Share

Antara Mencintai dan Melupakan
Antara Mencintai dan Melupakan
Penulis: Zizizaq

Bagian 1

Merupakan anugrah terindah bagi seorang perempuan jika memiliki suami berwajah tampan paripurna dan pewaris tunggal dari keluarga kaya, paket komplit dengan sifatnya yang pengertian dan bertanggung jawab.

Hanya satu hal yang belum membuat Celin puas, yaitu kata 'Aku mencintaimu' belum pernah ia dengar selama dua tahun pernikahannya, Ia memiliki segalanya dari Evan kecuali hatinya. Hak dan kewajiban sebagai istri terpenuhi, tapi perasaan Evan bukan miliknya. Ia tidak pernah melihat cinta di mata Evan.

Ia juga ingin tahu siapa yang memiliki hati suaminya, tapi ia takut jika faktanya ada orang lain, Pada akhirnya ia hanya bisa bersabar dan berharap suatu saat hati Evan berpihak padanya dan bersiap-siap seandainya tidak sesuai harapannya.

"Aku akan ke luar negeri besok, " ucap Evan seperti biasanya, seolah luar negeri bukan perjalanan jauh lagi baginya, hampir setiap bulan ia mengatakan itu pada Celin, bahkan pernah hanya berselang seminggu saja.

"Untuk apa?"

"Untuk pekerjaan dan ada hal lainnya." Evan berkata jujur, hal itu cukup membuat Celin bungkam dan bersikap tampak penurut. Takut jika banyak bertanya membuatnya kecewa, ia hanya bisa mengelabui perasaannya dengan berpura-pura sibuk. Ia sebenarnya adalah gadis yang ceria dan energik dua tahun lalu, entah sejak kapan ia berubah menjadi penurut.

"Oke, aku akan kusiapkan kebutuhanmu,"

"Heum! " gumam Evan.

Celin sedang berkutat dengan koper dan baju-baju Evan, saat Evan tiba-tiba berada di belakangnya.

"Kali ini aku agak lama, aku harus mengurus seseorang," ucap Evan dengan aura dinginnya. Celin berhenti sejenak dari aktifitasnya untuk memandangi Evan dan memberikan seulas senyum lalu kembali melanjutkan.

"Kamu tidka penasaran siapa orangnya?"

Celin menggeleng lalu berkata,

"Bukan urusanku 'kan?" lebih tepatnya ia takut kalau itu nama seorang perempuan.

"Aku akan penuhi kewajibanku sebagai suami sebelum pergi," Evan mendekat lalu memeluk pinggang Celin. Ia tau maksud Evan.

"Tidak perlu," tolak Celin cepat, sayangnya Evan tidak membiarkannya. Ia sangat pandai membuat Celin menyerah. Evan sangat lihai memainkan perannya di atas tubuh Celin, ia juga menikmati desahan dan erangan yang terdengar dari mulut Celin, hanya saja tatapannya seolah hanya memenuhi tuntutan nafsunya. Seperti sebuah rutinitas terencana dan harus dilakukan, mereka tertidur setelahnya.

Keesokan harinya...

"Aku pergi dulu," ucap Evan sebelum masuk ke dalam mobil, tidak ada sentuhan selamat tinggal hanya sebuah senyuman yang dipaksakan. Celin membalas seperlunya. Ia memandang nanar kepergian Evan yang entah akan kembali kapan, suaminya selalu seperti itu, datang dan pergi seenaknya, saat ia berkata akan pergi lama Celin tidak bisa menghitung berapa lamanya. Ia sudah terbiasa dengan itu, ia Kana bekerja agar mengurangi beban pikirannya.

Celin bekerja sebagai desain grafis di sebuah perusahaan, ia melakukan itu bukan karena kekurangan uang, hanya kebetulan ia berbakat di bidang itu dan menjadikannya sebagai pelarian dari rasa kesepiannya, selain itu agar kuliahnya selama empat tahun tidak terasa sia-sia.

"Celin, tolong buat flyer periklanan untuk proyek ini," ucap seseorang membuyarkan konsentrasinya, ia menerima berkas yang disodorkan kepadanya.

"Baik," balasnya.

"Karyamu yang terbaik," pujinya sebelum meninggalkan Celin.

"Terima kasih!"

Ya, Celin yang terbaik saat membuat desain grafis, idenya cemerlang dan desainnya selalu hidup, seperti kepribadiannya yang ceria, tapi itu dulu sekarang ia hanya menuangkan semuanya ke dalam karyanya.

Dua bulan berlalu, Evan sudah pergi selama itu, mereka tidak pernah benar-benar saling berhubungan, mereka hanya berbicara sebentar dan mengabarkan Hal-hal yang biasa, tidak sampai membuat hati Celin berbunga-bunga karena sebuah ucapan rindu atau sekedar sapaan layaknya suami yang sedang bepergian.

Hari ini, saat pulang kantor, ia menyaksikan hal yang paling menyakitkan di sepanjang pernikahannya, Evan sudah berada rumah bersama seorang perempuan yang tengah duduk di atas kursi roda, ia sangat cantik, Evan memandangnya penuh cinta.

"Celin!" Seru Evan begitu melihatnya.

"Kapan kamu datang?" Celin membawa kakinya yang terasa berat untuk masuk, ia tidak mau menyinggung tentang wanita itu.

"Tadi pagi," jawab Evan.

"Oh." Entah sejak kapan hubungan mereka sekaku ini, semua karena Evan tidak pernah membalas perlakuan Celin.

"Kau tidak penasaran siapa dia?" Tanya Evan, ia menunjuk wanita yang sedang duduk di kursi roda. Wanita itu tidak berekspresi dan tatapannya kosong.

"Nanti saja, aku sedang lelah," Celin tidak mau memberi Evan kesempatan.

Celin tidak membiarkan pikiran apapun hinggap di benaknya, ia segera masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat.

"Aku mau bicara." Ternyata Evan sudah menyambutnya saat keluar dari kamar mandi.

"Biarkan aku berpakaian dulu." Celin mencoba menghindar tapi Evan sepertinya sudah terdesak untuk membahasnya, tapi setelah melihat penampilan Celin yang hanya menggunakan handuk setinggi paha dengan bagian dada yang terbuka, ia urungkan niatnya sementara.

Entah kenapa ia merasa gugup, apa karena ia tidak berhubungan selama dua bulan, ia bisa saja melakukannya sekarang tapi waktunya sedang tidak tepat.

"Berpakaianlah dulu," ucap Evan. Celin menurut.

Evan memandangi Celin yang sedang sibuk mengurus tubuhnya, terbayang kembali bagaimana wajah ceria Celin saat ia datang melamar, di awal pernikahan wanita itu sangat aktif dan riang namun perlahan ia berubah, wajah ceria itu terlihat tertekan, tingkahnya juga menjadi lebih tenang.

"Kamu ingin bicara apa?" Celin berbalik dan berjalan ke arahnya. Evan buru-buru membuang muka ke samping.

"Apa kau tidak penasaran dengan perempuan yang bersamaku?" Lagi-lagi menanyakan itu.

"Katakan saja, tidak usah bertele-tele,"

"Dia Jeni, dia adalah istriku," ucap Evan dengan entengnya.

Bagai petir yang menyambar di telinga Celin, untuk pertama kalinya ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, dadanya sakit dan sesak, Evan melirik untuk melihat keadaannya.

"Aku harus menjelaskannya, kau bukan satu-satunya istriku,"

"Dan aku mencintanya,"

Jadi perempuan itu yang mengisi hati Evan? Hancur luluh lantak sudah perasaan Celin. Ia tiba-tiba beku tak berdaya. Dua tahun menunggu kata itu keluar dari mulut Evan, tapi begitu keluar ternyata bukan untuk dirinya.

"Aku sudah lelah, Van." ucap Celin dengan tenggorokan yang terasa tercekat. Akhirnya ia menyerah. Ia beranjak dari duduknya lalu pergi begitu saja.

"Kamu mau kemana?!" Evan segera mengejarnya sambil terus menahannya.

"Aku belum selesai bicara," Evan sedikit putus asa menghentikannya.

"Masih ada yang harus aku katakan, kau pasti bisa mengerti." Evan masih berusaha, meski Celin sudah masuk ke dalam mobilnya. Celin tidak ingin banyak bicara, ia hanya ingin segera pergi. Marah dan mengamuk juga tidak ada gunanya, melakukannya hanya akan tampak sia-sia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status