Share

Bukan Sebab Cinta Ditolak
Bukan Sebab Cinta Ditolak
Penulis: SanSan954

Bagian 1

"Putuskan hubunganmu dengan pedagang ikan itu, apa yang diharapkan dari seorang penjual ikan?" ujar Gani mengultimatum anaknya.

"Tapi Pa ...."

"Tidak ada tapi-tapian, Juriah! Pernikahanmu dengan Farid tinggal menghitung hari, paham?!" bentak Gani, laki-laki keturunan Arab yang berprofesi sebagai ASN itu mengakhiri sarapannya.

“Ria, turuti apa kata papamu ya Nak, siang ini kita akan ke bridal gown untuk ukur gaun pernikahanmu nanti,” pujuk Zubaidah-istri Gani kepada Juriah-anaknya.

Juriah tidak menjawab, dia hanya menunduk sambil mengaduk-aduk nasi goreng buatan sang mama, selera makannya tiba-tiba sirna kala teringat dalam beberapa pekan lagi dirinya akan menikah dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya.

Konon pria itu bernama Farid, seorang pemuda lulusan sebuah universitas di Kairo Mesir. Ayah Juriah dan ayahnya si Farid adalah sahabat lama, selain itu mereka sama-sama keturunan dari salah satu suku di negeri Arab. Agar garis keturunan suku tersebut tidak terputus maka mereka harus menikah dengan sesama suku mereka.

Juriah tentu saja galau bukan kepalang, usianya masih dua puluh tahun, belum terlalu tua untuk buru-buru menikah. Pernah dia beralasan hendak kuliah dan menunggu lulus baru menikah, sebagai penolakan perjodohan yang dirancang sang papah. Namun, Gani berkilah bahwasanya Juriah bisa tetap melanjutkan pendidikannya setelah menikah.

Pernah pula Juriah berkata terus terang, bahwa dirinya telah memiliki seorang kekasih, alih-alih sang papah mengerti, yang ada Gani malah murka dan menyuruh memutuskan hubungannya itu.

“Sudah sejak dulu Papa ingatkan, jangan berpacaran karena itu mendekati zinah, mengapa kau melanggar?” hujat Gani penuh kemarahan.

Dalam keluarga Gani pacaran memang dilarang, tidak ada istilah berpacaran, kalau sudah siap maka menikah adalah jalan terbaik dalam membina sebuah hubungan. Itulah mengapa pernikahan Juriah telah dirancang oleh Gani dengan sebaik-baiknya, mulai dari mencarikan bakal calon suami yang berasal dari silsilah keluarga terbaik, ekonomi menengah ke atas, sampai latar pendidikan berbasis keagamaan.

Setelah drama di meja makan saat sarapan usai, Juriah naik ke lantai atas menuju kamarnya. Di dalam kamar gadis itu menghubungi seseorang, “Aku mau kita ketemu sekarang,” tulisnya pada pesan singkat.

“Aku sedang di pasar, Sayang.” Balas orang yang dikirimi pesan.

“Pernikahanku semakin dekat, aku tidak mau dan aku maunya sama kamu.” Tulis Juriah lagi.

“Ya sudah kamu ikut aku pulang ke kampung kalau begitu,” tawar orang yang dikirim pesan.

“Terserah ke mana saja, yang penting kita bersama,” tulis Juriah lagi, sebelah tangannya meraba perut sendiri.

“Pergilah ke loket Bus Antar Kota Antar Provinsi, kita bertemu di sana,” balasan pesan masuk ke ponsel Juriah.

Gadis itu bergegas mengganti pakaiannya, tidak banyak barang yang dibawa, dia hanya membawa dompet, ponsel, dan satu stel pakaian ganti. Pelan-pelan Juriah keluar dari kamar, terlihat pintu kamar orang tuanya terbuka sedikit. Juriah mengintip, tampak Zubaidah tengah menghitung tumpukan uang di atas kasur.

Juriah berlari tanpa suara menuju tangga, gadis itu menuruni tangga dengan tergesa dan akhirnya dia sampai di halaman. Tampak sopir keluarganya duduk santai di kursi taman, “Mang, anterin aku dong,” pinta Juriah seraya masuk ke mobil.

“Mau ke mana, Neng?” tanya pak sopir.

“Ke loket bus,” jawab Juriah singkat.

Sang sopir tidak banyak tanya, ia langsung masuk dan menghidupkan mesin kendaraan, lantas meluncur menuju tempat yang disebutkan sang anak majikan.

Sepanjang jalan, Juriah tak henti mengulum senyum. Kenangan bersama sang kekasih terus bermain di matanya, “Biarlah aku kabur sementara, nanti juga mama sama papa pasti akan luluh setelah aku dan Ardi menikah, mereka pasti akan menerima Ardi setelah tau bagaimana baiknya pemuda itu,” gumam Juriah di dalam hati.

Perkenalan Juriah dan Ardi terjadi sekitar enam bulan yang lalu, cinta langsung tumbuh di hati sang gadis sejak pertama berkenalan. Sosok Ardi yang tampan, lembut, dan penuh perhatian telah membuat Juriah terpikat. Pemuda bernama Ardi itu memanglah seorang perantau, tetapi Juriah kagum mengetahui Ardi sangat bertanggung jawab.

“Ayahku telah wafat, maka itu aku tidak meneruskan sekolah, lebih baik aku merantau mencari uang untuk menyambung hidup ibu dan adik-adikku.” Cerita Ardi di awal-awal perkenalan mereka.

Seringnya berkomunikasi lewat telepon dan pesan singkat, membuat keduanya sepakat menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Diam-diam di sela-sela waktu kuliahnya, Juriah kerap singgah dan menghabiskan waktu di kamar kos Ardi. Seperti kata orang tua-tua, jika laki-laki dan perempuan berdua-duaan maka orang ketiganya adalah setan. Dimulai sekedar bertukar cerita, saling pegang tangan, sampai kemudian keduanya lupa daratan.

Pemuda tampan bernama Ardi itu menarik Juriah ke pelukannya, dilumatnya bibir ranum milik si gadis. Juriah meremas pinggang si pemuda, menikmati sensasi yang didapat dari sang kekasih. Sepasang remaja lupa diri, tubuh Juriah didorong jatuh ke atas kasur lantai. Gadis itu pasrah, saat si pemuda melucuti pakaian yang melekat di badannya. Dua remaja berlainan jenis bergumul mesra mengarungi lautan dosa, mendaki puncak terlarang yang seharusnya belum halal mereka lakukan.

Keduanya terkulai bersimbah keringat dan cairan dosa, setelah hampir satu jam bergulat melepaskan hasrat. Awalnya Juriah merasakan sakit, malu dan menyesal. Namun, setelah itu dia menjadi candu dan begitulah akhirnya kegiatan tersebut kerap mereka ulang di setiap kesempatan.

“Aku takut,” keluh Juriah sekali waktu saat dia baru saja mendapatkan cerita dari sang mama tentang rencana perjodohannya.

"Kenapa? Aku gak akan ke mana-mana, aku tidak akan tinggalkan kamu, percayalah. Kalau mau aku pun siap melamar kamu." Ujar sang kekasih mencoba untuk menenangkan Juriah.

Juriah menarik napas panjang, dan menghembuskannya secara perlahan. "Papa menjodohkan aku dengan orang lain, dan menyuruh aku mengakhiri hubungan kita," Juriah menyampaikan apa yang dikatakan papanya tentang rencana pernikahan dirinya yang telah dirancang.

Ardi mengeratkan pelukannya, seolah takut Juriah lepas dari genggaman.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku, Ria. Kita menikah ya, bilang sama papamu, aku siap melamar kamu."

"Aku juga mau bilang itu, tapi lidahku kelu. Aku takut, sampai tidak mampu bersuara."

"Lalu, apa kamu akan menerima perjodohan itu, Ria? kamu sudah aku miliki, kita telah melakukan semuanya, suami kamu pasti tidak akan terima kamu dalam keadaan begini," bisik Ardi, dia menatap mata gadis yang ada dalam pelukannya.

Sungguh sebagai seorang laki-laki Ardi merasa dirinya kejam karena telah merampas mahkota Juriah, tetapi dia tidak dididik untuk menjadi laki-laki bajingan. Dia berniat menikahi gadisnya, menjadikan gadis itu istri bukan sekedar memetik sari bunga sang dara lalu pergi begitu saja.

"Bagaimana kalau kita lari saja?"

Pertanyaan Juriah membuyarkan pikiran Ardi, sesaat kemudian pemuda itu menggeleng. “Tidak, aku akan datang ke rumahmu, aku akan meminangmu sebagai ksatria,” putusnya. Namun, niat Ardi untuk menemui orang tua Juriah selalu tertunda oleh karena Juriah sendiri yang selalu mengulur waktu.

Bukan tanpa alasan Juriah menunda-nunda keinginan sang pacar, dia takut Ardi disakiti oleh Gani yang tempramental. Juriah tahu seperti apa papanya? Laki-laki bernama Gani itu sangat-sangat protektif, beliau tak segan menghajar atau memukul pemuda yang mencoba mendekati anaknya.

“Kita sudah sampai, Neng.” Teguran pak sopir membangunkan Juriah dari lamunan, dia bergegas turun dari mobil dan menyuruh sopirnya pulang.

****

Bus antar kota antar provinsi melaju meninggalkan loket, di dalamnya terdapat sepasang remaja yang duduk berdampingan saling bergandengan tangan.

Sementara itu di rumahnya Zubaidah telah bersiap, Gani juga pulang pada jam istirahat untuk makan siang bersama dengan keluarga sekaligus menemani anaknya ke bridal gown.

“Ria ayo sayang, papa kamu sudah nungguin tu,” panggil Zubaidah kepada Juriah putri semata wayangnya.

“Juriah, kamu dengar Mama, Sayang?” panggil Zubaidah lagi, kali ini dia sambil mengetuk pintu kamar anak gadisnya. Beberapa kali diketuk, tidak juga terdengar sahutan dari dalam kamar, Zubaidah mulai khawatir kalau-kalau Juriah sakit.

Wanita keturunan Arab itu, menekan handle pintu dan mendorong daun pintu ke arah dalam, udara sejuk dari mesin pendingin ruangan menerpa wajahnya, aroma pewangi ruangan menusuk penciuman. Zubaidah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, ruang kamar tampak rapi dan tidak terlihat penampakan Juriah di dalam situ.

“Loh kemana perginya anak itu?” tanya Juriah bergumam sendiri.

Wanita berhidung mancung dan berdagu runcing bak lebah menggantung, berbalik dan berlari menuruni tangga untuk menghampiri Gani-suaminya, yang sejak tadi telah menunggu.

“Pa, Juriah tidak ada di kamarnya,” lapor Zubaidah.

“Loh! Tidak ada bagaimana? Memangnya Juriah tidak pamit sama kamu kalau mau pergi?” tanya Gani bingung, sudah menjadi aturan wajib di rumahnya, siapa pun, hendak pergi kemana pun, harus pamit kepadanya atau istrinya tidak terkecuali Juriah putri semata wayang mereka.

“Tidak ada, dia tidak mengatakan apa-apa, aku pikir dia ada di kamarnya ....” jawab Zubaidah tidak karuan karena panik anaknya hilang.

“Pa, apa mungkin Juriah kabur, karena tidak mau dijodohkan dengan Farid?” tanya Zubaidah agak-agak takut, khawatir suaminya tersinggung lalu murka.

“Tidak mau bagaimana? Kalau tidak dengan Farid dia mau menikah dengan siapa? Dengan penjual ikan itu?” todong Gani dengan suara sedikit tinggi. “Tunggulah di rumah, biar kucari kemana perginya anak itu?” titahnya kepada Zubaidah.

Gani bergegas melangkah keluar rumah, satu unit mobil dengan harga 500 juta terparkir di halaman rumahnya yang cukup luas. Seorang pria berusia enam puluhan tahun berlari kecil menuju mobil, begitu melihat Gani.

“Berangkat sekarang, Pak?” tanya pria tua itu.

“Mang, apa Mamang melihat Juriah pergi?” tanya Gani kepada pria tua yang dipanggilnya dengan sebutan mamang.

Si mamang tampak mengangguk, “Tadi pagi Neng Juriah minta diantarkan ke terminal bus antar kota, Pak.” Lapornya.

“Terminal bus antar kota?” gumam Gani.

“Iya Pak,” jawab mamang seraya mengangguk.

“Jam berapa perginya?” tanya Gani lagi, seraya dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan.

“Sekira pukul sepuluh tadi, Pak.”

“Cepat susul Juriah sekarang!” seru Gani, dia membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi, si mamang terpaku melihat tempatnya diambil Gani.

“Mang ayo!. Tunjukkan terminal mana tadi Mamang mengantarkan Juriah?” sentak Gani tidak sabaran sementara mesin mobil telah dinyalakannya.

Tanpa menunggu perintah kedua, si mamang pun naik ke mobil dan duduk di sebelah majikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status