“Mau menyusui di sini?” ulang Arsya. Indah langsung mengangguk. “Menyusui Alif maksudnya?” Arsya sedikit kurang siap dengan pertanyaan Indah sampai harus salah menyusun kalimat pertanyaan. “Iya, Pak. Menyusui Alif," tegas Indah dengan sedikit penekanan pada nama Alif. "Saya minta maaf sebelumnya, tapi Bapak jangan lihat ke sini dulu, ya. Nggak lama.” Indah kesal sekaligus geli melihat wajah Arsya yang biasa datar terkesan cuek itu sekilas bisa jadi sebodoh itu karena mendengar kata menyusui. Arsya bergerak linglung. Menyandarkan punggungnya dengan kepala mendongak, lalu menggeleng karena merasa posisi itu tidak benar. Arsya kemudian berputar ke kiri, namun ia malah beradu pandang dengan Indah. Ia merutuk dalam hati lalu berputar sedikit ke kanan sampai katanya menatap tirai kaca mobil. Ia memperhatikan jahit tepi tirai yang ternyata sangat kecil dan rapi. Detil sekali, pikirnya. Ia lalu menyentuh tirai kecil itu. Wow, lembut. Kenapa ia baru tahu kalau tirai jendela mobil itu sangat l
“Benar, In? Ini calon suami kamu? Jadi, kamu memang sengaja menggugat cerai Panca karena sudah punya calon suami? Benar begitu?” Bu Lina menghapus air matanya dengan mata tak lekang dari Arsya. Indah menggeleng. “Nggak benar begitu. Wanita mana yang mau bercerai dengan suaminya sewaktu bayinya masih merah. Mama nggak usah bahas yang ini.” Indah melangkah ke depan Arsya. Menghalangi agar Bu Lina tidak terlalu mencari tahu soal siapa Arsya dan tujuannya ada di sana. “Masalah yang Mama sebabkan belum selesai. Papa masih di dalam sana enggak tahu keluarnya selamat atau enggak. Kenapa Mama tega banget, sih, sama Papa? Padahal Papa, tuh, percaya banget ke Mama. Aku juga nggak pernah permasalahkan keuangan CV Papa karena Mama kelihatan kepengin terlibat. Aku lepasin biar Mama senang; biar Mama merasa menjadi istri dan ibu yang dihargai.”“In, harusnya kamu nggak ngomong kayak gini di depan Arsya. Dia calon anggota keluarga kita dan ini hari pertamanya berkenalan dengan Mama.” Bu Lina menyen
Kedua tangan Arsya memang berada di bahu Indah, tapi Indah sendiri belum mau beranjak dari depan ibu dan anak yang tidak berperasaan itu. Ia belum selesai meluapkan amarahnya. Maka gerakan kecil dari Arsya tak juga membuatnya menggeser kaki. Arsya sepertinya menyadari. Terbukti dari sepasang tangannya yang melepaskan bahu Indah dengan perlahan. Arsya mundur sedikit dan menunggu apa yang ingin disampaikan Indah. Indah beberapa kali mencoba mengatur napas. Tapi ia yakin sekali bahwa suaranya masih bergetar saat bicara. Dengan tangan kanan yang membentuk kepalan, Indah bicara pada Panca. “Mas Panca adalah ayah kandung Alif tanpa diragukan sedikit pun. Saranku, jangan pernah menyebut Alif dengan sebutan ‘anak itu’. Sejak jadi seorang ibu, aku mudah sakit hati kalau anakku dihina. Alif nggak seharusnya menerima akibat dari kebodohan yang aku buat. Jadi, aku nggak akan memaafkan Mas Panca kalau terjadi sesuatu pada Alif.” Indah menelan ludah sebelum melanjutkan. Benar saja perkiraannya ta
Tidak…tidak. Apa tadi mereka sempat bicara soal menginap? Atau ia yang menawarkan pada atasannya itu untuk menginap? Setelah dipikirkan beberapa kali pun hasilnya tetap sama. Arsya memang membawa kopernya turun dari mobil dengan rasa percaya diri yang dimiliki atasannya itu seperti biasa. “Mbak Indah,” panggil Bu Anum. Indah mendekat dan wanita itu membawa Indah menuju dapur. “Saya sudah bawa Alif ke kamar. Sekarang saya lapar. Mau makan. Kita semua belum makan malam. Bapak itu juga,” lapor Bu Anum, menjengukkan kepalanya melihat Arsya. “Iya, Bu. Maaf kalau saya lupa soal makan malam. Bu Anum bisa masak atau menghangatkan masakan apa pun yang ada di kulkas. Sejak dulu Mbah Fatmah nggak pernah membiarkan kulkas kosong tanpa masakan yang praktis bisa langsung dihangatkan. Bisa dilihat sekarang. Saya mau nunjukin kamar ke Bapak itu.” Indah meringis karena Bu Anum tersenyum jahil menggodanya. Indah melihat dua koper ukuran kabin teronggok di dekat sofa. Arsya menempati sofa tunggal dan
Tangisan Pak Hadi yang tersedu-sedu membuat Arsya terdiam beberapa saat. Arsya melirik Indah yang sedikit pun tidak mau menoleh ke arahnya ketika ia menyampaikan soal pernikahan. Awalnya ia mengira Indah akan memandangnya dengan raut asing. Atau bisa jadi juga Indah akan kesal karena ia bicara tidak pada tempatnya. Tapi pagi itu Indah diam karena wanita itu sepertinya tidak siap melihat keadaan papanya untuk pertama kali.Indah menunduk dan menangis tanpa suara. Tangannya menggenggam tangan Pak Hadi yang bisa digerakkan. “Papa …,” panggil Indah dengan suara yang sangat berat menahan tangis. “Kenapa Papa jadi gini? Kalau Papa nggak bisa ngomong, Indah harus mendengar nasihat dari siapa? Maafin Indah yang belum bisa menyenangkan Papa. Indah selalu aja buat masalah. Indah selalu jadi beban.” Indah melipat tangannya di tepi ranjang dan membenamkan kepalanya. Ia kembali menangis. Tak kuat melihat perban yang terbebat di kepala Pak Hadi.Indah tidak mengerti apa yang hendak dikatakan papan
“Maksudnya? Pengacara untuk apa?” Saking pusingnya memikirkan keadaan Pak Hadi, Indah lupa kalau rumah mereka di Bandung sedang dalam tawanan pihak lain karena sejumlah uang.“Saya pengacara yang akan mengurus pengembalian sertifikat rumah atas nama Bapak Hadi. Juga ada beberapa hal yang perlu diselesaikan.” Bono si pengacara tersenyum tipis berharap Indah tidak mempermasalahkan penyebutan ‘beberapa hal’. Penyebutan itu diminta oleh orang yang menyewa jasanya.“Beberapa hal seperti apa?” Indah melirik Bu Lina yang langsung salah tingkah.“Beberapa hal sepele,” tegas Bono. Memang menurutnya hal-hal sepele. Wajar kalau pria yang membayarnya cukup besar itu mewanti-wantinya untuk tutup mulut. Kasus penggelapan dana perusahaan kecil baginya hanya hal sepele. Terlebih arus keuangan dari wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya saat itu jelas masuk ke rekening seorang pria muda yang berstatus sebagai kekasihnya. Bono memegang janji untuk tidak membocorkan hal itu agar wanita bernama Ind
Selama di Bandung Arsya mengamati semua anggota keluarga Indah. Bu Lina merespon kehadirannya dengan antusias, Mbah Fatmah memandangnya dengan sorot penasaran, juga Pak Hadi yang tersadar dari operasi lalu menatapnya dengan sorot penuh kesedihan yang tidak ia mengerti.Informasi yang Arsya terima sebelumnya adalah Pak Hadi mendapat serangan stroke setelah mengetahui Bu Lina menggadaikan sertifikat rumah dan memiliki cukup banyak cicilan hutang karena itu.Bukan ingin mencampuri urusan Indah terlalu jauh, tapi tangisan Pak Hadi yang tersedu-sedu ketika mereka bertemu membuat ia banyak berpikir. Bagaimana kalau dalam masa penyembuhannya nanti Pak Hadi malah kehilangan rumah karena cicilan yang tidak dibayar? Maka Arsya menelepon seseorang yang biasa menangani masalah hukum keluarganya.Seorang pengacara muda bernama Bono mendatangi Arsya dengan laporan mengejutkan. “Saya sudah mengecek semuanya dengan teliti. Semuanya masih sama dengan yang sebelumnya. Sekarang hanya ada penambahan satu
Bukan hanya ketergesaan dalam suara Arsya saja yang membuat Indah keheranan. Tatapan Arsya juga tidak seperti biasa. Ada yang lain, tapi Indah belum mengerti. Keteguhan hati yang sudah ia persiapkan tadi luruh begitu saja. Ia mengangguk dengan bodohnya. Penyesalan anggukan itu tak menunggu lama. Beberapa detik kemudian Indah tersadar setelah Arsya membuka kembali pintu emergency dan berkata, “Bereskan semua bawaan kamu, kita berangkat ke butik pakaian wanita. Saya akan bilang ke Sarah kalau kamu akan menemani saya mengunjungi suatu tempat. Itu saja.”Indah berjalan di lorong seperti orang linglung. Puluhan pertanyaan dengan awalan ‘bagaimana kalau’ memenuhi pikirannya ketika cepat-cepat membereskan tas. Kalau bisa, jangan sampai ia masih berada di sana ketika Arsya keluar ruangan. Ia tidak mau berjalan beriringan dengan atasannya itu.Dinding kantor yang katanya bertelinga ternyata memang tidak salah. Yeni mendatangi Indah dengan wajah kesal. “Kamu memang diajak Bapak pergi? Berdua la