"Yan, kamu lagi gak guyon toh?" Aku memastikan dengan serius."Lho ... Mbak Rini kok iso ngomong gitu?" Aryanti sepertinya heran dengan maksud pertanyaanku."Gini lho, Yan, Nona ki gak kenal kamu. Lah kok bisa-bisanya nyampe di situ?" tanyaku tidak habis pikir."Oh ... itu." Sepertinya Aryanti langsung paham arah pertanyaanku. "Nona memang gak kenal aku, tapi dia kan kenal Bening," terangnya sambil menyebut nama putri sulungnya."Lah kok iso?" Lagi-lagi aku bingung dibuatnya, "mereka kan gak pernah ketemu ... eh pernah ding, tapi cuma sekali waktu nikahannya Galang kemarin," tuturku meralat omongan sendiri."Nah ... itu, Mbak," sahut Aryanti membenarkan perkataanku, "si Bening juga cerita begitu. Tapi tiga hari yang lalu tiba-tiba mantumu itu hubungi dia, Mbak.""Sebentar-sebentar! Maksudnya pie kok ujug-ujug Nona bisa hubungi Bening? Tahu darimana dia nomor anakmu?""Mereka itu anak muda, Mbak. Pastinya pada main medsos.""Terus?""Kebetulan si Bening kan jualan baju-baju dan hijab s
Bocah itu mengikutiku masuk usai mengunci pintu. Kami menuju ruang keluarga. Di sana Gading dan Bunga sudah menunggu."Bu, gimana ceritanya Ibu bisa tahu keberadaan Embak aku?" Bunga langsung memberondong pertanyaan begitu aku duduk berdampingan dengan Galang.Aku menghirup oksigen sebelum bercerita. Setelah merasa cukup tenang, baru percakapan antara aku dan Aryanti di telepon kubeberkan. Ketiga anak itu mendengarkan dengan seksama."Sekarang ibu mau nanya. Dulu sewaktu acara resepsi kalian, memang Nona ada ngobrol sama Bening atau bapaknya?" tanyaku pada Galang usai memungkas penuturan.Masalahnya waktu resepsi kemarin, aku tidak mengikuti sampai full. Karena harus menemani Bunga yang lahiran. Jadi tidak tahu perkenalan Nona dengan Bening."Iya, Nona sempat aku kenalkan dengan Bening." Galang mengaku dengan jujur, "tapi ya sebatas basa-basi biasa kok, Bu. Cuma waktu itu Bening memang promosi akun jualannya ke Nona. Mungkin dari situ Nona bisa tahu alamat Lek Aryanti.""Lekmu juga bi
"Gak papa ... santai saja." Mas Arif menyahut kalem. Kini lelaki itu berganti menutup mata.Aku memandang ke pemandangan di jendela mobil. Kami mulai memasuki jalanan daerah Wonosobo. Kanan kiri adalah hutan dengan pepohonan yang tinggi. Banyaknya kelokan membuat perutku mulai terasa mual.Jalanan kian menanjak. Sementara lika-likunya juga ada terus di setiap beberapa meter. Perutku kian bergejolak. Tidak ingin muntah, aku langsung mengambil minyak angin.Sayangnya itu tidak begitu menolong. Kini kepala juga mulai terasa pusing. Goncangan demi goncangan benar-benar menyiksa perut."Huekkk!" Aku langsung menutup mulut."Kamu kenapa, Rin?" Mata Mas Arif yang terpejam sontak terbuka mendengar suara mualku.Aku hanya menggeleng sambil terus membungkam mulut. Pak Kus yang pengertian, langsung membuka dashboard mobil."Maaf," ucap Pak Kus sambil menyerahkan sebungkus plastik dengan tangan kirinya. Mas Arif sigap menerima. Lelaki itu menyobek pembungkus, lalu menyodorkan sehelai tas plastik
"Nonaaa!" pekik Mas Arif berusaha mencegah sang putri. Sayangnya Nona tidak menggubris teriakan ayahnya. Perempuan yang hari ini mengenakan celana denim panjang itu terus saja ambil langkah seribu. Dia bahkan tidak peduli telah beberapa kali menabrak pekerja yang kebetulan lewat.Aku, Mas Arif, dan suami Aryanti langsung bergerak cepat mengejar Nona. Kami terus saja membujuk anak itu untuk berhenti. Namun, Nona yang keras kepala sama sekali tidak menghentikan larinya.Kini kami bahkan sudah kelar dari kebunnya Aryanti. Nona terus berlari mendaki bukit. Jalanan terjal tidak ia hiraukan. Hingga akhirnya dia menemui jalan yang buntu. Di bawah sana ada jurang yang cukup curam. Sekali jatuh nyawa bisa langsung melayang."Tolong ... berhenti ... ngejar ... a-atau aku terjun ke sana!" ancam Nona dengan napas yang tersengal. Perempuan itu menengok ke bawah. Wajahnya yang sudah pucat kian pasi melihat kedalaman jurang. Sementara tangannya terus memegangi dadanya yang mungkin terasa sesak kar
Kakinya sudah bergelantungan tidak jelas. Anak itu akan memekik jika melihat ke bawah. Sementara aku sekuat mungkin menahan agar tubuh Nona tidak terjatuh."Kemarikan tanganmu yang satunya, Non!" perintah Mas Arif mengulurkan tangan kanannya.Nona menurut. Kedua tangannya yang mencengkeram erat lenganku, kini berpindah satu. Tangan kiri wanita itu mulai membelit lengan ayahnya. Suami Aryanti pun inisiatif membantu. Kami bertiga bahu membahu menarik lengan Nona hingga naik ke permukaan. Akhirnya setelah mengeluarkan banyak tenaga, Nona berhasil diselamatkan. Anak itu menubruk tubuhku. Badannya gemetar ketakutan. Kutenangkan dengan mengelus rambutnya.Kurangkul Nona hingga tiba di bawah pohon mangga. Pohon ini cukup rindang untuk kami berteduh sejenak. Sampai sana kembali pundak ini kurelakan sebagai tempat bersandarnya Nona. Kami duduk lesehan beralasan rumput liar."Menangislah jika itu bisa sedikit mengurangi beban di hatimu." Aku bicara sambil terus membelai rambut Nona.Nona mend
Aroma minyak angin yang menyengat memaksaku untuk membuka mata. Aku mengerjap beberapa kali untuk menajamkan penglihatan. Wajah pertama yang muncul di mata adalah Aryanti."Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga, Mbak," syukur Aryanti terdengar lega. Ucapan hamdalah-nya diikuti oleh beberapa orang lainnya. Rupanya ada banyak orang yang mengerumuni aku."Sttt! Aku di mana ini?" tanyaku sambil berusaha duduk. Tangan ini memegang pelipis yang masih sedikit pening."Sudah kamu tiduran saja, Mbak," suruh Aryanti melarangku bangkit, "tadi kamu pingsan. Digotong sama Mas Arif dari bukit," terang perempuan yang duduk tepat di hadapanku.Aku menatap sekeliling. Ada Nona dan Mas Arif. Keduanya menatapku khawatir. Ada juga anak-anak Aryanti yang berdiri di dekat daun pintu."Memangnya kamu sakit apa sampai bisa semaput gitu?" tanya Mas Arif bergerak mendekat."Saya gak ada riwayat sakit apa-apa." Aku menjawab jujur dengan lemah, "cuma aku ada anemia. Ditambah masih kelelahan menempuh perjala
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak