“Kamu yang rese! Kalau pakai kartu ini pasti yang bayar aku, Munaroh!”“Tinggal bilang ke Mbak Kasir, kok!”“Emang Mbak Kasirnya itu direktur bank? Ya sudah, besok kamu jajan pakai receh saja!” Biru mengambil kartu itu dan dimasukan dalam dompetnya. “Berapa kali aku bilang, jauhkan kartu itu dari anakmu!” David ikut bicara. Ia gendong Rufy dan mencium gemas pipi anaknya. “Oom David sudah meracuni pikiran Papaku!” Minara memalingkan wajah sambil melipat tangan di dada. “Sudah sana ke Bunda. Beneran aku kasih receh ratusan perak buat jajan, baru tahu rasa!”Minara lekas pergi. David menggeleng. “Belum apa-apa, Putrimu sudah mencuci otak putraku.”“Makanya aku bilang apa, jangan dekatkan Rufy dengan Minara. Anakmu ngondek, bukan tanggungjawabku!” “Ayah, mo kaltu item,” pinta Rufy. “Itu bukan buat anak kecil, Sayangku. Nanti kalau mau beli apa-apa, panggil saja Bunda, ya?”“Ental Upi dak jadi olang kaya.”“Jangan percaya kata-kata Kak Minara. Percaya sama Allah saja. Kalau percaya Ka
David dan keluarga barunya akhirnya tiba di rumah. Vinza lekas mandi. Sementara Rufy, mandi dengan David. Hari yang penuh dengan segala buru-buru hingga terasa melelahkan. Selesai berganti baju, Vinza keluar kamar karena pelayan memanggilnya. “Tuan David menunggu anda untuk makan, Nyonya,” jelas pelayan itu.Vinza ikuti ke ruang makan. Di sana ia sudah melihat David dan Rufy duduk. “Wah, banyak sekali makanannya.”“Iya banak! Kata Ayah bial Upi bica pilih. Ya, ‘kan?” Rufy berpaling pada David.“Iya. Rufy bisa pilih mana yang Rufy suka sekali, Ayah beliin ini semua biar Rufy cepat besar, ya?” jawab David yang langsung dibalas anggukan Rufy.Mereka sempatkan makan bersama. Seperti biasa, Vinza akan menyuapi Rufy lebih dulu. Kali ini ada yang berbeda. David menunggu sampai Vinza makan. Hal yang langsung mengundang banyak pertanyaan di otak Vinza. Waktu mereka berdua habiskan dengan mengajak Rufy bermain dan belajar baik mengaji dan mengenal huruf dan angka. “Ni iyoy tiga,” jawab Rufy sa
Sambil menatap Rufy, mereka tak hentinya tertawa. “Ada lagi, nih!” Dari tas itu ada pula sebuah buku gambar, pensil, serutan dan penghapus. “Ini buku keuangan.”Malam itu mereka tidur sambil memeluk Rufy. Mereka memang harus mulai kembali membangun chemistry. Walau artinya mereka harus mulai lagi sebagai dua sahabat yang saling berbagi. Bedanya jika dulu mereka berbagi masalah remaja, kini mereka berbagi cerita tentang anak mereka. “Kamu kangen Ibu dan Ayah kamu?” tanya David. Vinza mengangguk. “Apalagi kalau ingat aku hanya bisa membuat mereka kecewa. Andai kalau ada tambahan waktu, aku ingin berbakti walau hanya satu hari.”David membasahi bibirnya. “Andai saja aku juga diberi waktu sehari saja bertemu Mamaku. Aku juga ingin melakukan apa yang kamu lakukan.” Wajahnya terlihat sangat sedih. Vinza kini bisa mengerti perasaan David di masa lalu.***“Ayah mana, Bun?” tanya Rufy saat mereka tengah main di ruang main. “Ayah ke kantor, ada urusan. Tunggu saja, ya? Ayah harus kerja ‘kan
“Baik, Bu. Maaf baru ke sini. Habis nikah aku sibuk ngurus rumah,” jawab Vinza. Padahal ia sibuk untuk belajar kesetaraan. Apalagi David banyak tuntutan, harus bisa bahasa asing lah, bisa etiket lah. Sekalian saja harus bisa malak preman!“Apa kabar suami kamu? Enggak ikut ke sini?” “Lagi kerja, Bu.”“Eh, masuk atuh!” ajak Bu Cucu.Melewati toko yang tergantung banyak pakaian, mereka masuk ke dalam pintu yang langsung terhubung ke ruang tamu rumah Bu Cucu. Di sana Vinza duduk dengan Rufy. “Galih! Ada Upi, mau main!” panggil Bu Cucu.Tak lama Galih keluar kamarnya. Ia langsung menyapa Rufy. “Upi! Kakak kangen!” seru Galih sambil berlari lalu memeluk Rufy. Putra Vinza balas memeluk. Kedua anak itu sama-sama tertawa. “Main sama Kakak, yuk!” ajak Galih yang langsung diiyakan oleh Rufy.Sementara mereka main, Vinza mengobrol dengan Bu Cucu. “Ibu cukup kaget dengar kamu sudah nikah, Vin. Apalagi Adam. Dia sangat berharap sama kamu,” ungkap Bu Cucu.“Mau gimana lagi, Bu. Bukannya Pak Adam
Vinza nyengir kuda begitu melihat sosok David sudah berdiri di teras menyambut mereka. Tatapan mata pria itu tajam dan wajahnya mencerminkan kesongongan yang hakiki. Andai saja jika Vinza tak menyadari kesalahan, ia akan biasa saja menghadapi pria itu. Masalahnya di sini, dia sadar salah karena tidak mengirimkan David pesan. Lupa, maklum sudah emak-emak. “Aku pergi bentar, kok. Enggak sampai seharian juga. Pergi siang dan pulang sore. Gitu saja marah. Tadi mau kirim pesan, cuman lupa. Lagian Rufy enggak lecet apa-apa, kok. Ini masih utuh. Dari ujung rambut sampai kaki. Cuman rambut rontok dikit maklum, ya? Namanya juga rambut,” alasan Vinza. “Ke mana kamu?” tanya David tegas sambil berkacak pinggang. Ia berdiri di dekat tiang besar yang lebih besar dari tubuhnya. Pertanyaan itu membuat Vinza gemetaran. Iya, tak apa kalau dia bilang ke rumah Adam. Masalahnya di sini, karena lupa kirim pesan, jadilah ini membesar. David pasti kesal karenanya. Vinza meneguk ludah dan membasahi bibir d
“Hei, kalau ngomong dijaga! Awas ya!” Vinza mencoba mencubit pinggang David, sayang dia malah David hentikan. Pria itu menahan tangan Vinza dan semakin menekannya ke tembok. Tubuh keduanya menjadi sangat dekat. “Dengar, di mall ada namanya area bermain. Di sana ada banyak anak-anak main dan ibu-ibu yang menunggu. Kamu bisa kenalan sama ibu-ibu itu. Mengerti?” tanya David sambil berbisik. Vinza menganggukan kepala. Matanya dan David saling terkunci. “Aku enggak keberatan kamu bergaul. Hanya saja, kamu ini sekarang punya suami. Kalau kamu dekat sama lelaki, orang akan omongin kamu yang macam-macam, ya?”Lagi Vinza mengangguk. Suara David terdengar begitu lembut. Pipi Vinza memerah, jantungnya berdebar. Anehnya, ia masih terkunci dalam pandangan dengan David. “Kamu itu sekarang bawa nama suami kamu dan anak kamu. Jangan sampai keluarga kamu dinilai buruk karena perilaku kamu. Bisa?” Suara David yang ngebas terdengar nyaman di telinga hingga Vinza kembali mengangguk. David mendekatkan
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Vinza kaget, ia kembali berbalik dan melihat David keluar dari sana. “Mau ngapain kamu?” tegur David. “Apa? Aku mau ke bawah,” dusta Vinza. Sayang, wajahnya terlihat mencurigakan. “Rufy tidur?” Vinza mengangguk. Mata David terlihat melirik ke arah kamar Rufy. “Vid, Rufy tadi ngerengek. Dia mau main sama kamu. Kamunya malah sibuk sendiri gitu. Bukan apa-apa, ya? Dia tuh masih butuh perhatian kita. Kamu bilang bakalan kasih waktu keluarga. Baru juga hitungan hari, sudah sibuk sendiri!” “Ada masalah di perusahaan. Evergrande,” jawab David dengan suara lemah. Tak lama ia menatap Vinza. “Kamu tahu itu apa?”Vinza mengedipkan mata lalu menggeleng. “Apa yang bisa aku harapkan dari kamu, sih? Kamu ya, kamu saja!” ledeknya. Ucapan itu membuat Vinza kesal. Ia lekas berbalik dan hendak berjalan ke kamar Rufy, tetapi David langsung menarik tangannya. “Hei, aku belum selesai ngomong!”“Aku enggak mau denger ledekan kamu. Kalau cuman mau bikin ana
“Bunda, bei bebek, yuk?” ajak Rufy.“Buat apa?” tanya Vinza yang bingung dengan permintaan putranya.Mereka saat itu tengah duduk di meja makan. Vinza memasakan sayur sop dengan ceker ayam kesukaan Rufy, walau baju Rufy harus bau amis akibat makan ceker dengan tangan. Vinza hanya percaya dengan apa yang ibunya katakan, anak yang suka makan ceker pasti pintar. Padahal Vinza suka makan ceker sejak balita dan sampai sekarang .... Ya begitulah!“Kan itu lagi makan kaki ayam. Masa sekarang mau bebek?” tegur Vinza. “Mana aki ayam?” Vinza menunjuk ceker di tangan Rufy. Anak itu langsung menggeleng. “Ni ceken, bukan aki ayam!” protes Rufy.“Ceker itu ‘kan kakinya ayam.”Mendengar itu, mata Rufy langsung terbelalak. Bayangan kenikmatannya hancur. “Napa dak biang?” “Emang Emak enggak pernah kasih tahu Rufy?” Vinza malah balik bertanya. Anak di sampingnya menggeleng. Ia jatuhkan ceker dari tangan. Wajahnya benar-benar sulit diartikan, antara bingung dan kecewa. “Ceker itu kakinya ayam.” Vinza