Share

Bagian 6

Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya.

Celin mengacungkan tangannya,

"Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan.

"Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi.

"Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan,"

"Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya.

"Ada lagi?" Ucap panitia rapat.

Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk mengadakan keduanya, Perhotelan dan pusat perbelanjaan.

Ditengah rapat, tiba-tiba ponsel Evan berdering, ia langsung berpamitan setelah menjawab telepon.

"Mohon maaf, saya harus pulang, sesuatu terjadi pada istri saya," ucapnya buru-buru dan sedikit panik.

Celin langsung melihat kearahnya seolah berkata di sini ada istrimu juga, dan Evan juga melihat ke arahnya, ia tidak bisa nembaca ekspresi Evan, apa laki-laki itu sedang mempertimbangkan perasaannya atau malah tidak peduli sama sekali, ia lalu menunduk sebelum orang lain memergoki, Evan juga langsung keluar dari ruangan, sementara panitia rapat menutup rapatnya.

"Dia memang sangat setia," puji Pak Yanto, disela prosesi penutupan rapat.

Celin diam saja, setelah rapat dibubarkan, Celin menjadi tidak mood untuk berada di kantor, jadi ia berbuat makan siang di luar.

"Kau tampak lesu sekali, kemana Celin yang bersemangat tadi?" Dev tiba-tiba berada di sampingnya, berhasil membuat Celin kaget.

"Pak Dev!"

"Telingaku sangat tidak nyaman kalau kau memanggilku seperti itu," protes Dev.

"Dan mulutku terasa sangat kurang ajar kalau hanya menyebut namamu," balas Celin, lalu keduanya tertawa.

"Apa kamu dekat dengan Evan?" Tanya Dev, Celin langsung berhenti.

"Kami cukup dekat semasa kuliah dulu," Celin merasa beruntung karena mengingat alasan itu, ia pun kembali melangkah.

"Oh, dia pasti populer, jangan-janga kamu termasuk mahasiswi yang tergila-gila padanya," tebak Dev.

"Benar lagi, tapi itu dulu," ucap Celin membuat Dev tertawa.

"Tadi aku sempat berpikir, kalau Evan mungkin menyukaimu,"

"Ah, mana mungkin, dulu dia menolakku secara terang-terangan di depan umum, sangat memalukan untuk mengingatnya, jadi jangan membahasnya lagi, "

"Baiklah," Dev menurut.

"Kamu punya rencana siang ini?" Tanya Dev.

"Aku berniat makan siang di luar,"

"Kalau begitu ayo makan siang bersama," tawar Dev.

"Sepertinya menyenangkan," Celin tidak menolak.

Dev tersenyum mendengarnya.

****

Saat jam kerja berakhir, Celin sengaja pulang larut malam, seandainya Evan peduli dengan itu, ia sudah menyiapkan alasannya. Tapi ketika memasuki rumah keadaan sangat sepi, bahkan pekerja rumah tangga juga tidak terlihat. Ia tidak keberatan, justru ia bisa bebas melenggang dengan santai.

Saat pagi mulai menampakkan diri, Celin terbangun dan merasakan sesuatu di atas perutnya. Ia segera mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melihat.

"Evan?" Gumamnya pelan, ia takut membangunkan Evan. Ia bangkit dengan sangat pelan sambil menggeser tangan Evan, ternyata Evan terbangun dan menariknya kembali.

"Apa mungkin kau salah mengira, aku adalah Jeni?" Tanya Celin yang tiba-tiba mendapatkan perlakuan hangat.

"Kau adalah Celin." Ternyata Evan membalas dengan nada seperti sedang mengigau. Celin terdiam dibuatnya.

"Aku harus bekerja," Celin tidak bisa terus berada di posisi ini, jantungnya bisa meledak kapan saja, meskipun sering berhubungan badan, ia belum pernah diperlakukan hangat seperti ini.

Evan tidak memberi respon.

"Kalau kau seperti ini, aku mungkin akan berpikir kau mencintaiku, Evan," Celin mengibaskan tangan Evan yang bertengger di tubuhnya. Ia bangun dan bersiap turun dari tempat tidur tapi Evan kembali menahannya.

"Tunggu dulu, hadiah apa yang cocok untuk wanita yang sedang koma? Hari ini Jeni ulang tahun,"

"Berikan saja sesuatu yang paling ingin kau berikan padanya, selesai. Kenapa kau bertanya padaku yang sudah dua kali berturut-turut tidak mendapatkan hadiah ulang tahun, " Celin terdengat mengomel, ia mengatakan itu secara naluriah. Evan tertegun mendengarnya ia sampai mengangkat kepalanya untuk melihat ekspresi Celin. Ia ingat semenjak menikahi Celin memang tidak pernah ada kejutan ulang tahun untuknya.

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Aku sendiri yang tidak mengharapkannya," jelas Celin tidak ingin disalah pahami.

"Saat kamu ulang tahun, kamu tidak mengharapkan apapun dariku?"

"Tidak pernah," ucapnya sinis, Celin jelas berbohong, di hari ulang tahun pertamanya setelah menikah, ia menunggu Evan hingga larut malam, ketika Evan datang ia dengan antusias membukakan pintu untuknya, berharap Evan memberi kejuatan, nyatanya Evan langsung masuk kamar dan tidur. Keesokan harinya ia bertanya pada Evan tentang tanggal lahir untuk memancing, tapi Evan malah menjawab dengan sinis,

'Aku tidak tahu, pertanyaan yang sangat tidak penting,"

Ia sangat kecewa, dan sejak saat ia tidak pernah mengharapkan apapun, ia juga berubah bersifat lebih tenang setelahnya, saat itu ia pergi ke kantor membawa serta rasa kecewanya untuk merayakan sendiri ulang tahunnya.

"Kalau begitu, apa yang paling diinginkan wanita saat ulang tahun?"

"Kalau melihat karakter Jeni, sepertinya ia suka kemewahan, seperti tas branded, baju yang di desain khusus, atau sepatu kulit edisi terbatas," Celin asal menebak. Tapi semua itu benar.

"Kamu sebagai perempuan, akan meminta apa saat ulang tahun?"

"Aku? Mungkin perhiasan sudah cukup, tapi yang terpenting adalah ucapan selamat yang mengharukan dan kehadiran orang-orang terdekatku."

"Kapan ulang tahunmu?"

"Pertanyaan yang sangat tidak penting," Celin meniru gaya Evan waktu itu, Evan sepertinya mengingat itu, karena ia tiba-tiba membuang muka.

"Memangnya kamu mau memberiku hadiah? Sepertinya aku harus bangun dari mimpi," lanjut Celin. Ia berniat beranjak dari tempat tidur tapi Evan kembali menariknya, kali ini ia menindihnya.

'Oh, Tuhan apalagi ini? Aku sedang tidak mood,' ucap Celin dalam hati.

"Jauhi Dev!" Ucap Evan tiba-tiba.

"Kenapa tiba-tiba membahas Pak Dev?"

"Cukup jauhi saja, kulihat kamu selalu menempel padanya,"

"Kapan kau melihatki menempel pada Pak Dev, kami selalu bergaul sewajarnya dan hanya membahas pekerjaan, Apa kau melihat kami kemarin siang?"

Evan tidak bisa menjawab, ia malah mengulum bibir Celin dengan lembut, Celin hanya bisa pasrah di bawah kungkungannya. Tentu saja disertai dengan sentuhan-sentuhan tangan nakal Evan yang berakhir dengan penuh gairah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status