Suara berisik yang didengar Indah awalnya sangat jauh. Debum yang samar-samar dan suara langkah kaki yang tidak jelas. Denyut di pelipis dan sudut bibir membuat ia malas membuka mata. Berat dan mengantuk. Bolehkah ia tidur saja? Indah memicingkan matanya lebih rapat. Lalu suara pintu kembali berdebum keras. Kali ini dibarengi dengan suara bantingan di lantai. Kesadaran memaksa Indah membuka mata. Lalu, sosok yang selama hampir seharian itu memenuhi pikiran muncul begitu saja. Entah dari mana. Arsya harusnya tidak di sini. Bukannya Arsya di luar negeri? Atau hari sudah berganti tanpa sepengetahuannya?“A-Abang?” Indah mengerjap. Ia berharap sapaan itu mendapat sambutan dari Arsya. Setidaknya pria itu pasti akan tersenyum melihatnya baik-baik saja. Tapi rupanya dugaan itu meleset. Arsya tidak membalas sapaan atau terlebih menghampiri Indah.. Arsya menatap Indah dengan teliti. Memandang sudut bibir yang membengkak, juga pelipis yang kini terasa amat menebal.“Kalian pukul dia?” tanya Ar
Sesungguhnya Indah tidak menginginkan pemandangan yang tersuguh di depannya. Arsya menghajar seorang pria yang meski tubuhnya tegap berisi, namun pria itu sudah tua. Ia tidak menginginkan penampakan emosi Arsya seperti saat itu. Arsya seakan tidak menggubris keberadaannya. Arsya mengamuk bagai kesetanan. Tidak peduli bahwa ia berdiri di sana dengan segala ketakutan yang tidak ada hubungannya dengan orang-orang picik itu.Jika dihitung waktu yang sebenarnya mungkin kejadian itu hanya dalam hitungan menit saja. Tapi karena hal itu berlangsung di hadapannya, Indah merasa detik demi detik saat tangan Arsya menghantam wajah Tio berlangsung sangat lama. Menjelang malam itu waktu terasa terhenti.“Berengsek! Apa salah istriku? Apa salah istriku?” Arsya bahkan sudah tidak bisa menghitung berapa kali kepalan tangannya terarah ke rahang dan tubuh Tio. Pria tua itu tidak diam saja. Beberapa kali tangan dan kakinya juga terarah pada Arsya untuk memberi perlawanan.“Harusnya … kau ingat janjimu! R
“Maksudnya apa?” Riri memandang Arsya. “Sa, maksudnya apa? Laki-laki ini siapa? Dia ngomong apa?” Jeritan Riri semakin keras. Sementara Panca dan Mayang bertukar pandang.Sekitar tempatnya berdiri sebenarnya sangat riuh. Suara orang bertanya dan menjawab sahut menyahut. Suara sirene yang tadi terdengar jauh perlahan mendekat. Lalu suara derap kaki kembali mewarnai sisa hari itu. Tidak ada yang ia dengar selain suara seorang pria menyebut namanya. Indah menoleh. Arsya mengulurkan tangan dan menyunggingkan senyum. Harusnya memang semua sudah selesai, namun di antara kelelahan fisiknya, hatinya terasa lebih lelah.“Kenapa kita harus ikut? Aku nggak mau!” teriak Riri lagi. “Mereka yang harus ikut dan dipenjara! Biarkan mereka membusuk di penjara. Fanny meninggal karena kelalaian mereka. Jangan pegang aku!”“Kamu belum ngerti juga ya? Belum paham juga? Laki-laki itu udah ngomong soal barang bukti. Yang membunuh saudarimu itu bukan kita berdua. Tapi kamu.” Mayang membalas teriakan Riri. “Ca
“Udah? Segitu aja? Sekian lama kami berdua mengusahakan pengobatan dan akhirnya harus begini aja? Coba lagi! Coba lagi, Dokter …. Saya mohon dicoba lagi. Pagi tadi bayi saya baik-baik aja.” Indah menangkup tangannya di depan dada memohon dokter yang biasa menangani Alif di poliklinik. Melihat dokter bergeming, Indah merunduk untuk memeluk Alif di ranjang. “Kasihani kami berdua, Dok. Kasihani kami. Kami datang ke kota ini cuma berdua. Kami nggak punya siapa-siapa di sini. Bantu Alif, Dokter. Alif nggak pernah bahagia. Saya gagal buat Alif bahagia. Saya egois.” Indah meraup tubuh Alif dan menggesek pipi Alif dengan hidungnya.Arsya membeku di tempatnya berdiri. Memandang satu persatu wajah sedih yang ikut meneteskan air mata diam-diam saat mendengar ratapan Indah. Ia pun ikut menangis. Sebagian hatinya sedih dan hancur karena kepergian Alif, sebagian lagi sedih dan hancur karena Indah mengatakan tidak memiliki siapa-siapa di kota itu. Serasa sesuatu yang berat menghantam dadanya.“Sa, k
Rasanya memang seperti mimpi. Ia sudah dua kali merasakan kehilangan. Mama, Papa, lalu sekarang putra spesialnya; Alif. Rasanya sama sakit, sama sedih. Bedanya kehilangan kali ini membuat ia semakin mati rasa. Cobaan yang menghantamnya sudah lebih dari cukup. Sekedar air mata pun rasanya tidak bisa menggambarkan hancur hatinya.Perhatiannya tertuju hanya pada tubuh mungil Alif yang terbaring menyedihkan.“Alif anak Mama …,” lirih Indah saat Alif bersiap untuk diberangkatkan ke Bandung. Langkahnya terus mengikuti ke mana dua orang pria mengangkat jenazah Alif.“Indah…Indah. Kita langsung berangkat. Semua perlengkapan kamu sudah dibawa Bu Anum.” Sarah menjajari langkah Indah yang tidak memedulikannya. Bu Della dan Pak Ari juga ikut berangkat. Kamu juga bakal ditemani Laras. Bu Lina sudah bersiap di Bandung untuk menerima Alif.” Sarah menahan lengan Indah yang mau tidak mau berhenti untuk memandangnya.“Maaf, Bu. Saya nggak dengar,” kata Indah, dengan sudut mata tetap tertuju pada pintu
“Saya kira Anda bisa berubah meski sedikit,” ucap Arsya dengan tatapan menyedihkan pada Panca.Panca melirik Mayang. “Maaf,” ucap Panca.“Ooo …,” sela Dean berhenti di depan Panca. Sejak tadi pengacara itu berjalan mengitari ruangan menunggui pembicaraan Arsya selesai. “Saudari Mayang bisa keluar dan menunggu di luar. Ada kursi di luar pintu ini. Silakan,” kata Dean, membuka pintu yang berada di dekatnya, lalu menelengkan kepala mempersilakan Mayang keluar.Mayang keluar tanpa banyak protes. Sadar karena posisinya sedang tidak menguntungkan saat itu.Ketika pintu sudah kembali ditutupnya, Dean berkata, “Silakan bicara, Pak Panca. Istri Anda sedang berada di luar,” tukas Dean. “Ada beberapa pria yang tidak nyaman bicara lugas saat berada di bawah tatapan istrinya. Yang jelas bukan aku,” tambah Dean saat Arsya memandangnya seakan meminta penjelasan.Panca mengembuskan napas panjang dan berat. “Maaf, Pak Arsya. Kondisi saya saat ini sangat sulit. Papa saya masih di tahanan dan sidang ban
Indah baru beranjak dari sisi Alif saat Laras menyentuh kedua sisi bahunya. Ia menoleh menampakkan wajah kuyunya. “Mbak Laras …,” ucap Indah dengan suara serak.“Alif mau berangkat,” ucap Laras. “Dan di sana … ada yang mau ketemu kamu.” Laras memandang Panca dan Mayang yang muncul di pintu yang membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka.“Oh, kenapa mereka datang? Apa Mas Panca sedih Alif meninggal?” Nada suara Indah terdengar tidak yakin.“Masih ada waktu sedikit,” kata Laras mengingatkan. Tanpa diminta Panca melangkah masuk menghampiri Indah. Panca tiba lebih dulu di dekat Alif sedangkan Mayang mendekat dengan raut takut-takut.“Bayi yang kamu sebut idiot dan cacat sudah meninggal, Mayang. Apa kalau sudah begini kamu bisa lebih tenang karena Mas Panca tidak harus menanggung siapa-siapa?” Suara Indah sangat pelan tapi sangat jelas menusuk Mayang yang sontak mengusap perutnya.Mayang membasahi bibirnya. Tangannya mencari-cari tangan Panca seolah mencari pembelaan.“Jangan biki
Arsya sedikit terperangah. Tidak menyangka dengan pertanyaan yang berani ia sampaikan pada sang ayah, juga tidak menyangka kalau ia akan mendapat jawaban selugas itu. “Oh, bukan, ya?” tiba-tiba Arsya merasa bodoh dan gegabah. Juga sedikit malu. Ia meringis. “Apa benar-benar sudah ingat? Memangnya waktu itu kamu mengantar bunga sampai ke mana?” Ari Subianto mengernyit memandang putranya. “Ingat tempat ini atau ingat Indah?” Lalu bertanya lagi tanpa menunggu Arsya menjawab. “Sewaktu berdiri di pagar itu aku lihat pohon beringin. Dari pintu letaknya sebelah kanan. Lalu … aku ingat mendatangi anak perempuan yang sedang nangis dalam pelukan laki-laki. Aku nggak sempat lihat wajah anak perempuan itu, tapi aku ingat bawa bunga. Lalu ….” Arsya menajamkan ingatannya. Lalu ia terhenyak dan membulatkan mata. “Lalu?” ulang Ari Subianto menunggu ingatan Arsya. “Laki-laki yang memeluk Indah itu Almarhum Pak Hadi. Itu sebabnya di rumah sakit Pak Hadi membelalak sewaktu ketemu aku pertama kali. A