"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus berkelit, aku harus tetap berbohong, jangan sampai aku menghancurkan rumah tangga Amanda bersama si pria bodoh ini!" Wanita yang mengenakan pakaian khusus pasien itu berdehem pelan. Mencoba berbicara dengan tenang dan meyakinkan. "Apa kamu bilang, ini anakmu?!" Luna mendengus dan tersenyum miring. "Enak saja kamu mengaku ini anakmu. Tentu saja bukan! Ini adalah anak kekasihku yang saat ini bekerja di luar kota!" tegasnya dengan tatapan sinis. Rayyanza merasa kesal mendengar jawaban yang keluar dari mulut Luna. Ia melangkahkan kaki, mendekatkan wajahnya pada Luna, menatap dengan tatapan tajam. "Kamu pikir aku bodoh, Luna! Aku sangat yakin aku lah yang pertama melakukannya, dan jelas-jelas membuangnya di dalam. Aku memang tidak bisa menghamili Amanda karena mungkin ia mempunyai masalah dengan rahimnya. Tapi aku bisa saja menghamilimu!" ujarnya dengan suara setengah berbisik.Pria berparas tampan itu membuang napas kasar. "Lantas apa maksudmu menghi
Di dalam ruangan VVIP rumah sakit, Luna terdiam. Ia melirik Rayyanza sekilas. Ayah biologis dari bayi yang dikandungnya itu sudah terlelap di atas sofa. Luna memasang wajah sendu. "Maafkan aku, Manda. Aku berjanji akan menjelaskannya padamu, tapi tidak sekarang." ucapnya dengan suara pelan.Amanda mengangguk. Tak ingin mencecar Luna dengan pertanyaan yang akan memberatkannya. Ia berpikir, mungkin ini adalah hal yang sulit bagi Luna untuk bisa berterus terang padanya. Keesokan harinya, Luna akan di periksa di ruangan khusus. Yang dimana, ruangan tersebut adalah ruangan pemeriksaan untuk ibu hamil. Ia dipindahkan ke kursi roda dibantu oleh perawat pria dan wanita. Perawat pria mendorongnya, dan perawat wanita memegang tiang infus. Luna tampak resah. Pasalnya, Amanda dan juga Rayyanza akan mengikutinya masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah Luna hampir sampai di depan ruang pemeriksaan, tiba-tiba ponsel Amanda berbunyi. "Papa?" gumamnya setelah ia melihat nama pada layar ponselnya. Cepa
Masih di dalam ruangan khusus pemeriksaan kehamilan, Dokter dan Rayyanza spontan menoleh pada Luna secara cepat. Mereka kaget mendengar perkataan yang keluar dari mulut Luna. "Oh ... maaf, Bu. Saya kira Bapak ini adalah suami Anda," ujar sang dokter. "Tapi sepertinya memang benar, bentuk hidungnya mirip dengannya," tambahnya lagi. "Tidak! Dia adalah suami dari sahabat saya, Dok. Bukan dia ayahnya!" ucap Luna dengan gusar. Dokter tersenyum. "Maaf, Bu. Saya tidak tahu," sesal pria itu. "Sudah cukup pemeriksaan USGnya. Secara keseluruhan kondisi Anda dan bayi Anda baik. Siang ini, Anda sudah boleh pulang," terang dokter. Luna mengangguk. Wajahnya masih terlihat kesal. "Baik, Dok. Terima kasih." Dua perawat yang sebelumnya, kembali mendorong Luna yang duduk di atas kursi roda menuju ruang rawat. "Permisi, Bu. Jikaa butuh bantuan, silahkan tekan bell," ucap perawat wanita dengan ramah. "Baik, Sus." Dua perawat itu kemudian meninggalkan ruangan.Rayyanza melangkah mendekati Luna yang
Luna mendelik malas. "Terserah, aku sudah lelah menjelaskannya padamu!" Luna mencoba turun dari ranjang, namun tiba-tiba saja badannya oleng dan hampir jatuh. Rayyanza yang tengah berdiri di dekatnya dengan sigap langsung mengulurkan tangannya, menangkap tubuh Luna. Kini, wanita itu berada dalam dekapan Rayyanza. Ia menatap Rayyanza dengan mata yang terkejut. Rayyanza merasakan perutnya menempel erat dengan janin yang ada di dalam kandungan Luna. Di saat yang bersamaan, tendangan halus dari dalam perut Luna langsung terasa sampai ke perut Rayyanza. Seolah ingin memberitahukan kehidupannya pada sang ayah.Mematung beberapa saat, matanya saling bertemu pandang. Waktu seakan berhenti sejenak. Jarak di antara mereka semakin menyempit. Hembusan napas Luna menerpa wajah Rayyanza yang membuatnya seolah terhanyut. Akhirnya, bibir keduanya saling bersentuhan. Rayyanza mempererat pelukannya dan memainkan indera pengecapnya. Luna masih membelalak. Antara sadar dan tidak, ia merasakan gerakan
"Hallo ... Sayang ... hallo ...," Suara Amanda terdengar dari dalam ponsel. Luna mematung selama beberapa saat. Mencerna kata-kata yang terlontar dari mulut Amanda. "Jangan macam-macam? Bagaimana ini? Aku bukan lagi macam-macam dengannya, melainkan sedang mengandung anaknya," lirihnya dalam hati. Luna hanya diam termangu dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Rayyanza yang melihat Luna mematung langsung menepuk pelan tangannya, menyadarkan dari lamunan. Wanita itu langsung menelan ludah. "Ah, ya, Manda ... i-ini aku!" Luna terkesiap, ia langsung menjawab panggilan Amanda dengan suara terbata. "Bagaimana denganmu, Luna? Apakah dokter sudah mengizinkanmu untuk pulang?" tanyanya. "Eum, su-sudah, Manda," gagap Luna. "Oh, ya, bagaimana keadaan mamamu?" tanya Luna, khawatir."Biarkan Rayyanza yang mengantarmu pulang sampai ke rumahmu. Setelah sampai di sana, suruh dia segera mengirim shareloc padaku, oke?!" titah Amanda. "Mamaku tidak kenapa-napa, Luna. Tadi, ia pingsan, mung
Luna merasakan ketenangan yang lain dari biasanya. Dada bidang dengan sedikit otot itu terasa sangat nyaman memeluk jiwanya yang terkadang harus berpura-pura kuat. Namun, ia segera melepasnya. Tak ingin membiarkan dirinya terhanyut dalam dekapan suami dari sahabatnya itu. Ia mendorong tubuh Rayyanza dengan pelan. Memberi jarak di antara mereka. "Kenapa, Luna?!" tanya Rayyanza. Luna menggeleng pelan. "Tidak apa-apa!" Ia melanjutkan langkah menuju area parkir. Rayyanza dengan cepat membuka pintu mobil, mempersilahkan wanita cantik itu untuk masuk dan duduk di samping kursi kemudi. Lalu, ia berjalan memutar masuk ke dalam mobil. Suara deru mesin mobil berbunyi setelah Rayyanza menekan tombol start engine. Ia menunggu selama beberara saat hingga mesin mobilnya sedikit memanas. Di sela waktu menunggu, ia menoleh pada wanita di sebelahnya, mendekatkan tubuh dan wajahnya pada Luna. Luna menghindar. "Aku hanya ingin memasang sabuk pengaman!" ucap Rayyanza seraya menarik tali sabuk di sis
Kendaraan mewah milik Rayyanza, kini telah tiba di depan rumah orang tua Amanda. Seorang sekuriti berlari membuka pintu pagar tak lama setelah Rayyanza membunyikan klakson. Mobil berwarna merah itu kemudian melaju menuju carport. Luna segera turun dan berjalan menuju pintu rumah. Amanda menyambutnya di ambang pintu dengan sangat antusias. " Hai, Luna ...! akhirnya kamu datang juga kemari," sapa Amanda. Rayyanza yang mengikuti berjalan di belakang Luna langsung duduk di atas sofa ruang tamu. "Mana Mamamu?" tanya Luna. "Mama ada di kamarnya. Ayo, ikut aku!" ajak Amanda. Luna melangkahkan kaki menuju kamar Rima, menyusuri ruangan demi ruangan yang terlihat sangat eksklusif. Sedangkan, Rayyanza beranjak dari sofa berjalan menuju taman belakang. Amanda membuka pintu kamar Rima. "Hai, Luna ...," sapa Rima yang tengah terbaring di atas ranjang. "Hai, Tante. Bagaimana keadaan Tante? Mengapa bisa sampai jatuh di toilet, membuat khawatir saja!" "Tante tiba-tiba merasa pusing lalu terjatu
"Aku-, eum ...." Luna gagap seketika. Pandangannya mengarah pada pria yang berdiri di balik jendela kamar Rima yang terbuka. Pria tersebut mentap ke arahnya. Amanda menoleh pada objek yang di pandang oleh Luna. "Rayyan?" cetus Amanda. "Sudah, tidak usah pedulikan dia. Jarak dengannya cukup jauh, jadi pasti dia tidak akan mendengarnya!" Luna lekas merubah arah pandangnya. "Sebenarnya, aku sedang hamil tujuh bulan," terangnya. Kata-katanya terhenti, ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Amanda terus menatapnya dengan penuh telisik. "Ya, aku tau. Dokter di UGD yang memberitahuku. Tapi, bukan itu yang aku tanyakan. Melainkan, siapa ayah dari bayi yang sedang kamu kandung?" Luna menciptakan kebohongan agar keadaan tidak menjadi kacau. "Sebenarnya, aku sempat dekat dengan seorang pria. Tapi, aku tidak pernah bercerita padamu. Sekarang, pria itu sudah pergi ke jepang dan tidak ada kabar." Amanda melotot. "Apa? Tidak ada kabar? Apa maksudmu? Dia lari dari tanggung jawab?!" teria