Share

CARI JASADKU, BU
CARI JASADKU, BU
Penulis: ananda zhia

bab 1

CARI JASADKU, BU

"Loh, kamu kok sudah pulang, Sayang?" tanyaku saat melihat Damar yang sedang duduk di kursi bambu depan rumah. Samar-samar tercium aroma melati dan daun pandan dari tubuhnya.

Kulihat kulihat bibir Damar yang memucat dan baju Damar yang basah kuyup sementara sore menjelang Maghrib itu cuaca sedang cerah.

Aku celingukan mencari sepeda onthel anakku yang biasanya digunakannya untuk pulang pergi ke sekolah. Nihil, sepedanya tidak ada.

"Hei, kok diam saja. Sepedamu mana?"

Damar tetap terdiam dan hanya memandangiku dengan ekspresi yang sulit kulukiskan.

"Hm, ya sudah. Ayo masuk, Sayang!"

Aku membelai pipinya dan menarik tangannya pelan. Ya Tuhan, dingin sekali anak ini.

"Kenapa kamu sudah pulang, Sayang? Kamu katanya PERSAMI?" tanyaku bingung.

Segera kuambil kan handuk dan ku panaskan air di teko.

"Nggak jadi PERSAMI?" tanyaku sambil menambahkan gula dan teh celup ke dalam cangkir.

Damar hanya menganggukkan kepalanya lemah.

"Ya sudah. Kalau begitu, kamu mandi ya. Ini Ibu buatkan teh hangat. Sabar dulu. Tunggu airnya panas."

Damar tersenyum dan mendadak memelukku erat.

"Ya Allah Damar, kamu dingin sekali. Ada apa? Kamu hujan-hujanan dimana? Nanti kamu sakit lo!" seruku berusaha melepaskan pelukan bocah berumur seputar tahun itu.

Risih karena air dari bajunya membasahi dasterku.

"Bu, Damar sayang sekali sama Ibu."

Aku tersenyum tapi merasa heran. "Kamu kenapa Sayang? Ada yang sakit?" tanyaku mulai muncul firasat tidak enak.

"Damar cuma kangen sama Ibu."

"Kamu itu ada-ada saja. Kan tiap hari ketemu Ibu. Masa masih kangen. Sudah sana mandi saja!"

Aku mengelus rambutnya yang basah. Dan tak lama kemudian terdengar suara bayi menangis.

"Sayang, adikmu menangis. Kamu tuang sendiri teko air panas ke bak sendiri bisa ya? Seperti biasanya kalau menyiapkan air mandi untuk adik."

Damar mengangguk dan aku segera berlari ke kamar untuk mengASIhi anakku yang kedua.

"Hm, akhirnya tidur lagi."

Aku beranjak ke arah dapur, hendak menyiapkan makanan untuk Damar. "Damar! Kamu dimana Nak? Ayo makan dulu!" seruku sambil menyiapkan dua piring kosong dekat periuk nasi dan baskom berisi sayur bayam bening.

Hening tak ada sahutan. Aku menuju kamar mandi, ternyata sudah sepi. "Kemana sih Damar?"

Mendadak anak bungsuku menangis lebih keras. Aku segera menuju kamar dan melihat Damar sedang duduk di sebelah sang adik. Sementara Adinda, adik Damar yang masih berusia sembilan bulan menangis sekencang-kencangnya.

"Astaghfirullah, Damar! Kamu apakan adik kamu?"

Aku segera menggendong Adinda dan mengayun-ayunkannya. Namun, bukannya terdiam, Adinda justru menangis kian kencang.

"Damar, jawab pertanyaan Ibu, kamu apain adik kamu?" tanyaku mencekal baju Damar.

Damar hanya menggeleng lemah. "Damar hanya ingin melihat adik saja."

"Hm, ya sudah. Kamu makan dulu yuk. Ibu temani."

Lagi-lagi Damar hanya terdiam. "Ibu, bagaimana kalau Damar pergi sama Bapak?"

Aku mendelik dan terkejut mendengar perkataan Damar.

"Jangan bilang begitu, Sayang. Bapak kan sudah nggak ada. Kamu jangan kelewatan kalau bercanda!"

Mendadak terdengar suara ketukan di pintu. Aku menoleh ke arah Damar.

"Sayang, kamu segera ke kamar mandi dulu ya? Ibu akan menemui tamu."

Aku segera bergegas menuju ke ruang tamu dengan menggendong Adinda tanpa menunggu jawaban Damar.

"Ada apa ini?! Kenapa datang ramai-ramai ke rumah saya?" tanyaku bingung melihat beberapa warga yang datang bergerombol di depan pintu.

"Bu, sebelumnya kami ingin mengucapkan bela sungkawa."

"Bela sungkawa? Bela sungkawa kenapa? Ada apa?" tanyaku dengan wajah bingung.

"Damar ditemukan meninggal di sungai dekat pertigaan sana. Itu jenazahnya." Salah seorang dari warga yang berkerumun di depan rumahku ikut bicara.

Pandangannya mengarah pada mobil sedan warna merah hati di belakangnya.

"Apa? Tidak mungkin! Damar ada di rumah ini!" jeritku tertahan.

"Ibu tenang dulu. Ijinkan kami masuk ke dalam rumah untuk membawa jenazah Damar," ucap pak Slamet, kepala desa di sini.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkan jenazah anak yang tidak kukenal itu masuk ke dalam rumahku!" seruku dengan suara parau. Jelas saja aku tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh warga desa.

'Apa-apaan mereka! Damar pasti masih baik-baik saja. Enak saja mereka membawa mayat orang lain ke sini!' seruku dalam hati.

"Bu Sulis, saya tahu jika hal ini berat bagi ibu. Kami harap ibu tabah dan ikhlas menerima takdir ini," ucap Pak Broto, sekertaris desa.

Aku mengerutkan kening. "Lebih baik kalian pulang saja. Damarku baik-baik saja. Dia kan ikut acara PERSAMI di sekolahnya," tukasku yakin.

"Bu, biarkan kami masuk ke dalam rumah untuk mengistirahatkan jenazah anak Bu Sulis. Apa Bu Sulis tidak merasa kasihan pada jenazah anak sendiri? Dan apa Bu Sulis tidak ingin melihat wajah anak ibu terakhir kali nya?" tanya Pak Slamet lagi.

Aku menatap wajah satu per satu warga desa yang ada di hadapanku bergantian.

"Biar aku sendiri yang memeriksa jenazah di mobil itu. Kalau bukan jenazah anakku dan kalian hanya mengada-ada saja, lebih baik kalian langsung pergi dari rumah ku dan bawa kembali jenazah itu."

Wajah para warga terlihat menegang. "Bu Sulis, apa tidak sebaiknya Bu Sulis memeriksa jenazah itu di dalam rumah? Kalau memeriksa jenazah itu di luar rumah dan Bu Sulis pingsan, hal itu tentu akan menyusahkan bu Sulis sendiri," saran salah seorang warga.

Aku mendelik. "Saya yakin anak saya baik-baik saja. Karena itu saya rasa lebih baik saya yang memeriksa jenazah siapa yang ada di mobil itu."

"Baiklah kalau itu keputusan Bu Sulis, saya tidak bisa menghalanginya. Silakan ibu lihat dan ibu pastikan sendiri," sahut Pak Broto seraya menyingkir dari pintu dan memberikan jalan padaku untuk bergerak maju.

"Tunggu, Sulis."

Baru saja aku hendak melangkah kan kaki keluar dari pintu rumah, mendadak terdengar suara memanggil namaku.

Tampak mbok Darmi yang telah menjanda selama puluhan tahun menghampiri. Perempuan yang juga tetangga ku dan sudah kuanggap sebagai ibu sendiri itu mendekat dan mengulurkan tangan ke arah Adinda.

"Periksa sendiri jenazah itu. Jangan ajak Adinda. Biar aku yang menggendong Adinda," tukas Mbok Darmi tegas.

Aku mengangguk. Ucapan mbok Darmi benar. Aku melepas simpul jarik di belakang leherku lalu mengulurkan Adinda ke arah Mbok Darmi. Dia dengan sigap menerima dan menggendong anak bungsuku.

Aku lalu berjalan perlahan menuju ke arah mobil sedan yang sedang terparkir di halaman rumahku lalu dengan tangan gemetar membuka pintu belakang yang tidak terkunci.

Dadaku berdebar dengan begitu kencang saat aku melihat sesosok tubuh yang ditutup oleh jarik. Bagian yang dekat dengan ku adalah kaki jasad itu.

Dengan tangan gemetar dan mengucap basmalah berkali-kali, aku membuka jarik yang menutup kakinya perlahan.

Kaki itu tampak pucat dan dingin, tapi aku yakin itu bukan kaki Damar. Karena di betis sebelah kanan kaki anak itu terdapat tahi lalat mungil. Sedangkan Damar tidak mempunyai tahi lalat di kaki. Tapi untuk warna kulit, kuakui memang mirip. Sama-sama sawo matang.

Akhirnya dengan nafas tersengal karena debaran jantung yang kian mengencang, aku membuka jarik yang menutupi mayat itu secara keseluruhan dengan perlahan.

Degg!

Jantung ku seakan terlompat dari rongga nya dan nafasku seakan terhenti saat aku melihat seragam Pramuka yang dikenakan anak itu.

Nama dada yang dijahit di seragam itu menegaskan siapa nama tubuh kaku yang sekarang sedang ada di hadapanku.

Damar Prasetyo.

Tapi wajahnya, aku yakin itu bukan wajahnya. Wajah anak laki-laki itu berdar4h-dar4h dan penuh luka-luka seolah tergores batu-batu lincip sehingga tidak bisa dikenali.

Mendadak aku merasa pusing. Pandangan mataku kabur dan perlahan menggelap. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Aku terbangun karena aroma minyak kayu putih dan pijatan lembut di telapak kakiku. Kepalaku masih terasa sakit saat aku mencoba duduk.

"Tiduran dulu saja, Lis. Mungkin kamu masih syok. Mbok akan memijat kakimu."

Aku tidak dapat berkata-kata saat melihat wajah Mbok Darmi. Di sampingku, terlihat Adinda yang sedang tertidur lelap. Samar-samar terdengar suara mengaji dari ruang tengah rumahku yang mungil.

"Mbok. Anak itu bukan Damar," ujarku lirih tanpa ditanya. Aku tidak peduli jika setelah mengatakan hal itu mbok Darmi menganggapku tidak waras.

Mbok Darmi terdiam dan mengurut kakiku lagi.

"Mbok, jenazah yang terbaring di rumah ini, bukan lah jenazah Damar, Mbok! Aku yakin!" Aku mulai tersedu saat menyadari mbok Darmi tidak percaya padaku.

Sebenarnya aku lebih tahu penyebab tangisku bukan karena mbok Darmi tidak percaya padaku, tapi karena aku mulai ragu pada keyakinan ku sendiri bahwa anakku memang sudah meninggalkan ku untuk selama nya.

"Huhuhu, mbok! Anak itu tidak mungkin Damar! Damar tidak mungkin meninggalkanku secepat ini! Damar ... Damar bahkan sudah berjanji akan tetap bersama ku saat bapaknya meninggal empat bulan lalu!" tangisku mulai pecah dan hatiku mulai terasa sesak. Aku mulai tidak dapat mengendalikan diri dan menangis tersedu-sedu hingga Adinda mulai menggeliat gelisah di samping ku.

"Tenangkan hatimu, Sulis. Kasihan Dinda jika terbangun nanti."

Aku mengangguk dan mengusap air mata dengan punggung tangan lalu menatap ke arah mbok Darmi.

"Aku, ingin melihat jenazah anak itu, mbok. Tolong di sini temani Dinda," pintaku.

"Iya, Lis. Kamu temui para pelayat dulu. Jenazah Damar juga akan dimandikan menunggu kamu sadar. Walaupun kamu tidak siap dengan kenyataan ini, tapi kamu harus kuat menghadapi nya demi kedua anak kamu," ucap mbok Darmi. Aku mengangguk pelan.

Aku berjalan perlahan ke arah ruang tengah. Ada belasan orang yang duduk di sekeliling sosok jasad Damar. Suara mengaji perlahan berhenti saat aku datang.

Pak Slamet segera mendekatiku dan berkata, "Bu Sulis, jenazah Damar harus segera dimandikan."

Aku mengangguk. Lalu bersimpuh di dekat jasad itu. Tanganku perlahan membuka jarik coklat yang menutupi wajahnya. Dan tampak lah wajah penuh luka dan darah itu.

Sekonyong-konyong saat aku memperhatikan wajah Damar dari dekat, mendadak mata anak itu terbuka dengan warna yang seutuhnya putih. Mulutnya pun menganga lebar dan kepalanya menoleh kepadaku dengan mata mendelik!

Next?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alya Coolpad
Keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status