Share

Mulai Ketahuan

Hari ini dokter mengatakan kalau Hana sudah boleh pulang, dia merasa lebih baik kalau tinggal di rumah sendiri, karena pasti akan lebih nyaman daripada tinggal di rumah sakit.

Walaupun memang kakinya belum bisa lancar dalam berjalan, dia bertekad akan berusaha untuk belajar berjalan kembali. Dia juga akan berusaha sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, dia akan berusaha untuk bisa melihat walaupun tanpa mata.

"Yang sabar ya, Nyonya. Kami akan segera menghubungi kalau ada pendonor mata untuk Nyonya," ujar Dokter sebelum Hana pulang.

"Ya," ujar Hana.

Setelah itu, Hana dibawa pulang oleh Bara menuju rumah mewahnya, kediaman Aditama. Hana langsung diantarkan ke kamar utama, Bara bahkan membantu wanita itu untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Mas, katanya kita mau ke kuburan? Mau nyekar ke makam putri kita, kok aku malah diajak pulang?'

"Aku tahu kalau kamu pasti merindukan putri kita, tapi saat ini keadaan kamu sedang tidak baik-baik saja. Nanti kalau sudah benar-benar sehat, aku akan mengajak kamu ke sana. Oiya, Sayang. Ada yang ingin aku kenalkan," ujar Bara.

"Siapa?" tanya Hana.

"Aku menyewa perawat untuk kamu, namanya Hesti. Sekarang dia ada di sini," ujar Bara.

"Perawat? Untuk apa kamu menyewakan aku perawat?"

"Maaf, Sayang. Kamu itu kan' kesehatan matanya sedang terganggu, aku sengaja menyewa perawat agar bisa memantau keseharian kamu. Kamarnya juga ada di sebelah kamar kita, jadi kalau mau apa-apa kamu tinggal memanggil dia saja."

"Maksudnya, Mas menyewa perawat untuk membantu aku agar mudah dalam menjalani hari-hariku?"

"Ya, Sayang."

Bara menolehkan wajahnya ke arah Hesti, Hesti yang paham langsung mendekat ke arah Bara dan juga Hana. Dia langsung menepuk punggung tangan Hana dengan begitu lembut.

"Selamat siang, Nyonya. Saya, Hesti. Saya perawat yang Tuan tugaskan untuk menjadi mata anda," ujar Hesti.

Sebenarnya Hana merasa kurang suka saat suaminya menyewa perawat untuk dirinya, dia merasa menjadi wanita yang tidak berdaya. Padahal, dia masih ingat seluk beluk rumahnya, walaupun memang saat ini matanya tidak bisa melihat.

Namun, dia takut kalau suaminya akan tersinggung, kalau dia mengutarakan rasa tidak nyamannya itu.

"Ah, iya. Saya, Hana. Kalau saya perlu kamu, pasti saya akan memanggil kamu."

"Siap, Nyonya. Kalau begitu saya permisi," ujar Hesti.

Terdengar derap langkah kaki yang semakin menjauh, Hana juga mendengar pintu kamar mereka tertutup. Itu artinya Hesti sudah keluar dari dalam kamar utama.

"Mas, seharusnya kamu tidak perlu menyewa perawat untuk aku. Walaupun saat ini aku sedang tidak bisa melihat, tetapi aku tahu betul seluk-beluk rumahku."

"Maaf, Sayang. Aku hanya khawatir saja dengan kamu," ujar Bara.

"Aku paham, tapi apa tidak keterlaluan menempatkan dia di kamar sebelah? Bukankah itu kamar yang dulu kita siapkan untuk Hani?"

"Yang, aku sengaja menempatkan dia di sebelah kamar kita. Dengan seperti itu, kamu bisa dengan mudah memanggil Hesti kalau kamu butuh."

"Oke, aku paham," ujar Hana pada akhirnya. Dia tidak mau berdebat dengan suaminya.

"Kalau begitu aku mau ke kantor dulu, ada meeting penting soalnya."

"Pergilah, Mas."

"Oiya, Sayang. Aku terkadang kesulitan, karena ada saja klien yang tidak percaya kepadaku. Bagaimana kalau kamu buat surat kuasa? Jadi, kamu mempercayakan perusahaan kepadaku agar aku bisa dengan mudah menandatangani program kerjasama dengan para klien baru."

Hana terdiam sejenak, dia memang pemilik perusahaan Aditama. Bara hanyalah asisten pribadinya, tetapi pria itu bersikap sangat baik, begitu perhatian dan pengertian kepada dirinya.

Maka dari itu dia jatuh cinta kepada pria itu, pria yang sederhana tetapi mampu membuat dirinya selalu merasa bahagia saat bersama dengan pria itu.

"Boleh, Sayang. Cepatlah buat, biar aku bisa menandatanganinya."

"Tapi aku buru-buru, Sayang. Kamu tanda tangan aja dulu di atas materai, nanti aku tinggal ngetik surat kuasanya."

"Boleh," jawab Hana tanpa ragu.

Selama ini suaminya itu tidak pernah mengecewakan dirinya, dia sungguh percaya dengan pria itu. Pada akhirnya Hana menandatangani materai yang menempel di atas kertas kosong yang sudah disiapkan oleh Bara.

"Aku pergi bekerja dulu, jangan menunggu aku. Aku akan pulang saat malam tiba, Mas sayang kamu." Bara mengecup kening istrinya.

"Iya, Mas. Selamat bekerja, yang semangat kerjanya."

"Ya, Sayang. Kalau kamu butuh apa-apa, langsung panggil Hesti saja."

"Hem," ujar Hana.

Bara langsung pergi dari kediaman Aditama setelah berpamitan kepada istrinya, sedangkan Hana tidak langsung beristirahat. Wanita itu malah berusaha untuk berjalan, walaupun dengan begitu perlahan dan harus menumpukan tangannya ke tembok.

"Aku harus bisa berjalan dengan normal kembali, setidaknya aku masih bisa berjalan walaupun mata ini tidak berfungsi untuk saat ini."

Hana nampak menangis, tetapi sedikit pun semangatnya surut. Dia bertekad akan berusaha berjalan sampai dia bisa berjalan walaupun dengan tertatih, dia tidak ingin lemah.

"Lelah sekali, aku ingin istirahat."

Hana akhirnya merebahkan tubuhnya, dia nampak begitu kelelahan karena terlalu lama belajar berjalan. Wanita itu bahkan sampai melewatkan makan malamnya.

"Jam berapa ini?" tanya Hana ketika dia terbangun dari tidurnya.

Bukan tanpa sebab dia terbangun, tetapi dia terbangun karena dia mendengar suara mobil yang masuk ke kediaman Aditama.

"Sepertinya ini sudah sangat malam, pasti mas Bara pulang. Aku akan menunggunya," ujar Hana.

Hana turun dari tempat tidur dengan begitu perlahan, dia bahkan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi dengan sangat perlahan. Dia mencuci mukanya dan kembali berjalan untuk duduk di atas sofa.

Sebuah senyum menghiasi bibirnya, dia merasa bahagia karena walaupun dia tidak bisa melihat, tetapi dia masih bisa berjalan dengan begitu lancar tanpa harus memanggil sang perawat.

"Loh! Kok mas Bara tidak kunjung masuk ke dalam kamar? Padahal aku sudah cukup lama menunggu," ujar Hana.

Karena merasa begitu penasaran, Hana akhirnya memutuskan untuk keluar dari dalam kamarnya. Tentunya dia berjalan dengan meraba-raba tembok agar tidak jatuh.

Wanita itu berniat untuk pergi ke dapur, karena dia mengira kalau suaminya berada di sana. Dia mengira kalau suaminya kehausan, makanya ingin pergi ke dapur terlebih dahulu.

Namun, langkahnya terhenti ketika dia berada di depan kamar Hesti. Dia samar-samar mendengar obrolan antara Hesti dan juga Bara, dia sangat yakin jika itu adalah suara suaminya dan juga suara Hesti.

Hana menajamkan pendengarannya, tetapi sebisa mungkin dia bersembunyi agar tidak ketahuan oleh Bara dan juga Hesti.

"Mas, kenapa pulangnya lama?"

Hesti berbicara dengan begitu manja sekali, Hana sampai mengernyitkan dahinya. Dia bingung kenapa wanita itu memanggil suaminya dengan sebutan 'mas', seharusnya wanita itu memanggil Bara dengan sebutan tuan.

"Mas habis mengurusi surat pengalihan harta Hana atas nama aku, jadinya lama."

Terdengar suara Bara kali ini, Hana merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria itu. Pantas saja pria itu tadi siang meminta tanda tangan dari dirinya, ternyata tanda tangan itu digunakan untuk mengalihkan harta miliknya kepada Bara.

"Uuh! Mas memang pintar, kalau begitu kita udah jadi orang kaya dong?"

"He'em, Sayang. Sebentar lagi kita tinggal membuang wanita buta itu, wanita itu juga sudah tidak berguna. Tapi, bagaimana caranya ya?"

"Nanti aku pikirkan, lagian wanita itu adalah wanita buta. Kita bisa mengatur pembunuhannya dengan baik, kita bisa mengatur seolah-olah dia kecelakaan. Padahal, nyatanya dia, kita bunuh."

Deg!

Jantung Hana berdebar dengan begitu kencang, dia tidak menyangka jika Bara dan juga Hesti bisa merencanakan hal sekeji itu. Jika sudah seperti itu, Hana yakin kalau Hesti bukanlah perawat, tapi kekasih gelap dari suaminya.

"Kamu benar, Sayang. Seperti dulu, kita akan merencanakan pembunuhan. Padahal, dulu saja aku sudah merencanakan hal ini dengan begitu matang. Tapi, kenapa bisa gagal?"

Hana memegangi dadanya yang tiba-tiba saja berdebar dengan begitu kencang, jika dulu kecelakaan yang terjadi adalah rencana dari Bara, itu artinya hubungan Bara dengan Hesti sudah sangat lama.

"Sabar, Sayang. Kita bisa merencanakannya kembali, tenang saja. Ada aku yang akan membantu," ujar Hesti.

"Ya, Sayang. Kamu benar,'' ujar Bara.

Ingin sekali Hana berteriak dan memaki Bara, tetapi bibirnya malah tertutup rapat. Semua kata-kata makian malah tercekat di tenggorokannya, Hana hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu kamar itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status