Sabda tersenyum. "Ini bukan masalah berkenan atau tidak, bukan masalah puas atau tidak puas. Aku hanya ingin ada masalah apapun kita harus berkomunikasi. Itu saja. Selain itu aku paham, kita menikah di awali dengan peristiwa yang tak biasa. Tapi apapun itu kita adalah suami istri. Kita bangun rumah tangga kita sebaik mungkin. Mari kita sama-sama melupakan masa lalu.""Ya, terima kasih, Mas."Sabda mengambil posisi miring. Memandang mata yang kini juga menatapnya. "Bahkan untuk urusan ranjang, aku lebih suka kalau kamu terbuka. Tak salah kok istri minta duluan, banyak pahalanya malah."Ketegangan akhibat dari ketegasan Sabda saat berbicara kini tiba-tiba saja mencair, ketika kalimat keramat itu diucapkan. Senja tersenyum malu bersamaan dengan pipinya yang merona merah jambu. Sabda menyunggingkan senyum dan tangannya menahan wajah itu agar tidak berpaling dan menghindarinya karena tersipu.Alhasil Senja hanya memandanginya. Berbicara pakai bahasa mata. Jika tadi ia memikirkan Sabda yang
Senja berdiri dan meninggalkan buket bunga di bangku halte. Dibiarkannya bunga itu teronggok bisu di sana. Diam terbuai silir angin menjelang senja. Cokelat di tengah buket pun tergeletak sia-sia."Sudah lama nunggu?" tanya Sabda setelah Senja duduk di sebelahnya."Nggak. Baru saja, Mas."Sabda memandang ke arah halte. Menatap rangkaian bunga yang tergeletak di sana. Namun ia tak bertanya apa-apa. Senja yang serba salah karena diperhatikan, sampai memasang seat belt pun kelewat, lantas Sabda membantunya. Tanpa berkata Sabda melajukan mobilnya ke arah jalan pulang. Perjalanan tanpa percakapan. Senja serba salah. Mau mulai bicara, tampak Sabda diam dan dingin. Mungkinkah ia tahu dan sekarang marah. Nanti saja setelah sampai di rumah dia akan mengajak suaminya bicara. Seperti yang dibilang Sabda kemarin, semua harus di komunikasikan."Habis Salat Maghrib kita keluar, ya," ucap Sabda setelah turun dari mobil. "Iya."Mereka masuk rumah dan melakukan aktifitas masing-masing tanpa bicara.
"Habis subuh tadi waktu kamu di dapur ibu telepon di ponselmu. Aku yang angkat. Beliau mau mengucapkan selamat ulang tahun padamu, tapi kucegah. Aku mengajak ibu berkompromi karena berniat memberikan kejutan untukmu malam ini, kami bicara juga nggak lama. Soalnya suara ibu terputus-putus."Tetap saja ibunya yang jadi orang pertama mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Arga yang kedua. Dan Nina sepertinya lupa. "Aku langsung menghubungi teman pemilik kafe ini. Untuk bikin surprise buatmu."Senja masih merasa speechless. Dia diam menatap pria tampan dihadapannya. Padahal tadi dia dingin banget, dipikirnya marah karena tahu Arga telah menemuinya. Ternyata dugaannya salah. Mungkin tadi Sabda gusar karena masalah pekerjaan."Ayo, kita makan. Aku sudah lapar ini.""Iya." Mereka sangat menikmati makan malam romantis dengan diiringi musik instrumen dan gerimis di luar sana. Silir angin menambah kesegaran suasana. Rupanya ruangan itu khusus dipesan Sabda untuk memberikan surprise pada ist
"Apapun usahamu, dia tak akan lepas dariku. Aku akan mempertahankannya. Apalagi sekarang Senja mengandung anakku."Wajah Arga seketika berubah pias. "Aku tak bisa setelah menikahinya terus meninggalkan begitu saja dengan alasan bahwa aku hanya kasihan. Aku tidak ingin menambah lukanya terlalu dalam lagi. Aku tak ingin menyakiti keluarganya. Andai saja kamu tahu bahwa mereka semua sangat baik. Aku tak bisa bersandiwara seperti yang tengah kamu rencanakan.""Tapi kenapa kamu harus benar-benar menikahinya, bahkan menyentuhnya!" desis Arga menahan murka."Apa aku juga harus pura-pura sepertimu? Aku sudah menceritakan situasinya saat itu. Tak perlu aku mengulanginya lagi. Andaikan kamu tidak menerima perjodohan dengan Citra, semua ini tak akan terjadi. Aku juga tak akan pernah dekat dengan Senja, bahkan menikahinya. Maaf, kuharap kamu memahami ini." "Aku yakin kamu menyentuhnya karena nafsu, hanya memanfaatkan sebab dia telah halal untukmu. Kamu nggak mencintainya, kan?""Apa yang kurasa
Jarak rumah sakit dan kantornya sekitar dua puluh menit. Di koridor ruang bersalin, tampak ada papa dan mamanya yang duduk di bangku panjang. Di sebelah mereka ada orang tua Tata.Bu Airin yang melihat kehadiran putranya hanya memandang sekilas. Meski hatinya senang karena bisa melihat putranya lagi. Lagi-lagi egonya yang dijunjung tinggi. Ketika di salami, wanita itu hanya diam saja tak mau memandang."Sudah lahir bayinya, Pa?" tanya Sabda setelah duduk di sebelah sang papa."Belum. Baru lima menitan masuk ruang operasi. Masmu yang dampingi.""Apa ada masalah, Pa? Sampe harus tindakan SC?""Nggak ada. Tata yang memang mau lahiran secara cesar."Mereka diam. Menunduk dengan harap-harap cemas. Ketegangan juga terasakan di bangku tunggu. Enam bulan lagi, dirinya juga akan mengalami hal begini."Kehamilan istrimu bagaimana?""Alhamdulillah, sehat, Pa. Dia juga masih kerja." Sabda sengaja bicara agak keras biar mamanya mendengar. Tapi ia yakin, papanya pasti sudah memberitahu sang mama me
"Sayang, ayo kita berangkat. Nanti keburu siang!" panggil Sabda dari luar. Membuat Senja terkejut, refleks diletakkannya kembali ponsel Sabda di nakas."Bawakan ponselku di nakas!" lanjut Sabda lagi. Ponsel kembali di ambil oleh Senja lalu mengambil hand bag-nya lantas keluar kamar.Mereka berangkat dan mampir di sebuah rumah makan untuk sarapan. Di hadapan sang suami, Senja tidak menampakkan kegalauannya karena pesan yang sempat terbaca tadi. Meski jujur saja ia kepikiran. Bagaimana tidak, kebersamaannya dengan Arga yang tidak sebentar membuatnya berpikir tentang kondisi laki-laki itu. Semua terjadi karena permasalahan yang mereka hadapi saat ini.Dua porsi nasi kuning dan dua teh hangat di pesan Senja. Sementara Sabda membalas pesan dari adiknya. Sabda menanyakan tentang keadaan Arga. Dia pun tidak tega dengan kondisi sepupunya. Sayangnya Bumi pun belum tahu bagaimana kabar Arga saat ini.Kemudian dia memperhatikan Senja yang menyimak ponselnya. Wanita yang telah membuat Arga nekat
Perjalanan pulang Sabda dan Senja kali ini agak lambat dari waktu normalnya. Sebab sering berhenti untuk istirahat. Sabda benar-benar menjaga agar tidak terjadi apa-apa pada kandungan istrinya. Ia dibayangi ketakutan yang terpikirkan ketika sarapan tadi. Padahal bagi Senja sendiri tak ada masalah apa-apa. Bahkan ia tak mengalami morning sickness parah seperti yang dialami oleh sebagian perempuan hamil. Terkadang saja rasa mual itu datang, tapi tidak sampai muntah.Pukul sebelas siang mereka baru sampai di rumah Bu Hanum. Kebetulan ada Pakdhe Harto dan istrinya ketika mereka sampai. Sabda di sambut dan duduk ngobrol di balai-balai samping rumah bersama Pakdhe dan istrinya. Sedangkan Senja langsung masuk ke dalam bersama ibunya. Bu Hanum membuatkan minum untuk sang menantu satu-satunya. Senja mengambil piring untuk menaruh brownis dan kue lapis legit."Barusan kami ngomongin soal kalian," kata Bu Hanum sambil mengaduk teh."Ngomongin soal apa, Bu.""Bulan depan sudah puasa. Rencananya
"Mas, pasti setelah ini keluargaku akan menanyakan lagi tentang acara silaturahmi," kata Senja setelah mereka berdua berbaring di kamar siang itu setelah Salat Zhuhur."Nanti malam aku akan bicara sama Ibu. Aku sudah memutuskan kalau lebih baik kita berterus terang saja. Kurasa ini jauh lebih baik. Ibu pasti bisa memahami, apalagi kita besok isbat nikah juga ke KUA. Jadi beliau tak akan ragu lagi."Senja mengangguk. Pendapat suaminya ada benarnya juga. Untuk apa ditutupi dan mau sampai kapan begini. Mereka juga nggak akan kembali mengulang membayar orang untuk pura-pura jadi kerabat. Ini akan lebih membuat keluarganya kecewa jika tahu. "Apa perlu membayar orang lagi, Mas?" tanya Senja tampak ragu. Sebab ini hal konyol yang tak mungkin dilakukan lagi.Sabda tersenyum. "Tentu semua tak sebercanda ini lagi, Sayang. Bisa saja kamu ini," jawab Sabda sambil meraih dagu istrinya, lantas mencium bibir itu."Sudah, kamu istirahat dulu. Nanti malam kita bicara dengan ibu."Senja memeluk lengan