Sudah satu minggu aku menjalankan usaha toko materil ini sendirian. Indri yang kuharapkan dapat membantu tak lagi datang bekerja, bahkan kabarnya pun aku tidak tahu. Tak ada satu orang pun teman kerjanya yang mengetahui tentang kabar dan keberadaannya.Selama satu minggu aku memeriksa pembukuan yang Aldo buat, aku menemukan banyak kejanggalan. Uang yang diserahkan Aldo setiap hari, setelah toko tutup tak sesuai dengan barang-barang yang terjual pada hari itu. Sepertinya Aldo mengeluarkan banyak uang, tapi entah untuk apa. "Permisi, Bu. Ada dua orang lelaki mencari Pak Aldo," ucap Tio, salah seorang pekerjaku. "Siapa dan mau apa?" tanyaku heran."Tidak tau, Bu," sahutnya pelan."Ya, sudah. Suruh masuk saja!"Tio kembali bersama dua orang berpostur tegap tinggi, berpakaian preman dengan wajah yang sangar. Aku meminta Tio kembali ke pekerjaannya."Anda istrinya Aldo?" tanya salah seoramg dari mereka. "Kemarin, iya. Sekarang sudah tidak lagi. Karena saya sudah mengurus perceraian denga
"Persediaan obatmya masih ada, Bi?" tanyaku sembari berjalan menuju kamar Mayra."Sudah hanis, Bu. Tadi sudah saya minumkan, tapi tidak ada reaksi. Hanya sisa sekali minum itu aja," sahut Bi Darmi panik. "Ya, sudah kita bawa Mayra ke klinik. Ayo, Bi, cepat!" Aku dan Bi Darmi bergegas membawa Mayra menuju klinik. Namun, baru saja kami sampai di depan pintu, Mbak Ningsih berseru memanggil."Bu...Ibu! Farel muntah-muntah terus. Kasihan, badannya sampi lemas," teriaknya dari dalam kamar Farel.Ya Tuhan, masalah apa lagi ini. Kenapa di saat aku sedang banyak masalah, kedua anakku sakit secara bersamaan. "Bentar ya, Bi. Saya lihat Farel dulu," ujarku pada Bi Darmi. Wanita paruh baya yang sedang menggendong Mayra itu mengangguk lalu duduk di sofa bersama Mayra."Lihat, Bu! Farel muntah terus. Badannya juga terasa dingin," kata Ningsih begitu aku sampai di kamar Farel."Kita bawa Farel sekalian ke klinik. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Ayo, Mbak, kita bawa segera!" Tanpa pikir panj
"Berarti pas awal permisi dari sini, dia langsung lergi, ya. Ya, sudah, terima kasih sudah membantu saya, ya, Restu. Ini ada sedikit uang untuk mengganti minyak motor kamu." Aku menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak satu lembar kepada Restu. Malu-malu dia menerimanya, tapi mau juga. "Oya, besok semua barang-barang dari toko cabang akan tiba di sini. Jadi saya harap tidak ada yang izin, ya. Kalau ada temanmu yang ingin bekerja di sini, silakan. Saya butuh satu oramg cewe untuk membantu saya di kasir." ujarku pada Restu sebelum dia beranjak dari hadapanku."Iya, Bu. Saya punya sepupu perempuan. Besok saya suruh datang ke sini ya, Bu." sahut Restu semringah. Lalu dia minta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. *Keesokan harinya, ketika kami sedang sibuk menurunkan dan menata barang-barang yang baru datang dari toko cabang. Aku dikejutkan demgan kedatangan Indri. Wajahnya terlihat sangat pucat, tubuhnya juga sedikit kurus. "Indri? Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanyaku pada peremp
"Saya minta maaf, Mbak. Tolong saya, izinkan saya bertemu Bang Aldo. Saya sudah cari ke rumah kalian, tapi katanya rumah itu sudah dijual. Makanya saya ke sini," ujar Indri lagi dengan linangan air mata. Posisinya masih berlutut di kakiku."Berdiri, aku bilang berdiri," tegasku pada Indri. Perempuan muda yang katanya sedang mengandung anak Aldo itu menuruti kata-kataku. Kini kami sudah saling bersitatap."Kau mau tau dimana Aldo sekarang?" tanyaku lagi dengan penuh penekanan. Aku menatap nyalang mata Indri. Tatapannya penuh harap, tampaknya dia sangat ingin bertemu dengan lelaki si*lan itu."Iya, Mbak. Aku harus ketemu, Bang Aldo. Aku ingin minta pertanggung jawabannya. Aku malu kalau sampai pulang kampung dalam keadaan hamil tanpa suami. Mau ditaruh dimana mukaku. Tolong aku, Mbak. Aku rela jadi yang kedua," ujarnya sangat-sangat memelas."Hahahha. Hamil tanpa suami? Itu salahmu sendiri. Kamu kan yang mau ditiduri sama si Aldo? Tanggung sendiri akibatnya. Kamu tau? Aldo sekarang dita
Sudah sebulan berlalu, sejak Indri datang ke toko, dia tak pernah lagi muncul seperti waktu itu. Mungkin dia sudah menemui Aldo di penjara, dan sudah tahu cerita sebenarnya seperti apa. Makanya, dia tidak lagi menuntut uang dariku. Aku masih menikmati sarapan bersama kedua anak-anakku, ketika ponselku berdering. Gegas aku memgambil hape yang kuletakkan di dalam kamar, di atas nakas. Ternyata yang menelepon adalah Mang Diman. Ada apa dia menelepon sepagi ini?"Halo, Mang Diman. Ada apa?" tanyaku pada penjaga toko itu. "I—ini, Bu. Tadi saya kaget, karena ada yang melempar pintu depan toko. Suaranya sangat keras. Lalu saya keluar untuk memeriksanya. Ternyata benar. Ada sebongkah batu yang lumayan besar di depan toko dan tepat di depan pintu masuk, ada setumpuk kotoran manusia, Bu. Sepertinya ada yang meneror toko kita, Bu," ujar Mang Diman dengan nada cemas. "Diteror? Kok bisa? Pagi-pagi begini, loh. Siapa ya?" tanyaku penasaran. Perasaan aku tidak punya musuh di sini. "Saya juga tid
sudahlah, aku tak mau memikirkan hal itu. Itukan hanya tebakanku saja, belum tentu benar. Setelah sampai di depan toko, aku langsung turun dan menemui Mang Diman. Mobil masih kubiarkan terparkir di depan toko."Gimana kejadiannya, Mang? Apa setelah itu ada yang meneror lagi? Maksudnya, apa ada orang yang mencurigakan mondar-mandir di depan toko?" tanyaku pada Mang Diman. Suasana toko masih sunyi, karena belum ada pekerja yang datang."Saya kurang tau pasti, Bu. Tapi begitu saya dengar suara lemparan di pintu depan, saya buru-buru keluar dan melihatnya. Ada dua orang lelaki naik motor kencang-kencang ke arah sana," terang Mang Diman seraya menunjuk ke arah perginya dua orang lelaki yang dimaksud."Mang Diman sempat lihat wajah mereka?" tanyaku lagi."Nggak, Bu. Mereka pakai helem," sahut Mang Diman."Kalau begitu, hari ini kita pasang CCTV di toko ini, Mang. Saya khawatir, mereka akan balik lagi dan membuat teror yang lebih buruk lagi.""Iya, Bu. Saya rasa itu sangat perlu," ujar Man
Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Panggilan dari Mang Diman lagi. "Halo, Mang Diman. Ada apa menelepon malam-malam begini?" tanyaku pada Mang Diman."Bu...toko kebakaran, Bu! Cepat ke sini, Bu!" seru Mang Diman dengan suara sangat cemas."Apa? Toko kebakaran?" teriakku tak percaya."Iya, Bu, cepat ke sini, Bu!" seru Mang Diman lagi. "Iy—iya, saya segera ke sana." Tak pikir panjang lagi, aku langsung meraih sweter yang tergantung di pintu kamar dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas.Tok! Tok! Tok!"Bi...Bi Darmi." Aku mengetuk pintu kamar Mayra dan Bi Darmi seraya memanggil wanita yang menjaga Mayra itu. "Ada apa, Bu?" tanya Bi Darmi dengan mata masih mengantuk. "Saya harus ke toko sekarang. Kata Mang Diman toko kebakaran, Bi," ujarku panik. Seketika mata Bi Darmi terbelalak. Dia tak berkata apa-apa, hanya dia dengan wajah panik.Aku bergegas beranjak meninggalkan rumah. Lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Suasana jalan cukup sepi. Kuhira
Aku dan Mang Diman baru saja keluar dari kantor polisi, untuk memberikan keterangan terait kajadian kebakaran tadi malam. Aku tak menyangka kalau otak dibalik kejadian ini adalah Indri. Dia telah membayar orang untuk menerorku, lalu membakar toko materil itu. Polisi bergerak cepat. Malam itu juga, setelah mendapat keterangan dari peaku yang tertangkap, mereka langsung menangkap Indri yang hendak kabur. Indri dan kedua orang tuanya sedang menunggu bus di terminal kota. tanpa perlawanan, polisi membawa mereka ke kantor.Aku sempat berbicara dengannya tadi. Teryata dia sangat dendam padaku karena perlakuanku yang kasar kepadanya waktu itu. Ditambah lagi, kelihatannya dia stress berat karena Aldo di penjara. Entah dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar orang-orang suruhan tersebut. Untuk kejadian kemarin, tentu bayarannya sangat mahal. Semoga pihak berwajib dapat menguak tuntas peristiwa ini. Aku duduk di sebuah bangku, di bawah pohon ketapang, dekat area parkir. Lalu mengeluark