Hati yang berat terus melangkah dengan gontai sambil menggenggam tiket pesawat, Rania benar-benar sangat lelah dengan apa yang terjadi. Sekarang, dia lebih baik pasrah mengikuti arus yang mengalir daripada memberontak. Jika benar Filipina adalah keputusan terakhir, maka dia harus menerimanya. Terpenting, dia dan anak-anaknya tidak akan diganggu lagi. "Buna?" panggil David yang sedang menunggu di dekat pintu bersama Vano. Mereka berdua tadinya menunggu diluar. Tidak ada yang mereka lakukan kecuali berjongkok sambil memikirkan nasib selanjutnya bagaimana. Vano berlari kecil menemui bunanya. "Buna? Mana Handa?" tanyanya saat Rania berjongkok menyambut dirinya yang berlari ke arahnya. Selalu, anak itu menanyakan keberadaan handanya, membuat hati Rania semakin teriris dengan belah pisau. Rania tersenyum pahit merespon anaknya. "Maafkan Buna, ya. Mungkin handa tidak akan datang, lain kali dia akan datang kok menemui kita." Rania mengelus pipi mulus milik Vano, matanya hampir berkaca-kaca
"Hey ... sudah ... sudah ... Mas sudah disini, kau tumbuh menjadi wanita dewasa, ya ..." ucap Yogi yang tengah mengusap punggung Rania sambil berpelukan. Dia tidak tahu akan bertemu adiknya di tempat seperti ini. Tapi kenapa? Kenapa ada Rania disini? Bertemu dengan Haru Atmadja pula. Apakah adiknya disakiti oleh Haru iblis itu?Rania menggelengkan kepalanya dan semakin erat memeluk kakaknya. "J-jangan tinggalin Anya ... A-nya sendirian Mas …," isaknya dengan suara tertahan di dada Yogi. Meminta putra sulung Dirta itu untuk tetap diam dan tidak pergi kemana-mana. Benar, Rania memang serindu itu dengan abang Yoginya. "Maafkan aku." Yogi menatap David dan Vano secara bergantian. Apalagi Vano dengan mata bulatnya yang tidak lepas memperhatikan Yogi yang dipeluk oleh bunanya. Pikirannya terlintas lagi, apa laki-laki itu, handanya juga? Yogi pun tersenyum melihat ekspresi kedua anak Rania. Keponakannya memiliki wajah chubby dan sangat tampan seperti ayah kandungnya. "M-mas k-kemana saja
Dahsyat dan spektakuler, bagaimana kita akan melihat hati nurani bekerja. Menyentuh kelopak yang terkoyak paksa. Yogi menarik nafasnya dengan dalam dan penuh keputusasaan. "Tua bangka dan meresahkan," gumam laki-laki itu saat melihat wajah Haru yang tenang. Tentu saja, pria paruh baya di depannya tahu, bahwa Yogi tidak akan berani melepaskan tembakan padanya karena Rania. Diluar sana, Raihan telah berhasil datang untuk menemui Rania dan anaknya. Kemarin, dia telat menyelamatkan saat Rania dipindahkan Haru ke tempat yang lebih jauh. Alhasil, pria itu kehilangan jejak dan berusaha mencari info kembali. "Rania!" Rania menoleh diikuti oleh orang-orang yang ada disana juga. Saat tatapan itu beradu, ada sedikit kelegaan yang menerpa di hati keduanya. Rasanya, Rania sudah merasa aman sekarang. "Aaaa Handaaa!" Vano kecil berlarian menghampiri handanya dengan teriakan kerinduan. "Anoooo takut, Handaaaaa," rengeknya saat Raihan sudah berhasil membawa tubuh kecilnya kepelukan nan hangat.
"Rania!" "M-mas ...." "Bunaaa ... aaaaa ... Buna …," teriak Vano dan David, mereka ketakutan melihat bunanya terjatuh dalam dekapan Raihan.Raihan dan Rania terduduk di tanah begitu saja sambil menahan punggung ibunya Vano, mereka syok bukan main akibat tembakan yang baru saja melayang di lengan Rania. Wanita itu memegangi pinggiran lengannya karena sakit luar biasa yang diciptakan tidak mampu ia atasi dengan cara apapun. Ada rasa yang begitu perih menyayat dagingnya, sekali lagi dia terluka. Peluru yang ditembakkan Danu melayang melewati kulit lengan Rania, sehingga lengannya menjadi menyucurkan banyak darah. Akibatnya, membuat Yogi tidak tahan karena adiknya terluka."Rania, ini terluka dan berdarah? Bertahan sebentar, kita akan ke rumah sakit," ucap Raihan dengan segala kepanikannya. Dia bahkan bersiap untuk mengangkat wanita itu ke dalam gendongannya. Rania menggelengkan kepalanya, tanda menolak. "Anya tidak apa-apa, M-mas ...." "Tidak apa-apa bagaimana!" Raihan terlihat mara
"Rania obati dulu lukamu, ya," pinta Raihan sambil memegang lembut bahu Rania yang naik turun karena kesulitan mengatur nafasnya yang sesak tidak karuan. "Tidak mau! Aku tidak mau! Aku ingin Ano," tolak Rania sambil menyingkirkan tangan Raihan yang tersampir di bahunya. "Iya, aku paham. Tapi, tolong mengerti bahwa kamu juga harus diobati." "Raihan, luka apa?" tanya Hani melihat lengan Rania berdarah, dia curiga dan sudah kepalang takut. "Luka tembakan, ayah Jihan yang melakukannya, Ibu," jawab Raihan dengan nada bicara yang tidak sanggup mengatakan luka tembak pada ibunya. Hani membulatkan kedua matanya lebar-lebar, ternyata luka tembak. "Astaga!" Hani mendekati Rania dan mencoba menyentuh bahu Rania. "Sayang, ayo obati lukamu dulu, ya," pintanya dengan raut wajah super khawatir. "Tidak mau! Aku tidak mau, Ibu ... pergi! Tinggalkan aku sendiri! Pergilah!" Rania memberontak dan tidak ingin disentuh siapapun saat ini. Dia hanya ingin menunggu Vano sampai anak laki-laki itu siuman.
"Aku akan menunggu diluar," ucap Renan, mencoba melepaskan tangan Rania yang menggantung di lengannya. Bukan apa-apa, itu supaya Rania nyaman saja. Nyatanya, tidak bagi Rania. "Kau sudah janji akan menungguku," elak Rania cepat. Mempererat cengkramannya di lengan Rania, mata kecilnya memandang Renan penuh harap, agar laki-laki itu mengerti dan menuruti permintaanya. Akhirnya, Renan menahan senyumnya, wanita ini sangat bucin sekali, ya, sekarang. "Ya sudah," jawabnya dengan kembali berdiri lebih dekat dengan Rania yang duduk di atas brankar. Renan membantu Rania melepas bajunya agar lebih mudah diobati. Wanita itu sedikit kesusahan dan merasa semakin ngilu jika lengannya terlalu banyak bergerak. Luka tembaknya tidak dalam, hanya saja rasa sayatannya begitu menyakitkan untuk dirasakan. "Berbaring, ya, Bu," titah perawat yang membantu Rania berbaring di atas brankar. Renan pun ikut membantu dan menahan hati-hati punggung Rania untuk sampai ke atas kasur brankar tersebut. Perawat mu
Abang!" "R-ren!" "Abang!" teriak Renan saat Yogi menutup kembali pintunya. Pria itu memilih menjauh dari sana dan belum siap bertemu dengan Renan. Hatinya kembali perih saat memandang Renan barusan, teringat mendiang ayahnya dan ibunya yang mati demi Renan. Belum lagi, dia di posisi membingungkan karena dia juga sangat menyayangi Renan sebagai adik angkatnya. "Abang!" panggil Renan lagi dengan nada yang nyaring, alhasil suaranya begitu menggema di koridor rumah sakit yang sedikit gelap karena pencahayaan yang remang. Laki-laki ini menyusul Yogi keluar dan berusaha menahan abangnya agar tidak pergi lagi. "Apa!" jawab Yogi ketus, sengaja. Berlagak tidak peduli pada adik angkatnya yang wajahnya terlihat seperti anak kecil yang sedang menahan tangis. Bibir merah ceri milik si bungsu bahkan mengerucut dan bergetar kecil menahan suara tangisan agar tidak pecah. Ia kembali menjadi sosok kecil yang bergantung pada Yogi, si tua sulung yang dingin namun perhatian. "A-abang... i-ini Enan,
"Ren," ucap Hani saatmelihat putranya digendong oleh Yogi. Anak laki-laki itu terlihat lebih tenang bersamanya dan lebih bahagia. Jika dibandingkan dengan Raihan, mereka terlihat kurang akur. Sekarang, Hani tahu bahwa Dirta memang adalah sosok yang baik dan menyayangi anak-anak."Oh, Ibu." Renan pun langsung turun sendiri dari gendongan Yogi. Pria dingin itu berbalik juga dan menatap Hani dengan datar dan sesekali melirik ke arah Raihan. Ada rasa benci yang masih tertinggal lantaran mata masih melihat jelas bahwa orang-orang yang mengambil kehidupan kedua orang tuanya masih terlihat baik-baik saja. Hm, bukankah ini tidak adil untuk Yogi? Tapi, waktu juga tidak bisa diputar kembali seperti sediakala. "Rania dimana?" tanya Hani pada putra bungsunya. "Di dalam, Ibu," jawab Renan sambil mengedarkan arah pandangannya pada ruangan yang ditempati oleh Rania saat mengobati luka tadi. "Ibu ingin menemuinya," tutur Hani dengan sedikit gugup karena merasa tidak enak pada Yogi. Apalagi, laki-l