Aku kok kesel, ya?
Dokter itu menatapku kemudian mengangguk sekilas. Sepertinya dia mengerti tatapanku yang memohon pertolongan.“Bapak dan Ibu sebaiknya keluar. Pasien membutuhkan istirahat, dan itu adalah tanggung jawab rumah rumah sakit,” ucapnya sambil menengadahkan tangan menunjuk ke arah pintu yang terbuka.Bukannya menurut, Mas Ammar justru dengan pongahnya melawan. “Dokter mengusir saya? Saya ini ayah dari pasien, dan yang akan menanggung pengobatan dia.”“Maaf, Pak. Kalau tidak segera mengikuti ucapan saya, akan ada satpam yang akan menunjukkan jalan keluar,” ucap Dokter Burhan dengan sikap tenang, seakan tidak peduli dengan yang dikatakan lawan bicara.Seperti merasa tidak terima, Mas Ammar menunjuk wajah Dokter Burhan. “Kalau kamu mengusir saya, kamu harus tanggung jawab karena tidak sopan kepada orang yang memberi uang ke rumah sakit ini. Bisa-bisa kamu dipecat!”Suaranya keras, seakan tidak peduli dengan keadaan Daniel sekarang. Pintu terkuak lebar kemudian. Beberapa petugas medis datang ya
Ada yang bilang, cobaan yang datangnya bertubi-tubi karena kita adalah orang terpilih. Terpilih karena kuat dibandingkan yang lain. Katanya, ini karena ujian tidak melebihi dari kapasitas kita. Tapi bagiku, lebih baik menjadi wanita yang biasa dan tetap memiliki suami tanpa mendapatkan cobaan dengan penghianatan. Ini sungguh menyakitkan. Tidak hanya penghianatan, tetapi sekaligus penipuan dan perampokan. Aku seperti dibuang kejalanan setelah dilucuti kesemuanya. Rasa percaya diri yang sempat menguatkan diriku, mulai luruh. Tagihan demi tagihan yang disodorkan oleh Laila memperjelas aku sudah tidak tersisa. Bagaimana aku bisa membayar, sedangkan beberapa proyek yang diandalkan ada pembayaran, justru dibatalkan. Entah kenapa semua datang secara beruntun. “Ai. Aku mempunyai sertifikat untuk jaminan pinjaman. Bagaimana? Rencanamu itu, aku sebenarnya kurang setuju.” “Tidak. Tidak perlu Laila. Bukankah itu sertifikat rumah orang tuamu?” “Iya, sih. Tapi tidak apa-apa kalau dipinjam. Aku
Nyeri masih terasa. Aku mengepalkan tangan untuk menahannya. Namun, kenapa telapak tangan ini merasakan lain? Bukan ruang hampa yang aku dapati, tetapi kehangatan yang berbalas.“Sudah enakkan?” Suara menyambut saat mataku terbuka. Segera aku menarik tangan ini dari genggamannya. Apa yang ada di pikiran orang lain kalau melihat ini? Bisa jadi hanya menambah masalah lain.“Sudah berapa kali aku bilang, jaga kesehatan. Sudah terjadi peradangan di lambung kamu. Seabadpun kamu dirawat di rumah sakit ini, tidak bakalan sembuh kalau pemicunya tetap kamu biarkan!” ucap Dr. Burhan setelah memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jas berwarna putih. Aku memandangnya tanpa tenaga, hanya mengerjap kan mata dan menulikan telinga.“Stres! Sudah aku jelaskan dari dulu. Kalau kamu stres, gerakan lambung akan semakin cepat dan memicu kamu kumat lagi. Kesehatan itu lebih dari segala-galanya. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa kalau sakit seperti ini. Mengerti tidak, sih?!” ucapnya dengan nada keras.
Sambil menyajikan senyuman, aku mengangguk yakin. Sejenak aku menghela napas dan melebarkan mata. Tubuh aku tegakkan, kemudian melangkahkan kaki yang meninggalkan suara ketukan dari high heel. Udara di luar rumah sakit seakan mengucapkan selamat datang. Aku merasakan angin membelai wajah dan memainkan anak-anak rambutku. Aku dan Laila berjalan beriringan. Berjalan mantap untuk memulai bangkit kembali. “Daniel bagaimana?” “Dia sudah mulai baik. Terapi untuk berlatih jalan dan aku sudah menugaskan Bik Yanti untuk menemaninya,” ucapku sambil menyelipkan helaian rambut ke telinga. Aku belum terbiasa dengan potongan rambut ini. Laila melirik sekilas sambil mengulas senyuman. “Penampilanmu terlihat fresh!” “Harus! Aku akan tunjukkan kalau orang itu tidak berhasil membuatku sedih. Dia tidak penting lagi untukku,” ucapku sambil memasang sabuk pengaman. “Kita kemana dulu?” Laila yang sudah siap di belakang kemudi menoleh ke arahku. “Ke apartemen dulu. Aku tidak mau seperti gelandangan
Sesaat aku mendapati Laila yang mengernyit. Namun, dengan cepat dia menebarkan senyuman. “Hai, Anton! Apa kabar! Masih ingat aku, kan?” seru Laila sambil mengulurkan tangan. Lelaki tambun itu menyambut dan tersenyum lebar, memunculkan lesung pipit yang menunjukkan sisa ketampanan. Tidak ada rambut panjang yang seperti diceritakan, yang aku dapati rambut pendek dengan mulai jarang. Bahkan perawakan tinggi kurus, tergantikan dengan perut yang membuncit. “Hai, Laila. Kamu sekarang terlihat lain, ya. Tidak dekil seperti dulu!” Laila tertawa. “Dulu kan aku jarang mandi.” “Pantes. Sering menguar kalau aku duduk di sebelahmu,” celetuknya sambil tertawa. Awal pertemuan yang lumayan. Aku menangkap si Anton ini mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Berbeda dengan ucapan Laila yang katanya menyebalkan. “Ini?” Anton mengarahkan tangan ke arahku. “Aida Fatma. Panggil saja Aida.” “Jadi kamu arsiteknya?” tanyanya lagi. Dan aku pun mengangguk. Dia juga memperkenalkan asistennya yang aku k
“Mas Burhan. Kamu mau aku mengadu sama Kakek?!”Wajah cantik yang sempat dihiasi senyuman indah, sekarang tidak berbekas. Tertinggal kedua alis yang bertaut dan tatapan yang mengintimidasi. Bukannya surut, lelaki di sampingku ini justru menjadi.“Boleh. Justru aku berterima kasih kepadamu. Aku tidak perlu menjelaskan kepada Kakek kalau aku sudah mempunyai pilihan sendiri.”“Mas Burhan! Kamu tidak menghormati rencana Kakek?”Lelaki ini tertawa kecil. “Itu rencana Kakek. Sedangkan yang menjalani aku, kan? Aku tinggal mengatakan kalau aku sudah mempunyai calon sendiri. Tapi, kalau kamu bersikeras membantuku … silahkan.”Aku ingin melayangkan protes. Ini sama saja melibatkan diri ke masalah keduanya. Mencari pengakit saja. Akan tetapi cengkeraman erat di lenganku menunjukkan aku harus diam.Aku menelengkan kepala ke arahnya, wajah menyebalkan yang biasa aku dapati, dia tunjukkan. Dia menarik satu sudut bibir dengan mata memicing. Tidak hanya itu, dia membungkukkan badan sedikit sambil mem
“Bagaimana? Kamu pasti setuju, kan?”Ternyata lelaki ini tidak main-main. Dia menyodorkan cek kosong untuk aku isi berapapun nominalnya. Mungkin kalau wanita lain akan bersorak dan menerimanya dengan senang hati. Tidak ada kerugiannya. Selain mendapatkan uang, juga berkesempatan bersama dengan bujangan berkualitas. Laki-laki dewasa dengan perawakan ideal dan wajah pantas dibanggakan.Itu yang dia katakan sedari tadi.Namun, itu tidak aku perlukan. Aku masih mampu mencari uang tanpa menggadaikan kisah cinta sandiwara. Bukan keahlianku untuk akting dengan menebar senyuman kepalsuan. Capek.“Silakan,” ucapnya menggodaku dengan menyodorkan pena yang sudah dia buka penutupnya.Aku tertawa kecil.Gara-gara laki-laki ini aku sekarang terseret di kantornya. Kantor yang bukan biasanya aku kunjungi. Tetap berlokasi di rumah sakit, tetapi berbeda lantai. Di ujung ruangan terdapat meja kayu tebal dan di atasnya terdapat papan nama meja berbahan kayu hitam dilapisi plat emas yang terukir nama Dr.
“Aku tidak butuh ceritamu,” ucapku menghentikan cerita yang kelihatannya masih panjang.Dokter yang merangkap menjadi direktur ini, menceritakan tentang masa lalunya. Seakan memberikan alasan kenapa masih membujang sampai sekarang. Burhan ini pernah dekat dan cinta mati dengan seorang gadis saat sama-sama sekolah di luar negeri.Percintaan beda negara yang mendapatkan penolakan keras dari keluarga besar. Namun, itu tidak menjadi masalah. Toh mereka jauh dari keluarga. Seperti pasangan lainnya, lelaki ini mengaku juga tinggal bersama dengan sang kekasih.“Kamu tidak ingin mendengar cerita lengkapnya?”“Untuk apa?” tanyaku tersenyum dan menggelengkan kepala.Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan memberikan tatapan lekat. “Supaya kamu tidak menuduhku yang tidak-tidak. Nanti kamu pikir aku bukan laki-laki normal.”Aku tertawa. “Iya, iya. Aku percaya. Seratus persen.”“Tapi melihat wajahmu, kamu masih terlihat meragukan aku,” ucapnya sambil menelengkan kepala.“Sudah-sudah. Coba aku lihat