Merupakan anugrah terindah bagi seorang perempuan jika memiliki suami berwajah tampan paripurna dan pewaris tunggal dari keluarga kaya, paket komplit dengan sifatnya yang pengertian dan bertanggung jawab.
Hanya satu hal yang belum membuat Celin puas, yaitu kata 'Aku mencintaimu' belum pernah ia dengar selama dua tahun pernikahannya, Ia memiliki segalanya dari Evan kecuali hatinya. Hak dan kewajiban sebagai istri terpenuhi, tapi perasaan Evan bukan miliknya. Ia tidak pernah melihat cinta di mata Evan. Ia juga ingin tahu siapa yang memiliki hati suaminya, tapi ia takut jika faktanya ada orang lain, Pada akhirnya ia hanya bisa bersabar dan berharap suatu saat hati Evan berpihak padanya dan bersiap-siap seandainya tidak sesuai harapannya. "Aku akan ke luar negeri besok, " ucap Evan seperti biasanya, seolah luar negeri bukan perjalanan jauh lagi baginya, hampir setiap bulan ia mengatakan itu pada Celin, bahkan pernah hanya berselang seminggu saja. "Untuk apa?" "Untuk pekerjaan dan ada hal lainnya." Evan berkata jujur, hal itu cukup membuat Celin bungkam dan bersikap tampak penurut. Takut jika banyak bertanya membuatnya kecewa, ia hanya bisa mengelabui perasaannya dengan berpura-pura sibuk. Ia sebenarnya adalah gadis yang ceria dan energik dua tahun lalu, entah sejak kapan ia berubah menjadi penurut. "Oke, aku akan kusiapkan kebutuhanmu," "Heum! " gumam Evan. Celin sedang berkutat dengan koper dan baju-baju Evan, saat Evan tiba-tiba berada di belakangnya. "Kali ini aku agak lama, aku harus mengurus seseorang," ucap Evan dengan aura dinginnya. Celin berhenti sejenak dari aktifitasnya untuk memandangi Evan dan memberikan seulas senyum lalu kembali melanjutkan. "Kamu tidka penasaran siapa orangnya?" Celin menggeleng lalu berkata, "Bukan urusanku 'kan?" lebih tepatnya ia takut kalau itu nama seorang perempuan. "Aku akan penuhi kewajibanku sebagai suami sebelum pergi," Evan mendekat lalu memeluk pinggang Celin. Ia tau maksud Evan. "Tidak perlu," tolak Celin cepat, sayangnya Evan tidak membiarkannya. Ia sangat pandai membuat Celin menyerah. Evan sangat lihai memainkan perannya di atas tubuh Celin, ia juga menikmati desahan dan erangan yang terdengar dari mulut Celin, hanya saja tatapannya seolah hanya memenuhi tuntutan nafsunya. Seperti sebuah rutinitas terencana dan harus dilakukan, mereka tertidur setelahnya. Keesokan harinya... "Aku pergi dulu," ucap Evan sebelum masuk ke dalam mobil, tidak ada sentuhan selamat tinggal hanya sebuah senyuman yang dipaksakan. Celin membalas seperlunya. Ia memandang nanar kepergian Evan yang entah akan kembali kapan, suaminya selalu seperti itu, datang dan pergi seenaknya, saat ia berkata akan pergi lama Celin tidak bisa menghitung berapa lamanya. Ia sudah terbiasa dengan itu, ia Kana bekerja agar mengurangi beban pikirannya. Celin bekerja sebagai desain grafis di sebuah perusahaan, ia melakukan itu bukan karena kekurangan uang, hanya kebetulan ia berbakat di bidang itu dan menjadikannya sebagai pelarian dari rasa kesepiannya, selain itu agar kuliahnya selama empat tahun tidak terasa sia-sia. "Celin, tolong buat flyer periklanan untuk proyek ini," ucap seseorang membuyarkan konsentrasinya, ia menerima berkas yang disodorkan kepadanya. "Baik," balasnya. "Karyamu yang terbaik," pujinya sebelum meninggalkan Celin. "Terima kasih!" Ya, Celin yang terbaik saat membuat desain grafis, idenya cemerlang dan desainnya selalu hidup, seperti kepribadiannya yang ceria, tapi itu dulu sekarang ia hanya menuangkan semuanya ke dalam karyanya. Dua bulan berlalu, Evan sudah pergi selama itu, mereka tidak pernah benar-benar saling berhubungan, mereka hanya berbicara sebentar dan mengabarkan Hal-hal yang biasa, tidak sampai membuat hati Celin berbunga-bunga karena sebuah ucapan rindu atau sekedar sapaan layaknya suami yang sedang bepergian. Hari ini, saat pulang kantor, ia menyaksikan hal yang paling menyakitkan di sepanjang pernikahannya, Evan sudah berada rumah bersama seorang perempuan yang tengah duduk di atas kursi roda, ia sangat cantik, Evan memandangnya penuh cinta. "Celin!" Seru Evan begitu melihatnya. "Kapan kamu datang?" Celin membawa kakinya yang terasa berat untuk masuk, ia tidak mau menyinggung tentang wanita itu. "Tadi pagi," jawab Evan. "Oh." Entah sejak kapan hubungan mereka sekaku ini, semua karena Evan tidak pernah membalas perlakuan Celin. "Kau tidak penasaran siapa dia?" Tanya Evan, ia menunjuk wanita yang sedang duduk di kursi roda. Wanita itu tidak berekspresi dan tatapannya kosong. "Nanti saja, aku sedang lelah," Celin tidak mau memberi Evan kesempatan. Celin tidak membiarkan pikiran apapun hinggap di benaknya, ia segera masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. "Aku mau bicara." Ternyata Evan sudah menyambutnya saat keluar dari kamar mandi. "Biarkan aku berpakaian dulu." Celin mencoba menghindar tapi Evan sepertinya sudah terdesak untuk membahasnya, tapi setelah melihat penampilan Celin yang hanya menggunakan handuk setinggi paha dengan bagian dada yang terbuka, ia urungkan niatnya sementara. Entah kenapa ia merasa gugup, apa karena ia tidak berhubungan selama dua bulan, ia bisa saja melakukannya sekarang tapi waktunya sedang tidak tepat. "Berpakaianlah dulu," ucap Evan. Celin menurut. Evan memandangi Celin yang sedang sibuk mengurus tubuhnya, terbayang kembali bagaimana wajah ceria Celin saat ia datang melamar, di awal pernikahan wanita itu sangat aktif dan riang namun perlahan ia berubah, wajah ceria itu terlihat tertekan, tingkahnya juga menjadi lebih tenang. "Kamu ingin bicara apa?" Celin berbalik dan berjalan ke arahnya. Evan buru-buru membuang muka ke samping. "Apa kau tidak penasaran dengan perempuan yang bersamaku?" Lagi-lagi menanyakan itu. "Katakan saja, tidak usah bertele-tele," "Dia Jeni, dia adalah istriku," ucap Evan dengan entengnya. Bagai petir yang menyambar di telinga Celin, untuk pertama kalinya ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, dadanya sakit dan sesak, Evan melirik untuk melihat keadaannya. "Aku harus menjelaskannya, kau bukan satu-satunya istriku," "Dan aku mencintanya," Jadi perempuan itu yang mengisi hati Evan? Hancur luluh lantak sudah perasaan Celin. Ia tiba-tiba beku tak berdaya. Dua tahun menunggu kata itu keluar dari mulut Evan, tapi begitu keluar ternyata bukan untuk dirinya. "Aku sudah lelah, Van." ucap Celin dengan tenggorokan yang terasa tercekat. Akhirnya ia menyerah. Ia beranjak dari duduknya lalu pergi begitu saja. "Kamu mau kemana?!" Evan segera mengejarnya sambil terus menahannya. "Aku belum selesai bicara," Evan sedikit putus asa menghentikannya. "Masih ada yang harus aku katakan, kau pasti bisa mengerti." Evan masih berusaha, meski Celin sudah masuk ke dalam mobilnya. Celin tidak ingin banyak bicara, ia hanya ingin segera pergi. Marah dan mengamuk juga tidak ada gunanya, melakukannya hanya akan tampak sia-sia.Celin baru menumpahkan segalanya saat berada di dalam mobil, saat tidak ada orang yang menertawakan perasaannya.Ia belum pernah merasakan sakit seperih itu, meski dalam hatinya ia selalu menduga adanya wanita lain di sisi Evan tapi ia selalu bisa menghindari pikirannya, namun setelah menghadapi kenyataan bahwa dugaannya benar, ternyata ia tidak sanggup dan sangat ingin lari dari kenyataan. Tiba-tiba teleponnya berdering, tulisan My Beloved husband menari-nari di sana, ia mengabaikannya, sedetik kemudian sebuah pesan masuk, ia hanya membaca di layar kunci, ia tidak berminat membuka apalagi membalasnya. 'Aku tau kau sedang emosi, bahaya saat menyetir,' "Sejak kapan kau peduli?" ucap Celin, rasanya ingin berteriak dan memaki di depan orangnya langsung. Celin mengalah setelah membaca isi pesan itu, sepelik apapun masalahnya, ia harus tetap hidup, jadi ia menepikan mobilnya untuk sedikit menenangkan diri, sambil berpikir kemana ia harus pergi. Ia tidak bisa ke rumah orang tuanya, p
Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya. Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi. "Pak Evan?" Celin sedikit kaget. "Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan. "Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin. "Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman," "Baik, Pak!" "Masih?" "Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman," "Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya. "Pulanglah
Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya. "Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengata
Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin. "Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap E
Di rapat kali ini, Evan selaku investor utama yang memimpin. Rapat tiba-tiba diadakan karena ada perubahan besar-besaran. Evan menjelaskan, letak bangunan itu sangat strategis jika dijadikan sebagai hotel bintang lima, alih-alih menjadi pusat perbelanjaan dan sebagainya. Ia berbicara hingga akhir, setelah itu semua orang diminta mengeluarkan pendapatnya. Celin mengacungkan tangannya, "Ya, silahkan, Nona Celin!" Panitia rapat memberinya kesempatan. "Terima kasih atas waktunya," ucap Celin berbasa-basi. "Lahan di sekitar lokasi gedung masih sangat luas, bagaimana kalau rencana awal tetap diadakan dan mendirikan lagi sebuah bangunan, sepertinya hotel dan pusat perbelanjaan cukup baik jika disandingkan," "Ide yang bagus," sambut Evan, sepertinya ia cukup puas dengan ide Celin. Tampak Dev sangat tertarik dengan celin, ia tidak lepas memperhatikannya. "Ada lagi?" Ucap panitia rapat. Selain Celin ada beberapa orang lagi yang bersuara, poin akhirnya, semua setuju untuk meng
Dua minggu telah berlalu. Hari spesial Celin masih sama seperti tahun sebelumnya, ia menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sambil menunggu jam dua belas malam untuk merayakan hari ulang tahunnya sendiri, ia sudah menyiapkan cupcake dan lilin, sama seperti yang ia lakukan tahun lalu. Ia berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri, ia juga akan memberikan hadiah untuk dirinya sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum jam dua belas, Celin sudah mempersiapkan semuanya, ia sudah menyalakan lilin di atas cup cake kecil yang tadi dibelinya. Ia sangat fokus memperhatikan api lilin yang sedang meliuk-liuk seolah menertawakan kesendiriannya, saat tinggal hitungan detik, air matanya tidak terasa luruh begitu saja, ada banyak hal yang berseliweran di kepalanya, ia mengasihani dirinya yang mampu bertahan di pernikahannya selama dua tahun, ia juga mengingat bagaiman Evan menanyakan hadiah untuk Jeni yang berulang tahun dua minggu yang lalu ia tidak pernah merasa sesedih ini s
sepulang kerja, Celin mendapati mertuanya sedang berada di rumah, ia dan mertuanya cukup akur, mertuanya tipe orang yang tidak perduli dengan kehidupan putranya tapi kali ini ia datang, pasti karena ada sesuatu. "Hai, Celin!" Sapa Bu Veron. Tidak heran kalau Evan sangat tampan jika terlahir dari rahim Bu Veron yang sangat cantik dan menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. "Mamah, apa kabar? Kenapa tidak mengabari Celin?" Tanya Celin sambil menyalami mertuanya. "Mamah baik, Mamah baru saja tiba, mamah takut kalian sibuk," Bu Veron tersenyum hangat pada menantunya. "Kudengar kamu dan Evan menangani proyek yang sama," lanjutnya "Celin hanya mengurus bagian desain grafisnya saja, Mah. Bos saya dan Evan yang bertanggung jawab secara keseluruhan," "Begitu juga sudah bagus. Bagaimana kabar kalian?" "Kami baik, Mah." "Kalau cucu Mamah?" "Cucu?" Celin tidak pernah memikirkan tentang anak, ia sendiri tidak tau kenapa sudah dua tahun pernikahan tapi belum hamil, pad
Beberapa waktu terlewati, para pekerja sedang mendirikan tiang untuk pijakan, semua tampak baik-baik saja sampai ada satu tiang yang berukuran besar dan panjang sepertinya akan jatuh, para pekerja tidak bisa mengendalikan tiang itu dan akhirnya roboh. "Awas... Awas...!" Teriak para pekerja serempak, Celin menjadi sasaran paling empuk, walaupun posisinya agak jauh, tiang panjang itu masih akan menjangkaunya. Celin yang kaget spontan memegangi kepalanya sambil berdiri untuk kabur. Semua orang juga kaget dan panik, tapi lebih kaget lagi saat melihat Evan berlari untuk menyelamatkan Celin sambil meneriakkan namanya, "Celin...! Awas....!" Teriakan Evan dan dorongannya pada Celin serta jatuhnya tiang terjadi secara bersamaan dan sangat cepat. Semua orang segera berlari mendekatinya. "Evan, kau baik-baik saja?" Tanya Celin, sangat khawatir tanpa memperhatikan sekitar, ia memeriksa tubuh Evan. "Pipimu berdarah, Evan!" "Aku tak apa, orang-orang sedang melihat kita," bisik Evan,