuh tingkat itu orang-orang sudah langsung sigap berdiri menghentikan aktifitasnya demi memberi sambutan penghormatan begitu melihat Evan. Mereka tetap melakukannya walaupun dengan ekspresi terheran-heran, ada apa sampai Pak Evan Mahendra datang ke kantornya, ditambah lagi ada Celin yang sedang mengekor seperti anak kucing yang berlindung di belakang induknya. Celin buru-buru menyeimbangkan langkahnya dengan Evan lalu berbisik "Evan, sebaiknya kita hentikan ini. Sebenarnya aku tidak terlalu serius." "Tidak apa-apa, aku harus bertanggung jawab atas janji yang sudah kubuat," ucap Evan tidak ingin dibantah. Celin membawa Evan ke lobi kantor yang disiapkan untuk VIP. Evan