Sudah sebulan berlalu, sejak Indri datang ke toko, dia tak pernah lagi muncul seperti waktu itu. Mungkin dia sudah menemui Aldo di penjara, dan sudah tahu cerita sebenarnya seperti apa. Makanya, dia tidak lagi menuntut uang dariku. Aku masih menikmati sarapan bersama kedua anak-anakku, ketika ponselku berdering. Gegas aku memgambil hape yang kuletakkan di dalam kamar, di atas nakas. Ternyata yang menelepon adalah Mang Diman. Ada apa dia menelepon sepagi ini?"Halo, Mang Diman. Ada apa?" tanyaku pada penjaga toko itu. "I—ini, Bu. Tadi saya kaget, karena ada yang melempar pintu depan toko. Suaranya sangat keras. Lalu saya keluar untuk memeriksanya. Ternyata benar. Ada sebongkah batu yang lumayan besar di depan toko dan tepat di depan pintu masuk, ada setumpuk kotoran manusia, Bu. Sepertinya ada yang meneror toko kita, Bu," ujar Mang Diman dengan nada cemas. "Diteror? Kok bisa? Pagi-pagi begini, loh. Siapa ya?" tanyaku penasaran. Perasaan aku tidak punya musuh di sini. "Saya juga tid
sudahlah, aku tak mau memikirkan hal itu. Itukan hanya tebakanku saja, belum tentu benar. Setelah sampai di depan toko, aku langsung turun dan menemui Mang Diman. Mobil masih kubiarkan terparkir di depan toko."Gimana kejadiannya, Mang? Apa setelah itu ada yang meneror lagi? Maksudnya, apa ada orang yang mencurigakan mondar-mandir di depan toko?" tanyaku pada Mang Diman. Suasana toko masih sunyi, karena belum ada pekerja yang datang."Saya kurang tau pasti, Bu. Tapi begitu saya dengar suara lemparan di pintu depan, saya buru-buru keluar dan melihatnya. Ada dua orang lelaki naik motor kencang-kencang ke arah sana," terang Mang Diman seraya menunjuk ke arah perginya dua orang lelaki yang dimaksud."Mang Diman sempat lihat wajah mereka?" tanyaku lagi."Nggak, Bu. Mereka pakai helem," sahut Mang Diman."Kalau begitu, hari ini kita pasang CCTV di toko ini, Mang. Saya khawatir, mereka akan balik lagi dan membuat teror yang lebih buruk lagi.""Iya, Bu. Saya rasa itu sangat perlu," ujar Man
Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Panggilan dari Mang Diman lagi. "Halo, Mang Diman. Ada apa menelepon malam-malam begini?" tanyaku pada Mang Diman."Bu...toko kebakaran, Bu! Cepat ke sini, Bu!" seru Mang Diman dengan suara sangat cemas."Apa? Toko kebakaran?" teriakku tak percaya."Iya, Bu, cepat ke sini, Bu!" seru Mang Diman lagi. "Iy—iya, saya segera ke sana." Tak pikir panjang lagi, aku langsung meraih sweter yang tergantung di pintu kamar dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas.Tok! Tok! Tok!"Bi...Bi Darmi." Aku mengetuk pintu kamar Mayra dan Bi Darmi seraya memanggil wanita yang menjaga Mayra itu. "Ada apa, Bu?" tanya Bi Darmi dengan mata masih mengantuk. "Saya harus ke toko sekarang. Kata Mang Diman toko kebakaran, Bi," ujarku panik. Seketika mata Bi Darmi terbelalak. Dia tak berkata apa-apa, hanya dia dengan wajah panik.Aku bergegas beranjak meninggalkan rumah. Lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Suasana jalan cukup sepi. Kuhira
Aku dan Mang Diman baru saja keluar dari kantor polisi, untuk memberikan keterangan terait kajadian kebakaran tadi malam. Aku tak menyangka kalau otak dibalik kejadian ini adalah Indri. Dia telah membayar orang untuk menerorku, lalu membakar toko materil itu. Polisi bergerak cepat. Malam itu juga, setelah mendapat keterangan dari peaku yang tertangkap, mereka langsung menangkap Indri yang hendak kabur. Indri dan kedua orang tuanya sedang menunggu bus di terminal kota. tanpa perlawanan, polisi membawa mereka ke kantor.Aku sempat berbicara dengannya tadi. Teryata dia sangat dendam padaku karena perlakuanku yang kasar kepadanya waktu itu. Ditambah lagi, kelihatannya dia stress berat karena Aldo di penjara. Entah dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar orang-orang suruhan tersebut. Untuk kejadian kemarin, tentu bayarannya sangat mahal. Semoga pihak berwajib dapat menguak tuntas peristiwa ini. Aku duduk di sebuah bangku, di bawah pohon ketapang, dekat area parkir. Lalu mengeluark
Tio memgerling ke arah Restu, tapi, Restu malah tertunduk."Ada apa ini? Kenapa semua mendadak diam? Apa sebenarnya yang ingin kalian sampaikan? Katakanlah, saya tidak akan marah," ujarku lagi. "Itu, Bu, anu...kami mau minta gaji bulan ini. Kebetulan ini sudah tanggal satu, biasanya Ibu memberi gaji kepada kami setiap tanggal satu. Tapi, kami memakluminya karena kemarin terjadi musibah," ujar Restu hati-hati sekali."Ya, ampun. Jadi masalah gaji. Kalian pikir saya akan lari dari tanggung jawab, makanya tadi kalian mengira saya sembunyi?" ujarku seraya tertawa."Kami minta maaf, Bu. Tak seharusnya kami bersikap begitu," ujar Tio, diikuti anggukan dari teman-temannya."Tenang! Kalian tidak usah takut. Barusan saya sudah menjual mobil, jadi uang gaji kalian akan saya bayarkan hari ini juga. Tapi, mohon maaf, saya tidak dapat memberi kalian pesangon, karena saya sudah tidak punya apa-apa lagi. Saya harap kalian mengerti," ujarku sedih."Iya, Bu. Tidak apa-apa, kami paham kondisi Ibu," uj
Tiga bulan kemudian.Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu rumahku sambil berteriak,"Git...Gita, keluar kamu!" Itu suara pemilik kontrakan, pasti ingin menagih uang sewa kontrakan. Dengan susah payah aku bangkit dari atas tempat tidurku, lalu membukakan pintu untuk Bu Joko, pemilik kontrakan ini."ya, Bu, ada apa?' tanyaku lemah."Mana uang sewa kontrakan bulan kemarin dan bulan ini? Kamu sudah telat dua bulan," tegasnya dengan lantang. Matanya melotot menatapku."Maaf, Bu. Uangnya belum ada, kemarin saya belikan susu Farel, karena susunya sudah habis," ujarku lirih. Biasanya tiap bulan aku mendapat bantuan dari orang dermawan bernama Pak Azis. tapi, sudah dua bulan ini dia tak lagi datang ke sini. Kabar terakhir yang kuterima, katanya beliau sudah meninggal."Ah, kamu banyak alasan. Pokoknya kalau dalam waktu satu minggu kamu gak bayar sewa kontrakan, kamu harus angkat kaki dari sini. Yang mau sewa kontrakan saya sudah antri, jadi kalau kamu tidak mau bayar, terpaksa saya akan me
POV RISAHari ini, Bang ardi mengajakku untuk menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan. Acaranya diadakan di kampung yang berada di lokasi panti asuhan yang sudah kami bina selama kurang lebih setahun ini. Penghuni panti asuhan sudah ramai. Mereka datang dari berbagai wilayah di kota ini.Aku sangat senang sekali, akhirnya mimpiku jadi kenyataan. Sejak lama aku ingin memiliki sebuah panti asuhan yang menampung anak-anak jalann yang tidak mempunyai orang tua lagi dan hidup terlantar di jalanan. Hatiku sangat peri ketika mendengar kabar ada anak yang ditinggalkan orang tuanya di jalan, atau anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan karena tidak punya rumah."Kita berangkat sekarang, Sayang?" tanya Bang Ardi setelah aku keluar dari dalam kamar. "Ayo! Anak-anak dimana? Apa mereka sudah rapi?" tanyaku balik."Sudah, Bu. Tama sudah ganteng, dan Adinka sudah cantik," ujar Mbak Susi sembari menggendong Adinka.Aku dan Bang Ardi telah dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik. Adi
Sebenarnya, aku sudah lama mengubur dalam-dalam kenangan buruk bersama keluarga ini. Tapi, kalau bertemu mereka luka itu seolah berdarah lagi. Semua peristiwa yang kualami dulu hadir di pikiranku, membuat hatiku menjadi peri. Tapi, hari ini, suamiku ternyata telah bersepakat dengan mereka untuk mempertemukan dengan keluarga mantan suamiku yang telah menorehkan luka begitu dalam di hati ini. "Baiklah, aku bersedia memaafkan kalian. Aku juga tak ingin mendendam kepada siapa pun, apalagi kepada kalian, yang pernah menjadi bagian dari hidupku."Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ris. Kami sekeluarga sangat bahagia sekali. Lepas sudah beban pikiran yang selama ini selalu menghantui kehidupan kami. "Aku ingin memperkenalkan Tama pada kalian. namun, untuk sementara waktu aku minta tak ada yang mengatakan kalau dia bukan anak kandung Bang Ardi. Dia sudah sangat dekat dengan ayah sambungnya sekarang. Aku tak ingin membuatnya sedih dengan mengatakan kalau orang yang selama ini telah mencura