Share

BAB 5

Di sisi lain.

Kayra dengan pulang membawa wajah lesu dan tubuh yang begitu lelah. Bagaimana tidak, mantan suaminya tadi kembali menemuinya di jalan saat Kayra hendak pulang. Katanya Nabastala akan terus mengejar Kayra sampai ia mendapatkannya kembali.

Kayra duduk di ruang tamu, ia menghela napas lelah. Kayra mengedarkan pandangan, mencari orang tua juga putrinya. Ternyata tidak ada, mungkin sudah tidur pikirnya.

Ia beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamarnya.

Saat Kayra sudah sampai di depan pintu, ia melihat pintu yang sedikit terbuka. Awalnya Kayra mengira anaknya ceroboh, tapi sebelum kakinya lebih jauh melangkah, ia mendengar suara orang menangis dari dalam.

"Hiks... kenapa kehidupan kalian harus seperti ini sayang. Dulu ibu mu begitu Oma dan Opa manjakan, tapi kenapa kalian tidak merasakan itu. hiks.."

Kayra tahu, itu pasti suara mama.

Saat Kayra masuk, ia melihat mama yang duduk ditepi ranjang sembari mengelus surai anak-anaknya.

"Ma." sapa Kayra.

Mama menoleh, buru-buru ia usap matanya yang sudah basah karena air mata.

"Sudah pulang sayang?" Tanya mama menghampiri Kayra yang berdiri di ambang pintu.

Saat mama ada di depannya, sungguh Kayra langsung menabrakkan diri, memeluk mama erat diiringi isak tangis. Tangis yang selama ini Kayra tahan akhirnya hancur juga benteng pertahanan itu.

"Ma Kayra capek. Kayra pengen nyerah." Racaunya dalam dekapan mama.

Mama memeluk putrinya, mengelus punggungnya lembut menenangkan. Sakit sekali hatinya mendengar suara putri kecilnya ini.

Apa dosa mama sampai anaknya harus menanggung ini semua. Kayra itu anak baik di mata mama dan papa. Kayra tidak pernah ada salah padanya. Tapi, kenapa cobaan hidupnya sangat berat.

Jika harus membayangkan, mama pun tidak akan sanggup ada di posisi Kayra saat ini.

Mama menuntun Kayra untuk duduk di tepi ranjang.

"Nak, kamu harus kuat ya. Ayo sayang sebentar lagi. Lihatlah kedua anak mu. Jika kamu meninggalkan mereka, mereka sama siapa? Mama hanyalah Oma untuk mereka bukan ibunya."

Kayra menoleh, ia tatap lama wajah putrinya yang tampak tenang dalam tidurnya. Kayra juga berpikir sama seperti mama. Tapi raga dan hatinya sudah tidak mampu menanggung semua ini.

"Benar ya ma, kata orang uang itu tidak bisa membeli kebahagiaan." Ucapnya.

Mama mengangguk. Memang benar, memang Kayra ini orang biasa? tentu bukan. Kayra mau apa aja ada, mau pergi kemana pun bisa. Tinggal dimana pun itu bukan hal sulit. Tapi itu semua percuma jika hati tidak merasa bahagia.

"Aku ingin hidup bersama laki-laki sederhana, tapi aku bahagia dengan dia. Daripada dengan seorang pengusaha kaya tapi akhirnya aku menderita."

Mama diam. Diam dalam sebuah penyesalan. Dulu anaknya ia paksa menikah dengan anak temannya yang ternyata tidak sebaik kelihatannya. Dulu mama berpikir Nabastala adalah orang yang penyayang, sabar dan mama yakin Nabastala akan menjadi pria yang bertanggung jawab pada putrinya. Nyatanya, Nabastala adalah pria brengsek yang menjadi neraka untuk putrinya.

"Mama, mama tidak perlu merasa bersalah. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup Kayra. Kayra menerima semuanya dengan ikhlas. Kayra memang capek ma. Tapi bukan berarti perjalan Kayra akan berhenti. Kayra tahu, tuhan pasti tahu kalo Kayra itu kuat." Ucapnya.

Mendengar penuturan putrinya mama menarik Kayra kedalam pelukannya.

Dalam hening malam itu, isak tangis mama dan Kayra bersahutan. Untung si kecil tidak terganggu.

Tanpa mama dan Kayra sadari papa sudah ada di ambang melihat semuanya.

"Papa harap, setelah ini kamu bahagia Kayra." Ucapnya penuh harapan.

***

Kayra sengaja menunggu anak-anaknya di depan sekolah. Walaupun masih tinggal dengan mama, tapi Kayra menyempatkan diri untuk menemani anak-anaknya. Tidak hanya kerja saja.

Saat sedang duduk di depan gerbang sekolah, Kayra melihat abang penjual cilok yang ia temui bersama putrinya sekitar dua minggu lalu.

"Lho, abang cilok ya?" Tanya menghampiri seorang pria yang tengah duduk di motor bututnya.

"Hehe....iya nyonya. Kebetulan sekali ya bisa bertemu lagi."

Kayra mengangguk. "Oh kenapa Abang tidak jualan? Atau jemput anaknya ya?" Tanya Kayra.

"Hari ini saya libur. Saya jemput adik saya nyonya. Saya belum menikah."

"Oh maaf." Ucap Kayra tidak enak.

"Tidak apa-apa. Nyonya sendiri, ada apa disini? Sama suami?"

"Saya jemput anak saya. Saya tidak punya suami, kami sudah bercerai."

Impas, setelah Kayra yang malu, sekarang si Abang pun malu.

"Eh maaf."

"It's okay. No problem."

Suasana canggung menghampiri keduanya. Entah apa yang harus mereka bicarakan lagi, sampai Kayra yang tak tahan akhirnya membuka suaranya lagi.

"Kita belum kenalan. Nama saya Kayra. abangnya?" Kayra menjulurkan tangan yang disambut baik.

"Saya Haidar."

Setelah melepaskan jabatan tangannya, Kayra kembali menatap gerbang sekolah itu yang belum terbuka juga.

"Belum pulang juga ya. Lama sekali." Keluh Kayra.

Haidar yang melihat itu terkekeh kecil. Sepertinya wanita di depannya ini belum pernah menunggu anaknya.

"Nyonya apa—" 

Ucapannya terpotong. "Panggil saja Kayra.”

"Masih satu jam lagi untuk anak-anak di bubarkan. Bagaimana jika ikut saya, kita beli jajan di pinggir sana. Setahu saya ada mie ayam lho. Siapa tahu Kayra lapar kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status