Aku kok ikut kesal, ya?
“Aku tidak ingin ada yang mengganggu saat kita seperti ini,” bisik Mas Ammar sambil mempererat rangkulan di pundak ini. Kebiasaan kami saat bersantai di rumah. Daniel sudah masuk kamar, dan kami menonton televisi di ruang tengah.Kalau sudah dia mendekatkan diri, biasanya jemarinya tidak mau diam. Keasyikanku menonton terusik dengan tangannya yang menyelusup di pakaian ini. Kalau sudah seperti itu, menandakan dia menuntut lebih.Alasan ini yang digunakan dia dulu untuk memindahkan Diana dari rumah ini.“Ada temanku yang membutuhkan orang yang bersih-bersih rumah. Diana kan bisa? Dari pada dia tinggal di sini. Aku tidak nyaman kalau saat malam ada orang lain selain kita.”Ucapannya begitu masuk akal. Aku menyetujuinya dan menyerahkan urusan ini kepadanya. Toh, tempat tujuan Diana bekerja adalah teman Mas Ammar. Sejak itu, aku tidak menemui perempuan itu lagi.“Nyonya. Beberapa pakaian sudah saya siapkan,” ucap Bik Yanti sambil menyeret satu koper besar. Aku menyuruhnya untuk menyiapkan
Tidak tersisa rasa untuknya sekarang. Semua luruh tidak berbekas. Pertama dia menghianatiku, kemudian merampas harta, dan sekarang mencoba menganiaya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan dengan lelaki yang sudah tega mengangkat tangannya.Suara Daniel yang berteriak menyelamatkan aku. Anak lelakiku itu langsung menarik diri ini untuk menjauh dari Mas Ammar. Dia menjadikan tubuhnya tameng untukku. Menghalangi Mas Ammar yang masih terlihat marah.Tubuh ini gemetar. Bukan karena takut, tetapi kaget karena tidak menyangka Mas Ammar segila ini.“Papa tidak malu memperlakukan Mama seperti ini?! Mama itu perempuan, Pa, yang seharusnya dilindungi. Bukan malah dipukul karena ingin menutupi kesalahan! Papa tidak malu?!”Seakan tertumpah semua amarah yang dia pendam, Daniel menatap nyalang ke Mas Ammar. Wajahnya memerah dengan bibir gemetar, sorot matanya pun menunjukkan kebencian yang sangat.Mas Ammar tertawa. Kedua tangan di pinggang menunjukkan keangkuhannya.“Hei, Aida! Lihat hasil didika
Aku menatap kertas yang masih berada di atas meja. Mata ini mengitari ke sekeliling yang terlihat lengang. Sepi dan terasa kosong. Masih teringat jelas kejadian kemarin. Rintihan Daniel memaksa Mas Ammar menyudahi pembicaraan. “Aku akan kembali lagi besok! Ingat itu!” serunya, kemudian menendang kursi. Terlihat marah karena yang dimaui tidak terlaksana. Dia pergi setelah deru mobil terdengar menjauh. Dibantu Bik Yanti, aku membantu Daniel berpindah ke dalam kamarnya. Tubuhnya deman dan sesekali mengigau. Aku memberinya obat dan mengompres dahinya. “Nyonya. Jangan pergi dulu, ya. Kasihan Mas Daniel,” ucap Bik Yanti, dan aku sambut dengan anggukan. Ditemani dialah, aku semalaman menjaga Daniel. * [Deman Daniel sudah turun?] pesan dari Dokter Burhan. Dari kemarin dia menyatakan rasa bersalah karena membiarkan Daniel pulang. Apalagi setelah mengetahui anakku itu deman. Hampir setiap jam dia mengirim pesan memastikan keadaan Daniel. [Daniel baikan. Sekarang sudah seperti biasa. Teri
“Papa tetap sayang kepada Daniel. Sekarang ini dia masih marah saja. Sabar, ya?” Pelan, tangan ini terulur untuk meraih tangannya. Namun dia beringsut. Memiringkan badan menghadap jendela.“Bukan, Ma! Kalau dia tidak bohong, kenapa dia mempunyai anak lain? Apa tidak cukup dengan adanya aku saja?!” ucapnya kemudian menangkup wajahnya.Anak lelakiku ini memang sudah beranjak remaja. Keadaan seperti ini terasa menggoncang dan dia merasa dikhianati. Mungkin karena dia anak tunggal yang terbiasa semua perhatian tertuju kepadanya.“Terus, Daniel sekarang inginnya apa? Mama akan menuruti asal kamu bahagia. Walaupun harus kembali ke rumah itu lagi. Mama akan lakukan demi__”“Tidak!” sahut anak lelakiku dengan cepat. Dia menoleh dan menggelengkan kepala.“Terus apa yang harus Mama lakukan supaya putraku ini kembali gembira seperti dulu?” Aku mengusap lengannya. Memberikan tatapan berharap supaya dia mengerti.Dia menghela napas. “Hapus …. Hapus semua ingatan Daniel yang berhubungan dengan Papa
‘Apa sekarang aku di dunia lain?’ Kicauan burung saling bersautan yang loncat di sela-sela pohon perdu dengan bunga menyembul sana-sini. Burung yang tidak pernah aku dapati. Mereka berwarna-warni dengan kilap indah seiring kepak sayap yang ramping. Sungguh, ini terlihat indah. Dengan bertelanjang kaki, aku menyusuri rumput hijau tebal. Anehnya, di setiap langkah ini seperti diikuti bunga-bunga bermekaran. Tidak hanya mengenyangkan mata, penciumanku pun dipuaskan dengan harum yang membuatku merasa nyaman. Tidak ada kesakitan, apalagi sakit hati. Bibir ini hanya menampilkan senyuman dan seakan kehilangan kosa kata ‘sedih apalagi perih’. Namun, kenapa ada yang kurang lengkap? Seakan separoh diri ini ada yang tertinggal. Tapi apa? Daniel! Iya, anakku. Seketika dunia indah yang baru saja aku nikmati, luruh seketika. Aku seperti terhisap pada dunia yang mengerikan. Keindahan tadi tidak berbekas, bahkan rumputpun tertinggal dengan keadaan terbakar. Aku di tengah-tengah asap mengepul d
Tubuh ini luruh. Kedua kakiku tidak mampu menopang. Aku seperti seorang yang kehilangan jiwa setelah melihat keadaan Daniel dari balik kaca.Lagi, Daniel dirawat secara intensive. Keadaan sekarang lebih menyedihkan. Aku semakin tergugu, air mata terburai tidak mampu menghapus menghapus luka. Bibirku gemetar menatap kedua tangan ini.“Aida! Tenang.”“Bagaimana saya bisa tenang, Dok. Kedua tangan ini … yang menyebabkan Daniel celaka. Sa-saya yang menyebabkan semua ini. Harusnya saya yang ada di ruangan itu, bukan Daniel.” Tidak mampu untuk menolak saat dia merengkuhku, dan memapah ke bangku tunggu. Kembali aku menangkup wajah ini. Tidak terbayang Daniel seperti ini. Tidak hanya belum sadar, tetapi kaki kanannya di perban dengan penyangga.“Apakah anak saya akan selamat? Kalau tidak, lebih baik saya bu__”“Stop, Aida! Stop!” seru dokter yang bernama Burhan ini sambil mengguncang lenganku. Mata ini hanya menatapnya nanar. Hatiku sibuk meruntuki diri ini yang menyebabkan kecelakaan ini.
Gegas, langkah ini menuju ruangan. Menerobos masuk dan dipersilakan oleh perawat yang mengangguk hormat ke laki-laki yang mensejajariku. Rasa lega melihat Daniel sudah membuka mata. Sekaligus hati ini tergores melihat kaki dan tangannya dibalut perban. Ingin menyentuhnya, tapi kawatir bagian mana yang tidak membuatnya sakit. Aku hanya berani mendekatkan wajah. “Daniel, Sayang. Maafkan Mama.” Air mata tidak bisa kutahan lagi, tumpah melihat anakku yang menjadi korban keegoisanku. Mata anak lelakiku terlihat sayu. Sedikit bibirnya menunjukkan senyuman, dan matanya tertutup kembali. “Dok! Daniel.” Kekawatiran seketika menyeruak. Kepala ini menoleh ke arahnya menuntut penjelasan. Dokter Burhan mendekat. “Dia masih dalam pengaruh obat bius. Biarkan dia istirahat. Sekarusnya kamu kembali ke kamar inap kamu. Kamu harus__” “Tidak, Dok,” sahutku memotong ucapannya. Aku mengambil kursi dan duduk tidak jauh dari kepala Daniel. “Saya di sini menunggui anak saya sampai dia siuman.” Dia meng
Dokter itu menatapku kemudian mengangguk sekilas. Sepertinya dia mengerti tatapanku yang memohon pertolongan.“Bapak dan Ibu sebaiknya keluar. Pasien membutuhkan istirahat, dan itu adalah tanggung jawab rumah rumah sakit,” ucapnya sambil menengadahkan tangan menunjuk ke arah pintu yang terbuka.Bukannya menurut, Mas Ammar justru dengan pongahnya melawan. “Dokter mengusir saya? Saya ini ayah dari pasien, dan yang akan menanggung pengobatan dia.”“Maaf, Pak. Kalau tidak segera mengikuti ucapan saya, akan ada satpam yang akan menunjukkan jalan keluar,” ucap Dokter Burhan dengan sikap tenang, seakan tidak peduli dengan yang dikatakan lawan bicara.Seperti merasa tidak terima, Mas Ammar menunjuk wajah Dokter Burhan. “Kalau kamu mengusir saya, kamu harus tanggung jawab karena tidak sopan kepada orang yang memberi uang ke rumah sakit ini. Bisa-bisa kamu dipecat!”Suaranya keras, seakan tidak peduli dengan keadaan Daniel sekarang. Pintu terkuak lebar kemudian. Beberapa petugas medis datang ya