"Setelah apa yang telah kau lakukan padaku, kau tidak akan bisa lari dariku, Elle! Kau harus menebus semuanya!"
Elle terkesiap. Sontak, ia membuka mata dan memandangi langit-langit kamar. Tubuhnya banjir dengan keringat dan degup jantungnya juga menggila.Sudah dua bulan belakangan ini, perkataan mantan kekasihnya itu terus menghantuinya dalam mimpi."Kenapa…?" lirih Elle dalam hati yang merasa kesal dengan dirinya.Sepuluh tahun telah berlalu sejak mereka menghabiskan malam yang panjang bersama.Meski didesak keadaan, Elle-lah yang memutuskan untuk pergi meninggalkan Lucas –mantan kekasihnya– pada malam perpisahan mereka.Pria itu mungkin sudah menemukan perempuan lain yang setara –sesuai dengan keinginan sang Ibu. Tidak seperti dirinya yang hanya seorang anak pembantu yang tak pernah mengenal ayah kandungnya sama sekali."Ibu…."Elle sontak tersentak mendengar suara sang anak –Ares.Bocah berusia 9 tahun itu datang menghampiri dirinya dan duduk di sisi ranjang. Elle pun terbangun dari posisinya.Bibir Elle tersenyum melihat kedatangan putranya yang wajahnya semakin lama semakin mirip dengan Lucas. Seperti pinang dibelah dua."Ada apa, Sayang?" tanya Elle dengan lembut.Namun, Ares tidak menjawab. Anak itu hanya menatapnya lemas dengan menyentuh dadanya. Setelahnya, napasnya berubah berat.Raut wajah Elle seketika berubah. Ada yang tidak beres!"Dadamu sesak?"Tidak butuh jawaban, Elle dengan cepat menyambar inhaler yang sengaja ia letakkan di atas meja nakas dan memakaikannya pada hidung Ares.Sial, tidak mempan!Dengan tergesa–tanpa mempedulikan penampilannya–Elle segera membawa Ares ke rumah sakit dengan taksi yang ia pesan secara online.Anaknya itu memiliki asma. Jika kambuh, akan parah. Satu lagi yang diturunkan Lucas pada putranya itu.“Sabar, Sayang. Kita akan segera ke rumah sakit,” ucap Elle sambil memeluknya putranya erat–berharap agar dirinya saja yang sakit saja meski dia tahu itu percuma.*****Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari apartemen mereka.Setelah tiba dan membayar ongkos, Elle segera berlari untuk menggendong putranya. Perempuan itu ingin segera sampai ke ruang dokter.Beberapa perawat yang melihat kepanikan Elle–membantu perempuan itu dan menenangkannya. Namun, Elle masih saja tetap memeluk putranya cemas.Rasa tenang baru menyusup ke hatinya begitu Ares masuk ke dalam dan diperiksa.“Dia demam tinggi. Mengingat riwayat kesehatan dan kondisi imun yang tidak stabil, sebaiknya Ares dirawat inap dalam beberapa hari untuk observasi,” terang sang dokter begitu selesai melakukan pemeriksaan.“Ba–baik, dokter. Tapi, ini tidak berbahaya, kan?” gugup Elle dengan mata penuh harap.Sang dokter pun mengangguk melihat keadaan Ibu muda yang berantakan itu.“Tenang saja, Bu. Dengan perawatan dan pengobatan yang tepat, Ares bisa kembali beraktivitas.” Sang dokter kemudian tersenyum.Elle sontak menghela napas lega.Setelah berbincang sebentar mengenai detail kesehatan sang anak, Elle segera kembali menemui Ares yang masih terlelap di atas ranjang.Ares memang sudah dipindahkan ke ruang rawat. Anaknya itu harus beristirahat segera.Dipandangnya sang anak penuh kasih.“Ares, cepat sembuh, Nak,” lirih Elle pelan–takut membangunkan sang putra. Tak lupa, ia menggenggam tangan Ares erat.Elle tidak punya siapa pun lagi di dunia ini. Ibunya meninggal tak lama–di hari Elle meninggalkan Lucas. Hanya Ares sumber kekuatannya.Jika sampai terjadi sesuatu pada anak itu, entah bagaimana hidup Elle.Air mata menetes di pipi perempuan satu anak itu. Namun, dia segera menghapusnya begitu mendengar suara pintu terbuka.Tak berselang lama, seorang perawat muda mendekati Elle."Maaf, Bu Elle. Mohon segera menuju bagian administrasi karena obat akan diberikan setelah melakukan pembayaran. Terima kasih."Mendengar penjelasan sang perawat, Elle sontak mengangguk kecil dan tersenyum.Diliriknya Ares kembali sebelum berjalan keluar–menyusul sang perawat yang sudah lebih dulu.Namun, tubuh Elle mendadak membeku begitu melihat tagihan rumah sakit.[US$12.000]Meski sudah mendapat potongan dari layanan kesehatan, Elle tidak sanggup membayar itu. Bahkan setengahnya saja, Elle tidak punya. Padahal, Ares sangat membutuhkan obat sekarang.Merasa ditatap oleh petugas administrasi, Elle lantas tersenyum pada mereka dan berjalan sedikit menjauh.Segera, ia mengeluarkan teleponnya untuk meminta bantuan satu-satunya sahabat yang dia miliki.Hanya saja, tanpa Elle sadari, di depan lobby, seorang pria dengan setelan kantor terus mengamati Elle.Wajah pria itu keruh, seolah tak percaya dengan sosok yang dilihatnya saat ini.Wanita yang selama ini dia cari dan menjadi mimpi buruk dalam hidupnya, ternyata berada tak jauh darinya."Pak Lucas? Ruangan Dokter Simon ada di sebelah sana, beliau sudah menunggu."Namun, pria yang dipanggil Lucas itu tidak menyahut. Dia hanya mengangguk singkat lalu mengangkat tangannya–memerintahkan untuk orang di depannya agar menunggu.Netra hitam Lucas terus tertuju pada perempuan di seberang sana yang sedang sibuk dengan teleponnya.Tak lama, senyum tersungging di pria tersebut–membuat beberapa orang yang melihatnya bergidik ngeri meskipun Lucas masih terlihat luar biasa tampan."Elle. Akhirnya, aku menemukanmu.""Emanuelle Carl melamar sebagai juru masak baru?”Sang asisten mengangguk cepat mendengar pertanyaan Lucas. “Saya melihat dia saat praktek memasak tadi. Dia terlihat sangat cermat dalam makanan dan bersemangat. Tampak sekali dia ingin bekerja di sini." Bibir Lucas sedikit tertarik ke atas. Ia lalu mengambil kertas lamaran milik Elle. Entahlah, sepertinya semesta mempermudah rencananya.Lucas tak perlu mencari wanita itu susah payah. Dia justru yang datang padanya.“Terima dia.”Henry sontak menatap atasannya bingung. "Tapi, ia hanya tamatan SMA dan—""Terima dia." Kali ini, Lucas mengulang sembari menatap tajam sang asisten.Henry terkesiap. Tidak biasanya Lucas, yang selalu mementingkan latar belakang orang yang akan bekerja dengannya, mengabaikan pendidikan pegawainya.“Ehem…”Deheman Lucas menyadarkan sang asisten. Segera, pria itu mengangguk hormat, menyetujui keputusan atasannya lalu menghilang dari hadapannya. Sementara itu, Lucas menampilkan smirk andalannya kembali kala mel
Bertemu dengan pria yang ia pernah cintai dan hindari, jelas membuat Elle merasa terbakar. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan sedang bersarang di hatinya, sesuatu yang dapat meledak kapan saja. Oleh sebab itu, perempuan itu pun terdiam–berusaha menormalkan degup jantung dan ekspresinya. Di sisi lain, Lucas tersenyum dalam hati. Ia senang melihat response Elle. Namun, pria itu berusaha menyembunyikannya. "Silakan masuk,." ucapnya dingin–membuat Elle melangkah mendekat ke pria itu tanpa sadar meski menunduk."Apa yang kau bawa?" "Aku memasak ayam panggang dengan sup akar teratai sebagai hidangan utama. Untuk hidangan penutup, aku menyediakan puding buah dan jus jambu yang segar," ucapnya tanpa berani melihat sang atasan.Lucas tidak menjawab. Pria itu malah memandangi Elle yang terus menyembunyikan wajahnya. Mengetahui itu, Elle semakin khawatir jika pria di hadapannya dapat mengenalinya. Ia pun lantas memutuskan untuk undur diri. "Selamat siang dan selamat menikmati, Mr. Smith
Keesokannya, Elle bekerja seperti biasa. Namun, ia mengamati sekitar–mencari celah untuk memulai misi menghindari Lucas.Ia tak akan berkeliaran di tempat lain. Lalu,hanya akan berkutat di ruang kerjanya dan dapur.“Berhasil,” gumam Elle bangga.Lalu, untuk masalah kedua….Tepat jam makan siang, Elle melihat executive chef datang. Menghela napas, Elle mulai menghampiri atasannya itu dengan ekspresi yang dibuat cemas."Ada apa, Elle?" tanya atasannya itu."Maaf, Sir. Perutku sangat sakit, aku tidak bisa mengantar makanan untuk Lucas sekarang. Apa kau bisa menyuruh orang lain saja? Aku sudah tidak sanggup. Semua makanan sudah aku letakkan di dalam troli."Pria dengan rambut pirang itu langsung mengiyakan tanpa curiga. Elle senang. Ia segera berlari menuju bilik toilet dan bersembunyi di sana. Namun, itu tak berlangsung lama kala Elle sadar sampai kapan ia bisa memakai trik ini?Sementara itu, Lucas menoleh saat pintu ruangannya terbuka. "Ini untuk makan siang, Sir."Melihat bukan
Elle kembali bekerja.Jika, biasanya jam tujuh baru sampai, kini jam enam ia harus bergelut di balik dapur.Setahunya, Lucas akan datang tepat jam tujuh pagi. Jadi, Elle harus menyelesaikan masakannya sebentar lagi. Meski tidak semangat, Elle berusaha tetap profesional. Ia ingin meletakkan makanan sebelum Lucas datang di ruangannya. Dan, berhasil! Elle kembali setelah meletakkan troli di ujung ruangan. Ia beristirahat sebentar sebelum menyiapkan makan siang.Seperti tadi, Elle kembali mendorong troli yang berisi makan siang ke ruangan Lucas.Elle menghela napas sebelum akhirnya mengetuk pintu itu.Tok Tok Tok! Namun, tidak ada jawaban. Elle lantas mendorong sedikit pintu itu–berharap Lucas tak di ruangan. Hanya saja, prediksinya salah. Wanita itu terkejut melihat Lucas di sana dan tengah bercumbu dengan seorang wanita berambut blonde. “Emm … Ahhh.” Suara desahan mereka yang menyatu entah mengapa menyayat hati Elle. Tak sengaja, tatapannya beradu dengan Lucas. Spontan, Elle b
Rupanya, memberi sedikit permainan untuk Elle tidak sesusah yang Lucas pikirkan. Namun, ia tidak akan menyia-nyiakan semua ini."Henry, bisakah kau ke ruanganku sebentar? Ada yang harus kau lakukan," perintah Lucas.Pria itu menyeringai. Malam ini ia harus mendapatkan wanita itu. Membayangkan itu, Lucas semakin tidak sabar. Ia bahkan tidak mengerjai wanita itu sama sekali pada makan siang.***"Lucas Smith," balas Lucas ketika penerima tamu menanyakan namanya. Kini, Lucas dan Elle sudah berada di sebuah restoran mewah di tengah kota New York."Meja untuk Anda sudah disiapkan di tepi jendela. Mari saya antar." Pria itu mempersilakan keduanya untuk mengikutinya menuju elevator.Dalam diam, Elle memandang kota New York dan gemerlap lampunya di kala malam. ‘Coba saja ada Ares disini, bocah itu akan takjub,’ batin Elle."Kau ingin pesan apa?"Mendengar pertanyaan Lucas, Elle menggeleng kaku. "Tidak, aku di sini hanya untuk menemanimu."Lucas meliriknya sekilas lalu berdecak. "Maksudku,
Elle perlahan membuka mata dan terkejut kala menemukan dirinya terbangun di tempat yang asing baginya. Terlebih, saat menoleh ke samping dan menemukan Lucas yang sedang tertidur tanpa atasan. Wanita itu tercekat. Mendadak, ia ingat betapa panasnya pergulatan mereka. Apalagi, miliknya kini terasa tidak nyaman dan sakit, sudah pasti ia melakukannya dengan Lucas. "Aku pasti sudah gila!" erang Elle frustasi. Melihat ke arah jam dan menemukan bahwa kini sudah pukul 4 pagi, Elle memilih segera mengemas barang-barangnya dan pergi sebelum Lucas terbangun. "Kau benar-benar bodoh, Emanuelle Carl!" desisnya seraya berjalan keluar untuk menyetopkan taksi yang lewat. Di sisi lain, Lucas terbangun begitu mendengar suara dering ponselnya. Ia berdecak sebelum mengangkatnya. "Halo?" "Kau di mana? Ini sudah jam 9 pagi." "Jam 9?" ulang Lucas terkejut. "Ya, kau lupa jika hari ini ada rapat mengenai peluncuran produk baru? Mereka semua sudah berkumpul." "Atur ulang jadwal saja, aku sedang di h
Esok paginya, Elle sepenuhnya menghindar dari Lucas. Tidak ia pedulikan pria itu yang kerap kali menelpon untuk komplain masakan atau ingin dibawakan sesuatu. Karena itu, hal remeh seperti laporan absensi pegawai–yang seharusnya bukan jobdesc Elle–diprotes pria itu.Jadi, Elle terpaksa menebalkan mukanya kala berhadapan dengan sekretaris yang selalu membuang muka saat dirinya menitipkan makanan. Buk! Setelah menutup pintu, Elle langsung melempar diri ke sofa empuk sambil meluruskan kakinya yang pegal.Wanita itu memijat dahi, berusaha mengurangi rasa sakit kepala yang diderita.Berusaha untuk menghindari atasan sambil tetap mempertahankan performa kerja bukan pekerjaan mudah. Untung saja, di rumah, Ares tidak banyak tanya mengenai kejadian semalam. Meski demikian, Elle tahu jika anaknya itu jelas menaruh curiga padanya. Drrrt!Dering telepon berbunyi memecah lamunan wanita berusia 28 tahun tersebut. Elle langsung berdiri tegak dan berjalan ke arah telepon internal kantor. "Se
Elle goyah. Tatapan tajam Lucas benar-benar menyiutkan nyalinya. Lagi, mau tak mau harus mengangguk."Baiklah."Namun, Elle segera menyesali keputusannya itu setibanya di ruangan miliknya.Wanita itu terus mondar-mandir di depan komputer yang menyala. Ia sedang memikirkan bagaimana meninggalkan Ares tanpa pengawasan. Terlebih lagi, jika asmanya sedang kambuh. "Apa yang harus kulakukan?"Elle yakin, Lucas tidak mungkin menghabiskan satu hari saja di Bangkok. Hal ini membuat Elle bertambah cemas.Seketika, Elle menyesal telah mengiyakan begitu saja. Ingin menolak lagi, sudah tidak ada waktu."Ah, Eric?!" Apapun masalahnya, Elle tetap bergantung pada Eric, sahabatnya. Toh, tidak ada lagi yang bisa membantunya.Jadi, Elle segera mengeluarkan ponselnya dan men-dial nomor Eric. Memberitahu maksud dan tujuannya."Berapa hari?" tanya pria itu langsung."Aku tidak tahu dengan pasti. Maka dari itu, aku sangat membutuhkan bantuanmu menjaga Ares. Aku tidak mungkin membawanya ikut.""Baiklah. A