Share

Bagian 8

sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu.

"Hai, Celin!" Sapa Bu Veron.

Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi.

"Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya.

"Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya.

"Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya

"Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan,"

"Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?"

"Kami baik, Mah."

"Kalau cucu Mamah?"

"Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, padahal ia dan Evan cukup aktif berhubungan badan.

"Iya, keponakan Evan sudah besar-besar, sudah tidak lucu lagi, mamah kangen bayi yang lucu dan yang paling penting adalah bayi yang lahir dari putra bungsu Mamah,"

"Maaf, Mah. Masih belum. Saya dan Evan belum membicarakannya lagi," Celin merasa bersalah.

"Kenapa harus dibicarakan, kalau kalian sering berhubungan seks pasti akan jadi bayi dengan sendirinya, apakah kalain bermasalah?" selidik Bu Veron.

"Tidak kok, Mah. Kami baik-baik saja," bantah Celin. Mereka terus mengobrol sampai masalah cucu terabaikan dan berganti topik, Celin sangat setia menemani mertuanya hingga wanita paruh baya itu pamit untuk pergi. Banyak hal yang mereka bahas, mereka juga sempat membuat cemilan untuk teman mengobrol. Mereka juga sempat membahas kalung pemberian Evan yang harganya mencapai ratusan juta dan banyak lagi. Beruntungnya Bu Veron tidak pernah mempermasalahkan keputusan anak-anaknya bahkan lebih sering mensupport.

Evan akhirnya pulang ketika hari sudah gelap. Celin sedang menunggunya untuk membahas sesuatu.

"Sudah pulang?"

"Hemm"

"Apa kamu punya waktu?"

Evan hanya memandang Celin.

"Maksudku, apakah kamu lelah, aku ingin bicara denganmu,"

"Bicara saja,"

"Kamu tahu, kita sudah menikah selama dua tahun, rasanya sedikit aneh kalau aku belum hamil 'kan?" Celin tidak ingin membuang-buang waktu.

Evan kembali memandang Celin, lalu berkata

"Kamu tidak akan hamil,"

"Aku bisa hamil, aku pernah memeriksakan diri dan aku sehat,"

"Karena aku mencegahnya,"

"Apa? Jadi kamu sengaja? Kenapa? Kamu tidak mau punya anak denganku?" Celin tiba-tiba emosi.

"Aku hanya belum siap,"

"Bilang saja, kau tidak mau anakmu lahir dari rahimku, kalau begitu tunggulah Jeni sehat, terus segera lahirkan anakmu darinya," Celin berbicara di luar kendali.

"Celin, jaga ucapanmu,"

"Aku tau, kamu tidak mencintaiku, tapi jangan jadi pecundang seperti ini, kau selalu bersetubuh denganku kapanpun kamu mau dan itu hanya karena tuntutan nafsu semata? kau tidak berencana memiliki anak. Kamu anggap aku apa? Kamu pikir aku pelacurmu? Aku gundikmu?," Celin semakin berapi-api.

"Kau sudah keterlaluan, Celin."

"Kamu yang keterlaluan, Van. Sudah dua tahun kau memakai tubuh ini, tapi kau tidak mengizinkan anak dari rahimku,"

"Bukan begitu Celin, kalau kamu sangat ingin anak, ayo lakukan sekarang, apa susahnya? Tidak perlu membawa-bawa Jeni dan sebagainya," Evan berusaha terlihat tenang.

"Tidak perlu, Van. Setelah aku tau, kau sengaja mencegahnya aku juga sudah tidak berminat lagi, hanya saja tolong jelaskan pada Mamah, kalau kamulah yang tidak menginginkan cucunya lahir dariku, tadi dia datang dan bertanya tentang cucu padaku, sekarang aku sudah tau penyebabnya adalah kamu, jadi kamu yang harus jelaskan," ucap Celin, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.

Evan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan kemudian bergumam dengan pasrah,

"Ternyata aku salah lagi? Aku hanya takut menyakiti anak yang akan lahir itu,"

Belum selesai dengan itu, Celin kembali dengan menenteng tas berisi beberapa lembar pakaian ganti.

"Kamu mau kemana? Jangan menambah masalah! " Tanya Evan segera.

"Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku di kantor daripada harus tinggal di rumah yang hubungan penghuninya tidak normal begini," jawab Celin ketus.

Sekali lagi Evan menarik nafas, ia selalu tidak peduli sebelumnya, tapi ia sedang memiliki rencana untuk memperhatikan Celin, jadi ia harus menunjukkan kepeduliannya.

Selain itu, rasa empatinya memang muncul setelah tahu kehidupan Celin tidak terlalu baik. Terutama ketika dirinya memperkenalkan Jeni sebagai istri pertamanya.

***

Beberapa hari telah berlalu, Pembangunan pusat perbelanjaan sedang di mulai, Celin semakin sibuk dengan pekerjaannya, ia selalu datang ke lokasi untuk meninjau, entah kenapa ia selalu dilibatkan oleh menejernya, bahkan diminta kordinasi dengan arsitektur. Ia kadang kebingungan dengan tugas tiba-tiba yang bukan tanggung jawabnya. Tapi ia juga tidak berniat menolak karena ia benar-benar suka tantangan.

Selagi memperhatikan para pekerja, seseorang tiba-tiba menepum pundaknya.

"Hai, Celin? Lama tidak bertemu." Suara itu membuatnya menoleh.

"Pak Dev? Sedang apa di sini?" Ucap Celin, seperti bertemu kembali dengan kenalan lama.

"Sekali lagi kuperingatkan, tolong panggil aku Dev," pinta Dev, sedikit menekankan.

"Baik, Dev. Aku benar-benar merasa tidak nyaman sekarang, anda berhasil membuatku menjadi orang yang paling tidak sopan,"

"Tapi aku suka itu," ucap Dev. Keduanya lalu tertawa.

"Maaf Pak Dev, saya harus menemui Pak Yanto," Celin hanya ingin menghindar. Ia buru-buru mencari Pak Yanto. Selagi mencari sosok Pak Yanto, tiba-tiba ada Evan menghalangi jalannya.

"Aku sudah memperingatkan, jauhi Dev!" Ada sedikit penekanan dalam kata-kata Evan.

"Dia yang datang padaku, lagi pula untuk apa orang-orang seperti kalian datang ke tempat seperti ini? mengganggu saja," gerutu Celin. Ia masih menyimpan rasa kesalnya mengenai anak.

"Mengganggu? Kamu tidak khawatir aku mencabut investasiku? kira-kira siapa yang paling dirugikan? Coba pikirkan apa yang akan terjadi?"

Celin hanya bisa menghela nafas mendengar kesombongan Evan.

"Jauhi Dev! Kau harus lebih berusaha, katakan padanya kau sudah menikah,"

"Kamu cemburu?"

"Omong kosong," ucap Evan kemudian menjauh. Membuat Celin merasa kesal dan menyesal karena dengan percaya dirinya menanyakan itu.

"Kalian membicarakan apa? Kalian terlihat akrab," ucap Pak Yanto, tiba-tiba berada di belakang Celin.

"Tidak ada. Pak Evan hanya bertanya mengenai ide warna saat gedungnya jadi,"

"Oh, berterimakasihlah padaku, kalau aku tidak menyibukkanmu di sini kau tidak akan mengenal orang-orang seperti Pak Dev dan Pak Evan,"

"Baik, Pak! " Celin hanya berbasa-basi agar menejer tampannya ini bisa berpuas diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status