Share

Bagian 9

Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh.

"Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya,

"Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya.

"Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan.

"Pipimu berdarah, Evan!"

"Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan, seperti mengingatkan Celin agar tidak berlebihan, saat Celin mendongak untuk melihat situasi, sudah ada beberapa orang sedang mengerumuninya termasuk Pak Yanto dan beberapa rekan dari departemennya.

"Anda baik-baik saja, Pak Evan? Bagaimana denganmu Celin?" Tanya Pak Yanto khawatir sekaligus sedikit bingung, tampangnya menuntut Celin untuk menjelaskan.

"Saya tidak apa-apa, Pak. Hanya kaget saja," ucap Celin menghindari tatapan Pak Yanto sambil berusaha berdiri, begitu juga Evan.

"Tidak masalah hanya luka kecil," ucap Evan.

Celin dibantu rekannya untuk istirahat di dalam ruangan, tentu saja ia tidak bisa menghindari pertanyaan,

"Apa hubunganmu dengan Pak Evan, tadi kau berbicara tidak formal padanya?"

"Itu karena aku panik,"

"Bahkan saat aku mau mati aku akan tetap hormat padanya, Celin. Jangan menipu kami, Pak Evan juga berteriak seolah kamu adalah pujaan hatinya yang akan terluka," timpal yang lain. Ia akan senang seandainya itu benar.

"Oh yah? Aku tidak memperhatikan. Aduh aku masih kaget, tolong jangan diajak bicara dulu," ucap Celin, ia segera menjauh untuk mencari tempat yang sepi.

"Celin!" Suara familiar itu membuatnya menoleh.

"Evan, kau sungguh tidak apa-apa?" Celin masih khawatir.

"Seperti yang kamu lihat,"

"Syukurlah, tapi kau harus merawat lukamu,"

"Nanti saja. Jangan cerewet, aku ke sini untuk menghundari keramaian"

"Baiklan," Suasana menjadi hening. Celin merasa tidak nyaman dengan suasananya, jadi ia akan membiarkan Evan sendirian, ia sendiri memilih untuk pergi.

"Aku minta maaf," ucap Evan tiba-tiba, Celin menoleh dibuatnya.

"Untuk apa?"

"Tentang memiliki anak,"

"Kau sudah benar, aku yang salah karena mempermasalahkannya. Waktu itu aku lupa posisiku,"

"Posisi apa?"

"Aku tidak boleh berharap lebih, aku bukan Jeni"

"Kau dan Jeni berbeda, jadi kau tidak ingin anak lagi?"

Celin hanya menggeleng.

"kau tak apa tidak memiliki anak disepanjang hidupmu?"

"Memangnya kau tidak berniat menceraikan aku?"

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu,"

Celin duduk kembali karena merasa ini pembahasan serius.

"Kamu harus memikirkannya, agar aku bisa menikah dan memiliki anakku sendiri,"

"Kau sedang bicara apa? Jangan mengacau,"

"Adakalanya aku merasa lelah untuk mencintai, Evan. Tolong pertimbangkan untuk bercerai saja, lagi pula aku tidak sepercaya diri itu menunggu untuk dicintai,"

Evan tidak merespon, ia malah mengubah posisinya untuk tiduran, menggunakan paha Celin sebagai bantal sedang kedua kakinya dibiarkan saling berselonjoran.

Celin tiba-tiba diam, sepertinya seluruh tubuhnya menjadi beku, hanya jantungnya yang semakin kencang berdegup. "Ka... Kamu sedang apa?" ucap Celin terdengar sangat gugup.

"Aku mengantuk, kamu jangan banyak tanya," ucap Evan sambil menutup matanya dari silau cahaya matahari.

"Bagaimana kalau ada yang lihat,"

"Memangnya kenapa?"

"Bukannya tadi kau mengingatkan aku agar tidak bertingkah berlebihan saat ada banyak orang berkerumun?"

"Aku tidak berpikir seperti itu, sudah jangan menggangguku, aku mau tidur,"

"Ada apa dengannya?" Gumam Celin. Tadinya ia ingin berdiri lalu pergi tapi melihat Evan yang sedang nyaman dengan posisinya, ia urungkan dan malah memperhatikannya, Evan benar-benar tampan, wajah tampannya tidak berubah dari sejak ia mengenalnya semasa kuliah, bahkan sekarang semakin tampan dengan tubuh kekar yang selalu menempel di tubuhnya, tiba-tiba ia merinding memikirkan itu. Ia pun segera mengetuk kepalanya agar sadar dari pikiran kotornya.

Mereka di posisi itu selama kurang lebih lima belas menit sampai Evan membuka mata dan melihat Celin masih menatapnya, Celin gelagapan, ia segera membuang muka ke segala arah. Evan mengangkat kepalanya sedikit dan mengecup bibir Celin yang kebetulan sudah berbalik lagi ke arahnya.

"Aku lega karena kau baik-baik saja," ucap Evan smabil menegakkan tubuhnya.

"Jangan katakan tentang perceraian lagi! Mengenai anak, aku akan memikirkannya dan segera merencanakannya," Lanjutnya, memberi peringatan lalu pergi begitu saja.

"Apa artinya semua perlakuan ini?" Celin berbicara pada dirinya sendiri sambil memegangi bibirnya. Ia menjadi bingun apakah harus tetap mencintai atau melupakan.

***

Keesokan harinya, Celin datang ke kantor, ia merasa semua orang memperhatikannya. Tiba-tiba Piya menyeretnya masuk ke ruang kerjanya.

"Ada hubungan apa kamu dengan Pak Evan? Semua orang membicarakannya,"

"Kenapa bisa begitu?" Celin bertanya hati-hati.

Piya menyuruh Celin mendekat lalu membisiknya,

"Ada yang bergosip, Pak Evan tiduran di pahamu dan menciummu, apa semua itu benar?"

Celin segera menggeleng.

"Lebih parahnya lagi, kamu disebut sebagai pelakor yang memanfaatkan rasa kesepian Pak Evan karena istrinya sedang koma,"

"Aku? Menurutmu aku seperti itu?"

"Aku mengenalmu, Celin. Kalau kamu seperti itu, sepertinya Pak Yanto yang tampan rupawan sudah menjadi sasaran empukmu. Dia lebih pantas dari pada Pak Evan. Tapi aku butuh validasi tentang Pak Evan yang menciummu, apa itu benar?"

"Bagaimana menjelaskannya ya? Apa kau percaya kalau aku mengatakan bahwa aku ini istrinya Pak Evan?"

"Jangan halu! Aku akan lebih percaya kalau kau pelakor, walaupun panggilan itu tidak cocok untukmu,"

'Kami bahkan melakukan hal lebih dari berciuman." Tentu Celin hanya mengatakannya dalam hati. Celin tidak sengaja menjatuhkan Id Cardnya, saat ia memungutnya Piya tiba-tiba melotot padanya.

"Celin!" pekiknya membuat Piya kaget.

"Ada apa sih, Piya? "

"Kalungmu, dari mana kau mendapatkannya? "

"Ini, seseorang memberiku sebagai hadiah ulang tahun,"

"Apakah itu suami yang kamu bicarakan,"

"Iya,"

"Hanya ada dua kemungkinan, mungkin dia sangat kaya atau mungkin dia sangat mencintaimu, iya 'kan? Lain kali kenalkan padaku,"

'Tadi sudah ku kenalkan bukan' ucap Celin dalam hati.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status