sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu.
"Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, padahal ia dan Evan cukup aktif berhubungan badan. "Iya, keponakan Evan sudah besar-besar, sudah tidak lucu lagi, mamah kangen bayi yang lucu dan yang paling penting adalah bayi yang lahir dari putra bungsu Mamah," "Maaf, Mah. Masih belum. Saya dan Evan belum membicarakannya lagi," Celin merasa bersalah. "Kenapa harus dibicarakan, kalau kalian sering berhubungan seks pasti akan jadi bayi dengan sendirinya, apakah kalain bermasalah?" selidik Bu Veron. "Tidak kok, Mah. Kami baik-baik saja," bantah Celin. Mereka terus mengobrol sampai masalah cucu terabaikan dan berganti topik, Celin sangat setia menemani mertuanya hingga wanita paruh baya itu pamit untuk pergi. Banyak hal yang mereka bahas, mereka juga sempat membuat cemilan untuk teman mengobrol. Mereka juga sempat membahas kalung pemberian Evan yang harganya mencapai ratusan juta dan banyak lagi. Beruntungnya Bu Veron tidak pernah mempermasalahkan keputusan anak-anaknya bahkan lebih sering mensupport. Evan akhirnya pulang ketika hari sudah gelap. Celin sedang menunggunya untuk membahas sesuatu. "Sudah pulang?" "Hemm" "Apa kamu punya waktu?" Evan hanya memandang Celin. "Maksudku, apakah kamu lelah, aku ingin bicara denganmu," "Bicara saja," "Kamu tahu, kita sudah menikah selama dua tahun, rasanya sedikit aneh kalau aku belum hamil 'kan?" Celin tidak ingin membuang-buang waktu. Evan kembali memandang Celin, lalu berkata "Kamu tidak akan hamil," "Aku bisa hamil, aku pernah memeriksakan diri dan aku sehat," "Karena aku mencegahnya," "Apa? Jadi kamu sengaja? Kenapa? Kamu tidak mau punya anak denganku?" Celin tiba-tiba emosi. "Aku hanya belum siap," "Bilang saja, kau tidak mau anakmu lahir dari rahimku, kalau begitu tunggulah Jeni sehat, terus segera lahirkan anakmu darinya," Celin berbicara di luar kendali. "Celin, jaga ucapanmu," "Aku tau, kamu tidak mencintaiku, tapi jangan jadi pecundang seperti ini, kau selalu bersetubuh denganku kapanpun kamu mau dan itu hanya karena tuntutan nafsu semata? kau tidak berencana memiliki anak. Kamu anggap aku apa? Kamu pikir aku pelacurmu? Aku gundikmu?," Celin semakin berapi-api. "Kau sudah keterlaluan, Celin." "Kamu yang keterlaluan, Van. Sudah dua tahun kau memakai tubuh ini, tapi kau tidak mengizinkan anak dari rahimku," "Bukan begitu Celin, kalau kamu sangat ingin anak, ayo lakukan sekarang, apa susahnya? Tidak perlu membawa-bawa Jeni dan sebagainya," Evan berusaha terlihat tenang. "Tidak perlu, Van. Setelah aku tau, kau sengaja mencegahnya aku juga sudah tidak berminat lagi, hanya saja tolong jelaskan pada Mamah, kalau kamulah yang tidak menginginkan cucunya lahir dariku, tadi dia datang dan bertanya tentang cucu padaku, sekarang aku sudah tau penyebabnya adalah kamu, jadi kamu yang harus jelaskan," ucap Celin, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Evan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan kemudian bergumam dengan pasrah, "Ternyata aku salah lagi? Aku hanya takut menyakiti anak yang akan lahir itu," Belum selesai dengan itu, Celin kembali dengan menenteng tas berisi beberapa lembar pakaian ganti. "Kamu mau kemana? Jangan menambah masalah! " Tanya Evan segera. "Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku di kantor daripada harus tinggal di rumah yang hubungan penghuninya tidak normal begini," jawab Celin ketus. Sekali lagi Evan menarik nafas, ia selalu tidak peduli sebelumnya, tapi ia sedang memiliki rencana untuk memperhatikan Celin, jadi ia harus menunjukkan kepeduliannya. Selain itu, rasa empatinya memang muncul setelah tahu kehidupan Celin tidak terlalu baik. Terutama ketika dirinya memperkenalkan Jeni sebagai istri pertamanya. *** Beberapa hari telah berlalu, Pembangunan pusat perbelanjaan sedang di mulai, Celin semakin sibuk dengan pekerjaannya, ia selalu datang ke lokasi untuk meninjau, entah kenapa ia selalu dilibatkan oleh menejernya, bahkan diminta kordinasi dengan arsitektur. Ia kadang kebingungan dengan tugas tiba-tiba yang bukan tanggung jawabnya. Tapi ia juga tidak berniat menolak karena ia benar-benar suka tantangan. Selagi memperhatikan para pekerja, seseorang tiba-tiba menepum pundaknya. "Hai, Celin? Lama tidak bertemu." Suara itu membuatnya menoleh. "Pak Dev? Sedang apa di sini?" Ucap Celin, seperti bertemu kembali dengan kenalan lama. "Sekali lagi kuperingatkan, tolong panggil aku Dev," pinta Dev, sedikit menekankan. "Baik, Dev. Aku benar-benar merasa tidak nyaman sekarang, anda berhasil membuatku menjadi orang yang paling tidak sopan," "Tapi aku suka itu," ucap Dev. Keduanya lalu tertawa. "Maaf Pak Dev, saya harus menemui Pak Yanto," Celin hanya ingin menghindar. Ia buru-buru mencari Pak Yanto. Selagi mencari sosok Pak Yanto, tiba-tiba ada Evan menghalangi jalannya. "Aku sudah memperingatkan, jauhi Dev!" Ada sedikit penekanan dalam kata-kata Evan. "Dia yang datang padaku, lagi pula untuk apa orang-orang seperti kalian datang ke tempat seperti ini? mengganggu saja," gerutu Celin. Ia masih menyimpan rasa kesalnya mengenai anak. "Mengganggu? Kamu tidak khawatir aku mencabut investasiku? kira-kira siapa yang paling dirugikan? Coba pikirkan apa yang akan terjadi?" Celin hanya bisa menghela nafas mendengar kesombongan Evan. "Jauhi Dev! Kau harus lebih berusaha, katakan padanya kau sudah menikah," "Kamu cemburu?" "Omong kosong," ucap Evan kemudian menjauh. Membuat Celin merasa kesal dan menyesal karena dengan percaya dirinya menanyakan itu. "Kalian membicarakan apa? Kalian terlihat akrab," ucap Pak Yanto, tiba-tiba berada di belakang Celin. "Tidak ada. Pak Evan hanya bertanya mengenai ide warna saat gedungnya jadi," "Oh, berterimakasihlah padaku, kalau aku tidak menyibukkanmu di sini kau tidak akan mengenal orang-orang seperti Pak Dev dan Pak Evan," "Baik, Pak! " Celin hanya berbasa-basi agar menejer tampannya ini bisa berpuas diri.Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,
Ternyata setelah kejadian di taman waktu itu, hari-hari Celin menjadi berat, di kantornya ia sering mendengar perkataan tidak menyenangkan dari karyawan, bukan hanya tentang Evan, mereka juga membawa-bawa nama menejernya. "Hei, kau Celin 'kan?" Gadis centil itu tiba-tiba duduk di hadapan Celin sambil berkata dengan arogan. "Iya, kenapa?" Tantang Celin. "Ku dengar kau menggoda Pak Evan, kasi tau tipsnya dong!" "Aku tidak melakukan apa-apa," "Tampangnya saja yang polos, apa Pak Evan masih merasa kesepian setelah kamu menemaninya? Aku mau kok gantian sama kamu, " "Kalian ngomongin apa sih? Udah sok kenal, ngomongnya sembarangan lagi, kalau kamu memang ingin sekali menjual diri, sana cari gigolo, jangan mencemari nama baik Pak Evan," "Kurang ajar sekali," ucap gadis centil itu, ia sangat emosi dan ingin menampar Celin, untungnya ada Pak Yanto. "Apa-apaan kalian ini? Kalau mau melacurkan diri bukan di sini tempatnya," Ternyata Pak Yanto tidak kalah sengitnya. "Apa Pak
Celin terbangun tengah malam, Evan tidak ada di sampingnya, mungkin sedang menemani Jeni lagi, Celin berpikir, 'Memangnya untuk apa Evan tidur di sini dengannya? paling kalau ada maunya saja baru dia di sini." Dari pada pusing dengan pikirannya sendiri, ia segera membawa dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali tidur. keesokannya, ia terbangun lagi dan langsung ditodong oleh Evan. "Pagi ini ikut aku ke perusahaan Mahendra, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," Suara Evan memembuat Celin yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Aku bukan karyawan Mahendra, Pak Evan." Celin terdengar malas. "Ingat tentang kerja sama kita? " "Aku belum mendapat perintah dari atasan." "Saya adalah atasan dari atasanmu, jadi menurutmu siapa yang paling berhak kamu taati." "Iya, baiklah," Celin lebih baik mengalah dari pada harus mendengar kesombongannya. Mereka tiba di kantor perusahaan Mahendra, Celin dibuat terkagum-kagum, gedung milik Mahendra berkali-kali li
Evan benar-benar menepati janjinya, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, ia datang ke kantor Celin. Malah Celin yang menjadi ragu dan ingin membatalkannya, tapi Evan tidak akan pernah menarik kembali perkataannya. Ketika mereka tiba di kantor Celin, mereka menjadi pusat perhatian, dari pintu masuk bangunan tujuh tingkat itu orang-orang sudah langsung sigap berdiri menghentikan aktifitasnya demi memberi sambutan penghormatan begitu melihat Evan. Mereka tetap melakukannya walaupun dengan ekspresi terheran-heran, ada apa sampai Pak Evan Mahendra datang ke kantornya, ditambah lagi ada Celin yang sedang mengekor seperti anak kucing yang berlindung di belakang induknya. Celin buru-buru menyeimbangkan langkahnya dengan Evan lalu berbisik "Evan, sebaiknya kita hentikan ini. Sebenarnya aku tidak terlalu serius." "Tidak apa-apa, aku harus bertanggung jawab atas janji yang sudah kubuat," ucap Evan tidak ingin dibantah. Celin membawa Evan ke lobi kantor yang disiapkan untuk VIP. Evan
Ketika Celin kembali dari bekerja, ia menemukan Evan di ruang tamu sedang bersandar di sofa tampak memikirkan sesuatu. Sepertinya ia pun baru tiba. Ia tidak peduli dengan kehadiran Celin, Celin pun tidak berminat mau tahu, jadi Celin langsung berlalu ke kamarnya. Ternyata Evan mengikutinya. "Ada apa? Apa kau menyesal dengan apa yang yang kamu lakukan hari ini? Sepertinya kamu memikirkannya." Celin asal menebak. Evan tampaknya tidak tertarik. Ia malah mendekati Celin dan memeluknya dari belakang. "Layani aku, buat aku jatuh cinta," "Aku sudah dua tahun melayanimu, tapi kau tidak jatuh cinta sama sekali, apa kali ini akan berbeda hanya karena kamu berkata seperti itu? Kalau kamu menginginkan tubuhku lagi katakan saja tidak perlu berbelit-belit," "Aku akan mencoba, alasan aku mengatakan hubungan kita hari ini, karena aku ingin tahu seberapa ikhlas aku menerimamu sebagai istriku, ternyata tidak sesulit itu, hanya saja menumbuhkan cinta, kenapa begitu sulit." "Jadi selama dua t
Celin tidak berani bertemu Evan, ia berharap kesalahpahaman ini segera berakhir dan Jeni baik-baik saja. Jadi ia tinggal di mess perusahaan dekat kantornya, ia benar-benar wanita yang sangat rajin dan pekerja keras, ia masih bisa datang ke kantor untuk bekerja walapun keadaannya sedang carut marut, lehernya yang membiru akibat ulah Evan ia tutupi dengan syal. Orang-orang juga tidak memperhatikan, mereka pikir itu adalah bagian dari outfit yang dikenakan Celin. Di siang hari, Evan tiba-tiba hadir di kantor Celin, ia langsung ke ruangan CEO, Celin hanya menatap kepergiannya sambil menerka-nerka, ia berharap semoga bukan sesuatu yang buruk. "Itu suamimu 'kan? Samperin sana!" Ucap Piya. "Dia pasti ada urusan dengan bos, bukan denganku," "Meskipun begitu dia suamimu, Celin." "Aku tidak berpikir begitu, pekerjaan adalah pekerjaan, urusan pribadi adalah urusan pribadi, kalau dia datang untukku aku akan menyambutnya kalau dia datang untuk pekerjaan aku akan membiarkannya," "Per
Tempat acara mulai dipenuhi banyak orang, tapi tidak sesak karena acaranya dilaksanakan di taman, saat Celin mengitari taman, ia tidak sengaja melihat sosok yang sangat familiar, ia berpikir untuk pergi tapi ia masih menghormati Dev. Ia juga tidak menyangka kenapa Evan hadir di tempat seperti ini, Celin berusaha bersembunyi di tengah kerumunan. "Kamu mau makan apa? Biar kupesankan," ucap Dev, sejak tadi mereka hanya mengobrol. "Apa saja, semua tampak enak," jawab Celin, Dev tersenyum lalu berkata. "Kalau itu Miya, ia akan meminta makanan yang termahal yang ada di sini, dia sangat manja dan pemilih," "Oh ya? Ternyata perbedaan kami memang sangat jauh, aku wanita yang sangat mandiri, aku bisa memakan apapun selama itu adalah makanan," Celin hanya mencoba mengimbanginya, Dev tersenyum mendengarnya. Dev kemudian memanggil pelayan untuk menyiapkan makanan yang mereka inginkan. Celin kembali mengintip Evan, jika dilihat dari glagatnya sepertinya Evan sudah melihat kehadirannya
Evan baru saja akan masuk ke mobilnya, tapi tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata ayahnya memintanya menghadiri acara pesta ulang tahun itu, untuk menyapa crazy rich dari Dubai. Ternyata pemilik pesta mengundang tamu luar biasa itu, Evan urung melangkah ke mobilnya, ia malah berbalik untuk kembali mengahdiri pesta. Sepulang dari acara itu, Evan agak lelah dan mengantuk, acaranya selesai larut malam. Kini ia berada di rumahnya, meski lelah ia akan memaksakan diri untuk melihat CCTV. Ia memantau dari sejak ia meninggalkan rumah, tidak ada yang terjadi, Celin hanya duduk di sofa sambil bermain ponsel, mungkin karena mengantuk ia meletakkan ponselnya lalu memeriksa keadaan Jeni serta membenarkan selimutnya, memeriksa semua peralatan medis, setelah merasa semua baik-baik saja, ia kembali ke sofa lalu tidur di sana, tidak ada pergerakan sama sekali selama kurang lebih empat puluh menitan sampai Jeni tiba-tiba bergerak-gerak aneh, Celin juga langsung bangun dan memeriksanya, tanpa pik