“Masalah yang semalam ... saya ... ““Pak Ardhan setuju ‘kan dengan pendapat saya,” ujar Prama. Ardhan meneguk salivanya, ia bingung harus merespon apa. “Tanah itu luas dan letaknya strategis lho, Pak.”“Tanah apa ya Pak?” tanya Ardhan bingung.“Kok tanah apa, tanah yang kita bicarakan semalam.”“Maaf Pak tetapi semalam kita tidak bicara tentang tanah, mungkin Pak Prama salah orang.”Prama terdiam, sepertinya ia mencoba mengingat sesuatu. Ardhan yang tegang memandang ke arah Kakek. Jantungnya berdegup dengan kencang. “Oh iya benar, semalam kita tidak bicara tentang tanah,” kata Prama. Ardhan menyunggingnya senyum simpul. “Bahkan semalam kita tidak bertemu ya Pak.”“I –iya Pak,” sahut Ardhan.“Maaf Pak saya salah orang, akhir-akhir ini banyak orang yang saya temui jadi semua memori tercampur,” ujar Prama. “Lupakan saja Pak yang tadi, sekarang kita fokus saja kerja.”Prama kemudian melangkah masuk menuju ruangan besar itu sedangkan Ardhan berjalan menghampiri Kakek yang tersenyum kepada
“Sebaiknya berhenti atau tidak, Kek?” tanya Ardhan balik.“Dia sedang terpuruk, kamu mau menolongnya?”“Kek, jangan bertanya terus padaku. Aku tidak tahu jawabannya, sebaiknya menolong atau tidak,” jawab Ardhan. Di satu sisi ia kasihan melihat Prama namun di sisi lain dirinya malas berhubungan dengan pria itu. “Bagaimana Kek?”“Tolong saja, barangkali dia butuh bantuanmu,” sahut Kakek memberikan arahan agar Ardhan mengambil tindakan. Lelaki berwajah tampan itu menuruti perkataan si Kakek, perlahan ia mendekai sosok tersebut.Prama sepertinya tidak menyadari kedatangan Ardhan, ia terus menatap lurus ke jalanan. Setelah mematikan mesin motornya, Ardhan kemudian ikut duduk di samping rekan bisnisnya itu. Prama sama sekali tak bergerak atau mengatakan sesuatu padanya.Ardhan akhirnya membuka obrolan, ia menyapa lelaki di sampingnya itu. “Kenpa berhenti di sini, Pak?”“Tidak tahu, Pak. Saya hanya ingin berhenti di sini saja,” jawab Prama. Ardhan menatap sosok si Kakek yang juga ada di anta
“Teman apa? Mas Ardhan bawa teman ke mari? Kakek-kakek?” cerocos Kinanthi.“Jawab Mas!”“Teman siapa? Mana ada teman kakek di sini?” jawab Ardhan panik. Ia menduga jika teman Kinanthi itu bisa melihat sosok Kakek.“Memang tidak ada di sini tetapi di pikirannya si Mas ini,” lanjut teman Kinanthi tersebut. Ardhan tertawa keras untuk menutupi kepanikannya. “Tadi aku perhatikan Mas Ardhan ini bicara sendiri, dari gerak-geriknya seperti dia bicara dengan sosok yang lebih tua.”“Oh begitu, jadi kamu berkesimpulan jika teman khayalan Mas Ardhan seorang kakek-kakek ya,” imbuh Kinanthi.“Tidak mbak, saya tidak bicara sendiri dan tidak punya teman khayalan,” kata Ardhan, ia membuat penekanan agar kedua perempuan itu mempercayainya. “Anggaplah begitu, saya bicara sendiri dan lain sebagainya. Mungkin secara tidak sadar aku melakukannya.”“Maaf ya Mas jika saya membuat anda tersinggung dan tidak enak hati, saya tidak bermaksud demikian,” ujar ahli psikis tersebut. Ardhan tak mempermasalahkan hal t
Bukannya menjawab Ardhan justru menoleh ke arah sosok Kakek yang berdiri tak jauh darinya. Ia tak mengerti kenapa Prama bertanya seperti itu. “Maklum saja, ada kesalahan dalam memanipulasi ingatannya.”“Pak Ardhan ... Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi,” tuntut Prama.“Bagaimana ini Kek,” gumam Prama. Sosok Kakek itu menggelengkan kepalanya, bukannya tidak jawabannya tetapi pria itu membiarkan Ardhan berpikir sendiri.“Karena ... Pak Prama ... kemarin ...”Ardhan mencari kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan lelaki itu. Mata bergerak ke sana ke mari, otaknya bekerja keras untuk berpikir.“Oh iya sangat ingat, kemarin saya –“Prama menghentikan ucapannya karena ponselnya berdering, ada sebuah panggilan masuk. Ia mengangkat telepon sembari menjauh dari Ardhan. Dan kesempatan baik itu digunakan Ardhan untuk melarikan diri, ia masuk ke dalam ruang kerjanya.Ia menyibukkan diri dengan membersihkan meja kerjanya, menghidupkan komputernya dan melakukan hal-hal yang tak biasa ia l
Ardhan memundurkan langkahnya ketika mengetahui hal tersebut, ia tak menduga jika ingatan Prama akan kembali. “Katanya Kakek sudah menghapus ingatannya,” ujar Ardhan, ia meninggikan suaranya.“Sstt, pelankan suaramu. Kamu mau dikira gila oleh atasanmu?”Ardhan segera menutup mulutnya kemudian berjalan mendekati si Kakek. “Katanya Kakek sudah menghapus ingatan Pak Prama, bagaimana bisa dia jadi ingat semuanya lagi.”“Aku hanya bercanda tadi,” goda si Kakek. “Tetapi tentang dirinya yang sudah sepenuhnya kembali menjadi seorang Prama itu sungguhan. Lihat besok, dia kembali membuatmu kesal bahkan bisa ...”“Bisa apa Kek? Bicara jangan sepotong-sepotong begitu.”“Bicara di jalan saja, ada banyak kuping yang mendengar dan mata yang melihat,” ujar si Kakek lalu menghilang. Ucapan pria tua itu membuat Ardhan seketika mengedarkan pandangannya ke segala sdut koridor kantornya. Tak ada siapapun di sana, hanya ia sendiri dan pak Bobby di ruangannya.“Jangan-jangan dia bicara masalah hantu lagi,”
“Bantu apa Pak?” tanya Ardhan, Prama mengajaknya menuju meja kerjanya. Perasaan Ardhan bercampur aduk, ia mencoba utuk tak takut tetapi waspada. Dari sikap dan aura yang terpacar Prama lebih kejam dan berkuasa dibandingkan sebelumnya.“Pak Ardhan bisa memperbaiki ini?” ujar anak konglomerat itu sembari menunjukkan bagian komputernya yang rusak. “Saya lihat kemarin Pak Ardhan memperbaiki komputer anda, mungkin sekarang bisa membantu saya.”“Coba saya periksa dulu ya Pak,” kata Ardhan mencoba melihat separah apa kerusakan komputernya. Meski tak bukan lulusan teknik komputer namun Ardhan bisa memperbaiki komputer yang eror.Entah gugup atau memang kerusakannya yang parah, Ardhan menyerah untuk memperbaiki komputer lelaki tersebut. Ardhan meminta maaf karena tidak bisa membantu rekan bisnisnya itu. “Maaf Pak, saya sudah berusaha tetapi komputer anda tetap tidak bisa menyala.”“Sayang sekali ya Pak, saya sudah buang-buang waktu selama setengah jam tetapi tidak ada hasilnya. Sia-sia, percum
Raut wajah Ardhan berubah, matanya berkilau, emosinya memuncak. Ia bersiap untuk memukul pria di depannya yang tak kalah garang. Si Kakek terus menahannya tetapi Ardhan sudah gelap mata, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.Mudah bagi lelaki itu untuk melumpuhkan lawannya, dalam beberapa kali pukulan Ardhan bisa membuat Prama bertekut lutut. Prama terduduk di lantai usai mendapatkan pukulan di wajah dan perutnya. Ardhan tampak begitu puas menyalurkan kekesalannya yang selama ini terpendam.Begitu pula dengan para penonton dadakan yang menikmati pertengkaran tersebut, tak ada dari mereka yang melerai kedua petarung tersebut. Sepertinya mereka juga ingin atasannya menerima balasan atas perbuatan jahatnya selama ini.“Kau puas?” sindir si Kakek. Ardhan yang sibuk mengatur napasnya diam seribu bahasa. “Ada hal besar yang akan terjadi, kau akan me—““Persetan dengan yang lain, pria berengsek itu harus menerima ganjarannya,” ujar Ardhan memotong perkataan si Kakek. Ia sudah masa bodo dengan
“Apa untungnya aku memukulmu?” tanya Ardhan.“Tentu saja hal itu membuatku senang, kami tak perlu melihatmu lagi di kantor ini. Selamanya,” kata Moritz.Ardhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalian masih saja seperti ini, pergilah!”“Pak Ardhan sungguh memukul klien kita?” tanya Jonas, sepertinya ia tidak percaya jika Ardhan mampu melakukan hal tersebut.“Masih tanya lagi, lihatlah wajahnya!” sela Moritz, ia menunjuk ke arah Ardhan. “Dia ini kriminal.”“Hati-hati kalau bicaranya ya. Turunkan tanganmu!” titah Ardhan, ia mulai meninggikan suaranya. Hal tersebut membuat Moritz dan Jonas terkejut.“Jaga sikapmu, Ardhan! Mereka mencari kesalahanmu,” kata si Kakek mengingatkannya.“Minggir, aku mau ke kamar mandi,” ucap Ardhan, ia hendak menerobos kedua orang tersebut.“Tunggu dulu, kamu tidak bisa pergi begitu saja,” larang Moritz, lelaki itu mendorong Ardhan agar masuk ke dalam ruangannya lagi. Namun Ardhan tak menghiraukannya, ia tetap pergi menuju kamar mandi yang terletak di uj