Share

Harus Berhati-hati

Beberapa saat sebelumnya.

Bara baru saja pulang, bi Heni, pelayan yang sudah bekerja selama tiga puluh tahun lamanya di sana nampak membukakan pintu untuk Bara. Lalu, wanita itu menurunkan barang-barang yang dibawa oleh Bara menuju kamar Hesti.

Semenjak Hana mengalami kecelakaan, Bara membawa Hesti dan mereka selalu tidur di dalam kamar utama. Bi Heni sempat melayangkan protesnya, tetapi Bara langsung mengancam bi Heni.

Bara berkata jika dia memiliki kuasa yang besar, jika bi Heni melawan Bara, maka pria itu akan membunuh bi Heni. Pria itu bahkan semenjak saat itu tidak pernah memperbolehkan bi Heni untuk keluar dari rumah.

Bahkan, bi Heni tidak diperbolehkan untuk memegang ponsel. Bara juga memutuskan semua sambungan telepon yang ada di kediaman Aditama, dia memutuskan semua akses yang bisa digunakan untuk berkomunikasi.

Rumah mewah itu bahkan dijaga oleh beberapa pengawal, baik di depan ataupun di belakang rumah tersebut. Pria itu sangat licik.

Wanita itu menurut, dia tak lagi melayangkan protesnya. Pria itu adalah pria jahat, istrinya saja mampu dia celakai, sudah pasti dirinya akan dengan mudah untuk disingkirkan.

"Cepat keluar sana, aku tadi habis makan. Bersihkan lagi tuh dapur," ujar Hesti setelah bi Heni menyimpan semua barang-barang yang dibawa oleh Bara di dalam kamar Hesti.

"Ya, Tuan. Ya, Nyonya."

"Hana sudah datang, awas saja kalau berani ngadu-ngadu. Nyawa kamu tidak akan selamat!" ancam Hesti.

"Iya, Nyonya. Permisi," ujar Bi Heni.

Bi Heni langsung melangkahkan kakinya menuju dapur, dia langsung menggelengkan kepalanya melihat dapur yang nampak berantakan. Padahal Hesti hanya memanaskan makanan siap saji saja, tetapi semua perabotan nampak kotor.

"Dasar manusia tidak punya akhlak," gerutu Bi Heni.

Walaupun menggerutu, tetapi wanita itu tetap merapikan perabotan yang berantakan itu. Setelah itu, dia berniat untuk masuk ke dalam kamarnya.

Namun, niatnya dia urungkan ketika melihat Hana yang sedang berdiri di depan kamar Hesti. Wanita itu nampak memegangi dadanya dengan air mata yang berurai di kedua pipinya.

"Ya Tuhan! Apakah Nyonya Hana melihat apa yang dilakukan oleh Tuan Bara dan juga Nyonya Hesti?" tanya Bi Heni.

Tidak lama kemudian wanita paruh baya itu nampak memukul mulutnya, dia lupa kalau pemilik rumah itu kini sudah kehilangan penglihatannya.

"Astagfirullah! Maksudnya, apa dia mendengar obrolan dari Tuan dan juga Nyonya Hesti?" ralatnya. Bukan tanpa alasan dia berkata seperti itu, karena bi Heni bisa melihat sendiri kalau pintu itu tidak tertutup dengan rapat.

Wanita paruh baya itu memperhatikan apa yang dilakukan oleh Hana, Hana terlihat limbung. Tidak lama kemudian wanita itu meraba-raba bupet dekat pintu kamarnya. Bi Heni dengan cepat menghampiri Hana.

"Aku harus memberi mereka pelajaran, bisa-bisanya Mas Bara melakukan hal menjijikkan di belakang aku. Bisa-bisanya dia berselingkuh dengan wanita lain," ujar Hana.

Hana nampak mengambil tongkat baseball, wanita itu terlihat hendak masuk ke dalam kamar Hesti. Namun, dengan cepat bi Heni menarik tangan Hana dan menyeret paksa wanita itu untuk masuk ke dalam kamar utama.

"To--"

"Ini Bi Heni, Nyonya. Tolong jangan berteriak," ujar Bi Heni.

Hana langsung mengelus dadanya, dia terlihat lega. Dia sempat berpikir kalau yang menariknya adalah Bara, tetapi ternyata bukan.

"Bi, apakah Bibi mengetahui perselingkuhan Mas Bara dengan Hesti?"

"Ya, Nyonya. Maaf, karena Bibi tidak bisa berbuat apa-apa."

"Tidak apa-apa, Bi. Tapi, setidaknya biarkan aku menghajar mereka."

"Jangan gegabah, Nyonya. Nyonya sedang tidak bisa melihat, kalau Nyonya berusaha untuk memukul mereka, yang ada Nyonya akan mati konyol."

Hana terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh bi Heni, saat ini dia memang sedang mengalami kebutuhan. Jika dia memaksa untuk menghajar Bara dan juga Hesti, hal itu pasti akan merugikan dirinya.

"Tuan Bara adalah orang yang tidak berperasaan, dia adalah orang yang merencanakan pembunuhan Nyonya. Kalau Nyonya gegabah, yang ada Nyonya akan mati di tangan tuan Bara."

"Jadi Bibi tahu kalau mas Bara yang berencana untuk membunuh aku?"

"Ya, karena tuan dan wanita ular itu sering membahas hal itu. Jadi, Nyonya tidak boleh gegabah dalam menghadapi kedua manusia siluman itu."

"Kamu benar, Bi. Lalu, Aku harus apa sekarang?"

"Nyonya harus tenang. Nyonya harus berpikir dengan jernih, Nyonya itu kan' orang kaya. Jangkauannya banyak, masa gak ada ide untuk balas dendam sih." Bi Heni nampak menggerutu.

Hana terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh bi Heni, dia memang tidak boleh gegabah. Saat ini semua hartanya sudah dialihkan atas nama Bara, jika dia langsung marah-marah, Bara tidak perlu membunuh dirinya.

Cukup menceraikan dirinya saja, otomatis dia akan langsung menjadi gembel. Sudah buta, gembel, pasti tidak akan ada orang yang membantu dirinya.

"Bibi benar, aku tidak boleh gegabah. Aku harus kuat, aku harus pura-pura tidak tahu apa yang sudah terjadi. Aku harus merencanakan balas dendam dengan baik, agar mas Bara tidak curiga."

"Ya, Nyonya. Nyonya harus menghadapi tuan Bara dan Nyonya Hesti dengan cara yang cantik," ujar Bi Heni.

"Hem! Tapi--"

Ceklek!

Pintu kamar utama nampak terbuka, Bara datang dan dia langsung menatap bi Heni dengan tajam. Dari luar dia mendengar samar-samar orang yang berbicara, tetapi tidak bisa menangkap dengan jelas. Makanya dengan cepat dia masuk ke dalam kamar.

"Sedang apa Bibi malam-malam di kamar utama?"

"Eh? Tuan, anu. Tadi Nyonya berpikir ada maling, soalnya dia mendengar suara berisik dari luar. Dia bahkan bawa tongkat baseball, katanya mau mukul malingnya. Saya buru-buru ajak Nyonya ke kamar, orang malingnya aja gak ada."

"Oh! Gak ada maling, Sayang. Lagian kamu kenapa belum tidur?"

"Aku tadi udah tidur, Mas. Tapi, aku dengar suara mobil kamu. Makanya aku bangun, tapi aku tunggu-tunggu kamu nggak masuk juga. Terus, aku dengar di luar kaya ada suara berisik gitu, makanya aku bawa tongkat baseball. Takutnya ada maling, Mas."

"Ya ampun, Sayang. Maaf kalau aku gak buru-buru masuk, tadi aku laper. Jadi makan dulu, tadi Bibi kok yang nyiapin makan malamnya. Iya kan, Bi?" ujar Bara sambil menatap Bi Heni dengan tajam.

"Iya," jawab Bi Heni seraya menggenggam tangan Hana. Dia seolah memberikan kode kalau pria itu sedang berbohong.

Geram sekali rasanya Hana mendengar apa yang dikatakan oleh Bara, karena pada kenyataannya dia sangat tahu kalau Bara setelah pulang langsung masuk ke dalam kamar Hesti dan berencana akan mencelakai dirinya.

"Bi, mending Bibi tidur aja. Soalnya sudah malam, aku juga mau istirahat."

"Ya, Nyonya," jawab Bi Heni.

Selepas kepergian bi Heni, Bara langsung menghampiri Hana. Lalu, dia menuntun istrinya tersebut untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Sekarang kamu istirahat saja, jangan mikir yang macam-macam."

Bara memeluk tubuh istrinya, dia bahkan mengusap punggung istrinya dengan begitu lembut. Lalu, Bara mengecup kening istrinya dengan lembut.

"Iya, Mas," jawab Hana.

Jika saja dia tidak mendengar obrolan antara Bara dan juga Hesti, sudah dapat dipastikan Hana akan menyangka kalau Bara begitu mencintai dirinya. Karena pria itu selalu saja bersikap dengan penuh cinta kepada dirinya.

Namun, ternyata semua apa yang dilakukan oleh Bara kepada dirinya hanyalah palsu. Semua itu Bara lakukan karena ada maunya, dia ingin tetap terlihat baik di depannya. Nyatanya dia sudah seperti iblis.

"Ternyata cinta kamu palsu, Mas. Lihat saja apa yang akan aku lakukan kepada kamu, aku pasti akan membalas semua perbuatan kamu."

Wanita itu sebenarnya begitu marah sekali kepada Bara, tetapi dia berusaha meredam amarahnya. Dia harus berpikir dengan jernih, dia harus berpikir bagaimana caranya agar bisa membalas dendam atas apa yang sudah dilakukan oleh Bara terhadap dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status