Share

Bagian 4

Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya.

"Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya.

"Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak.

"Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya.

"Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya.

"Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu.

"Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh.

"Aku tidak akan mengatakan hal-hal yang akan menyakitimu," Evan sangat mengerti apa yang membuat Celin tidak mau mendengarkannya, Celin hanya tidak ingin mendengar tentang Jeni. Evan pun mulai berbicara tanpa memperdulikan Celin yang menutupi telinga.

"Maaf, karena aku tidak memberitahumu sebelumnya, aku pikir tidak ada gunanya juga, dia koma dan divonis tidak akan pernah sadar lagi sampai mati," Evan melirik Celin untuk melihat ekspresinya, meskipun Celin menutup telinganya, Evan tau istri malangnya itu masih mendengarkan.

"Kami menikah tiga tahun yang lalu, tepat di hari pernikahanan itu kami kecelakaan dan mengakibatkan dirinya kehilangan segalanya, Jeni koma selama tiga tahun, dua bulan lalu aku mendengar kabar kalau dia sadar, tapi dia lumpuh total dan otaknya tidak akan berfungsi dengan baik bahkan berbicara pun tidak mampu, sewaktu-waktu ia bisa kehilangan nyawanya, dia terapi bukan agar sembuh tapi untuk tetap hidup, kurasa kau perlu tahu tentang ini," jelas Evan, ia tampak bernafas lega setelahnya.

Celin akhirnya mengerti sepenuhnya kenapa Jeni diam saja dengan tatapan yang kosong. Harusnya sebagai istri pertama ia pasti akan marah padanya karena menikah dengan suaminya.

"Biarkan dia tinggal di rumah kita, keluarganya terlalu putus asa menerima keadaannya, sementara keluargaku sudah menganggapnya mati saat dokter berkata kesempatan hidupnya tinggal lima persen, tapi bagiku meskipun hanya lima persen itu masih sebuah kehidupan, jadi aku memindahkannya ke luar negeri agar mendapatkan perawatan lebih baik,"

"Karena itu kau selalu pergi? " Celin akhirnya mau menanggapi.

"Iya, tapi aku tidak pernah berbohong tentang pekerjaan, di sana aku punya perusahaan mentereng juga," Evan coba menjelaskan.

"Kamu harus tau ini, hanya kamu yang bisa memenuhi kewajiban sebagai istri," lanjutnya terdengar menghibur.

"Tetap saja kau tidak pernah mencintaiku, lucu sekali." Celin terdengar sangat putus asa.

"Maaf tentang itu, aku tidak bisa memaksakan perasaanku,"

"Kau tidak perlu memperjelasnya," Celin menatapnya dengan tatapan menyedihkan. Evan langsung membuang muka.

Ia teringat untuk membawa Celin pulang, ia mulai menyalakan mobil, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada digenggamannya.

"Ngomong-ngomong tadi penampilanmu sangat luar biasa," Evan tiba-tiba memuji.

"Terimakasih."

"Kau juga sangat berbeda dari biasanya, " Evan tampak berpikir akan melanjutkan atau tidak.

"Ehem, hari ini kau sangat cantik,"

"Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakan hal-hal yang tidak kamu inginkan," Celin terdengat acuh tak acuh.

"Aku hanya berkata jujur." Sepertinya Evan benar-benar tulus.

Celin membuang muka ke arah jendela, ia merasa semua sudah terlambat untuk melakukan hal-hal itu sekarang, ia tiba-tiba ingin bertanya lagi,

"Kenapa kau mau menikahiku?"

"Karena kamu mencintaiku,"

"Itu saja?"

Evan tampak berpikir.

"Tak apa jujur saja," tuntut Celin.

"Karena aku harus menikahi wanita lain untuk mengelabui keluarga besarku,"

"Kenapa harus aku?"

"Karena aku mengenalmu lebih baik dibanding wanita manapun,"

"Dan kau tau dengan jelas perasaanku, sudah pasti aku tidak akan menolak, ya 'kan? Alangkah bodohnya kamu Celin," gumam Celin terdengar putus asa, seolah ingin kembali ke masa lalu dan menghapus ingatannya tentang Evan. Sementara Evan diam saja, ia berpura-pura sibuk dengan stir mobil.

Celin dan Evan tiba di rumah, ada Jeni yang sedang disuapi oleh seorang suster. Celin hanya melirik sebentar kemudian berlalu ke kamarnya. Sementara Evan mengahmpiri Jeni. Beberapa saat kemudian Evan juga masuk kamar, tepat ketika Celin keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk setinggi paha dan bagian dada dibiarkan terbuka. Evan secara otomatis mendekatinya.

"Kamu mau apa?" Celin tiba-tiba waspada.

"Mau apa lagi? Kau sudah tahu dengan jelas,"

"Aku ku tidak mau," Celin menolak terang-terangan.

"Kenapa? Memangnya kau bisa menolakku?"

"Ada Jeni di rumah ini, kau tidak merasa kalau kamu akan menyakitinya atau mengkhianatinya,"

"perasaan apa yang bisa dia rasakan, Celin? Bertahan hidup saja sudah cukup melegakan, dan siapa yang berkhianat kalian istriku yang berhak aku sentuh,"

"Kau menyentuh Jeni dalam keadaan seperti itu?" Celin memandang Evan dengan jijik.

"Apa yang kamu pikirkan? Aku tidak serendah itu, aku belum pernah menyentuh Jeni, aku hanya pernah menyentuhmu,"

"Dan itu cukup sering." Celin terdengar mengejek, seolah berkata 'Dasar buaya'

"Mau bagaimana lagi, cuma kamu yang halal untukku," Evan mulai memeluknya dari belakang. Ia selalu seperti itu pada Celin, sampai Celin terkadang salah paham kalau Evan mungkin mencintainya, tapi setelah ada Jeni semuanya menjadi jelas, Evan hanya ingin melampiaskan nafsunya.

"Kau membuatku merasa seperti wanita murahan saja,"

"Murahan dari mananya? Kamu itu istriku," Evan merasa sudah terlalu banyak menjelaskan, jadi langsung memulai saja.

Ia mencium ceruk leher Celin, seketika aroma wangi tubuh Celin menyeruak memenuhi rongga hidungnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia menggendong Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur. Sepanjang Evan melakukan aktifitasnya, Celin terus berpikir apakah laki-laki memang bisa sekurang aja ini? Mereka bisa menggauli wanita meskipun tanpa cinta.

Selesai melakukan rutinitas yang menguras tenaga itu, Evan memeluk Celin seperti biasa, Celin mulai menghitung di dalam hati berapa lama Evan bisa bertahan di posisinya, satu menit? Dua menit? Oh tidak ini lebih lama dari biasanya. Kebiasaan Evan memeluk Celin sudah sejak lama, tapi Evan tidak pernah memeluknya dalam waktu yang lama, sepertinya Evan melakukan itu agar tidak terkesan kurang ajar saja, setelah memakai langsung ditinggalkan begitu saja. Tapi kali ini berbeda, Ini adalah kenyamanan dan kehangatan terlama yang pernah Celin terima di sepanjang dua tahun kehidupan pernikahannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status