"Iya, Is. Abah sama emak menyarankan untuk mencabut laporan ini dan memaafkan semuanya. Ya, mau bagaimana lagi kondisinya kan memang tidak mendukung, kalau tetap dilanjutkan pun. Semalam kamu tahu sendiri Nayla seperti apa? Wulan seperti apa? Ibu bagaimana? Teteh, bingung jadinya. Makanya sudahlah kita hentikan saja tapi nanti kan kita akan bikin beberapa poin-poin tertentu agar mereka tidak melakukan hal ini kembali dan merugikan, Teteh!"3 "Haruslah, biar jera. Lagian seenaknya saja memfitnah orang di media sosial," sungut adikku. Kalau sudah dijelaskan bawa kata Emak dan Abah, maka gadis itu tak akan banyak protes.Aku pun masuk ke dalam kantor Polisi untuk mencabut laporanku. Dan pak RT, Aisyah dan bu RT mereka menemui Helen dan kedua iparku untuk menjelaskan bahwa akan ada kesepakatan damai. Jadi mereka pulang akan bareng dengan kami dan langsung ke rumahku untuk membicarakan syarat-syarat perdamaian yang akan aku minta. "Terima kasih, ya La. Aku disana baru beberapa jam saja, l
Part 159. Tiga puluh juta."Cih! Sudah jelas anakmu yang sering datang ke rumahku dan bilang masih mencintai Rahman. Begitu kan, Helen?" tanya ibu sambil menatap lekat ke arah perempuan berambut pirang yang duduk paling pojok itu. Wajah Helen pias seketika. Mungkin ia tak menyangka akan ada permintaan seperti itu. "Helen!" panggil ibunya dengan pelototan yang seakan mau menerkam wanita itu. "Ibu, Aku—" ———RatuNna Kania———Helen tergagap mendengar perkataan ibu. Mungkin ia tak menyangka kalau mertuaku bisa juga memojokkannya. Ibu yang mana yang akan diam jika anaknya dihina seperti tadi, aku pun sudah berniat menjawab ucapan-ucapan ibunya Helen. Tapi aku kalah gesit dengan ucapan ibu. "Jawab, Helen! Kenapa mendadak gagap?" bentak ibunya. Kulihat Helen menyurai rambut pirangnya dan menatap ke arah ibunya. "Apaan sih, Bu.""Apa benar yang dikatakan oleh bu Samirah itu?" tanya ibunya lagi dengan tatapan menghunus. Aku tidak tahu ada apa dengan ibunya Helen. Apa membenci mas Ra
Part 160. Wani Piro ?"Kak Eni, tunggu!" teriakku, karena kakak iparku itu telah naik ke motor suaminya dan hendak pulang. "Apalagi?" kehebatannya. paling jelas belum memudar."Aku lupa sesuatu," ucapku sambil menghampirinya. "Apa? Cepetan aku dah ngantuk," katanya dengan judes. "Siapa yang mengirim fotoku dan bang Anton di Kakak?" ——RatuNna kania——"Wani Piro?" tanyanya dengan wajah menyebalkan. "Serius, Kak! Kalau nggak—""Kalau nggak mau apa? Hah?! Urusan kita sudah kelar. Dan kalau mau tau siapa si pengirim foto tersebut. Bayar dulu sepuluh ju—ta!" katanya dengan memelototkan matanya. Allah, rasanya ingin ku cakar mulutnya itu. Dan kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini. Kini aku balik di minta duit sama kak Eni. Cerdik juga iparku itu ternyata. Dia minta kembali uangnya. Tidak begitulah. Nanti juga ketahuan siapa si pengirim foto itu. Daripada uang sepuluh jutaku hilang kembali. Mending aku tidak tahu sekalian. Iya kali, demi mengetahui siapa biang keroknya, aku
Part 161. Kembalikan uangnya, kasian."Mala, kamu mau apakan uang tiga puluh juta itu?" tanya ibu. Oh, rupanya dari tadi ibu mau membahas uangku. Hingga menunggu suasananya sepi seperti ini. Pantas saja ibu bertahan di dinginnya semilir angin malam ini, ternyata ada maksud tertentu. "Mala, belum tahu, Bu. Nanti Mala coba tanyakan sama Mas Rahman dulu.""Kamu kurangilah uang kompensasi si Eni. Kasian dia. Bila perlu kembalikan!" ucap ibu. "Maksudnya?" tanyaku sambil memandang ke wajah tuanya. Kulit yang mulai keriput menampilkan gelambir di leher dan dibawah kelopak mata. Wanita tua yang melahirkan suamiku itu, mencoba menego lagi denganku. Padahal persoalannya sudah selesai. Bahkan kak Eni dan bang Anton tak mempermasalahkan. Kenapa ibu kembali membicarakannya. Huft."Kamu tau sendiri ini kehidupan Eni kan? Masih belum punya apa-apa. Bahkan rumahnya pun masih ngontrak dan kadang-kadang tak bisa bayar. Apa kamu tidak kasihan dengan meminta uang sepuluh juta sebagai kompensasi pada Ka
Bagian 162. Ponsel Baru. "Bu Usman, Mau?" "Boleh deh. Gak usah banyak-banyak," ucapnya sambil tersenyum bahagia. Aku mengambil lima belas biji rengginang dan memasukkannya ke dalam plastik kemudian menyodorkannya pada tetanggaku itu. "Tanggung amat ini nanti menggorengnya," gerutunya sambil mencebik. Allahuakbar. Rengginang di nampan banyak sekali belum kering pula. "Tadi, Bu Usman, bilangnya jangan banyak-banyak. Sekarang bilang tanggung!" Aku menautkan alisku heran. "Ya, maksudnya e—anu," ucapannya terhenti sambil matanya di seisi dapurku. Mungkin dia masih mencari sesuatu. "Kamu lagi makan, La?" tanyanya. Pandangan terhenti di atas meja, tepatnya di piringku. "Iya, Bu Kami. Aisyah membuatkan nasi goreng," ucapku. "Ibu suka nasi goreng juga, kebetulan belum sarapan, masih ada?" "Bu Usman, mau?" Ia mengangguk dengan mantap. Aku mengambil piring dan membagi dua nasi yang terhidang yang baru sempat aku makan satu suap aja. Telur ceploknya pun ku bagi dua. "Tidak apa-apa, Ibu
Aku terkejut melihat apa yang keduanya lakukan. Bayangkan saja, di usia mereka yang sudah senja masih bisa berlaku layaknya anak tujuh belas tahun, bahkan Aisyah yang usianya masih muda saja, tak pernah melakukan hal seperti itu.Untung saja nampan yang ada di tanganku tak terlepas meski aku shock dengan apa yang barusan aku lihat. Astaghfirullah haladzim, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Aku coba menenangkan diri dengan melafalkan istighfar beberapa kali. "Sini! Mala, ikutan," ucap ibu dengan tetap bergoyang, tak ada rasa malu atau apapun di raut wajahnya padahal aku merapalkan istighfar dengan suara yang keras. "Anggap aja senam, biar kita keringetan," sahut bu Usman. What, senam? Hahaha, pintar ngelesnya sungguh luar biasa. Aku bingung bagaimana caranya untuk mencegah ibu dan bu Usman, akhirnya aku putuskan menelpon Ria, tapi ponselnya mati. Ria pasti sedang bekerja di jam seperti ini. Aku coba menekan nomor mas Rahman, cuma berdering lalu mati pula. Akhirnya aku buka video dan
"E-eh, Bu Usman! Jangan diangkat, biarkan ibu mertuaku belajar untuk mengangkatnya." Sontak aku memekik saat melihat bu Usman hendak mengusap logo gagang telepon yang sedang meloncat-loncat itu. Bu Usman sontak menghentikan jarinya sebelum mengenai layar HP lalu menatap ke arahku. "Sini!" Aku segera meraih ponsel ibu dari genggaman Bu Usman lalu menyodorkan pada ibu. "Usap keatas tanda gagang telepon yang loncat-loncat itu, Bu!" titahku dengan sedikit suara yang meninggi. Aku takut keburu mati panggilannya. Ibu segera mengusapnya ke atas dengan telunjuknya dan muncul wajah mas Rahman, suamiku tercinta."Assalamualaikum, Ibu," sapanya dengan tersenyum pada ibunya. "Rahman," panggilnya. Terlihat gurat kerinduan di binar matanya memandang suamiku. Kata emak, mau sedewasa apapun seorang anak, tapi dimata ibunya dia adalah tetap anak kecil. Perihal menyayangi, maka hanya seorang ibu-lah pemilik cinta yang tulus tanpa syarat."Ibu, sehat-kan?" tanya suamiku. Ibu yang duduk dihadapanku s
Part 165. Sini uangnya saja. Aku beristighfar lagi dan lagi sambil menoleh ke arah ibu mertuaku. Aisyah sudah mulai tertawa-tawa karena melihat tingkah Bu Usman dan ibu di bawah pohon nangka seketika adikku itu melirikku dan bertanya. "Sejak kapan Bu Samirah jadi gesrek begitu?" Aku mendengus dengan pertanyaan yang Aisyah lontarkan, bahasanya tak kusukai. Jujur, aku tak begitu suka anak muda yang bahasanya kasar pada orang tua. "Berbicara yang baik dan benar, Is. Ingat! Beliau mertuaku," tegurku dengan wajah judes sambil meletakkan nampan kecil yang aku bawa di meja makan."Maaf," cicitnya. Aku duduk di meja makan sambil mataku tetap memperhatikan ibu dan bu Usman sedang lipsing adegan film si Roma dan Ani."Tapi bisa pas gitu, ya nadanya, Teh," tanya Aisyah lagi dengan melirik ke arahku. Seandainya Aisyah tau saat ibu dan bu Usman pargoy mungkin dia tertawa hingga terkencing-kencing di celananya. ———Semalam mas Rahman telah mentransfer uang bulanan untuk aku dan ibu. Rencananya