“Itu yang aku inginkan dari dulu. Seandainya itu bisa.”“Jadi kamu belum pernah ….”“Sama sekali dan aku iri pada mereka yang bercengkrama sambil desak-desakan di angkutan umum. Sepertinya bahagia sekali. Tidak sepertiku yang harus duduk di bangku belakang,” ucapnya sebelum mengawali cerita masa kecilnya.Sopir pribadi kepercayaan sang kakek yang menyertainya kemanapun Alex kecil pergi. Selalu diulang-ulang perintah untuk menjaga keselamatan Alex termasuk dalam pergaulan. Aku tidak mengira, sesuatu yang menurutku biasa yang bahkan menyebalkan karena naik angkot, ternyata diimpikan orang lain.Hidup itu memang sawang sinawang.“Aku tak ubahnya seperti anak TK yang kemana-mana dikuntit. Tidak boleh ini dan itu yang membahayakan,” ucap Alex kembali.“Kakek kamu bersikap seperti itu karena sayang dengan cucu satu-satunya.”Dia tertawa. “Tidak. Aku merasa Kakek melakukan itu hanya karena perlindungan pada apa yang dia miliki. Aku sekadar ahli waris yang diharuskan meneruskan apa yang dia m
“Dengar kata ibu!”“Ibu yang harus dengar ucapan Raya,” jawabku tidak mau kalah.Kami duduk di kursi meja makan. Setelah memaksa Alex untuk pergi, aku tadi segera menghampiri Ibu yang sudah bersiap dengan memasang wajah serius.Ibu menghela napas. Dia mengambil air putih dan meminumnya sampai habis. Terlihat jelas raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Sedari sampai tadi, dia langsung mendudukkan aku. Pertanyaan yang berkecamuk di kepala terjawab setelah Ibu mengeluarkan majalah bisnis yang terdapat artikel tentang Alex.Ibu mempermasalahkan tentang rentang usia di antara kami.“Ibu yang berpengalaman.”“Raya yang menjalani.”Kali ini aku harus memperjuangkan kebahagiaanku. Oke lah kalau itu menurut pendapat orang lain tidak layak atau di luar dari pemikiran orang umum, tapi ini aku tidak mau menggantungkan kebahagiaan pada pendapat orang, kan?Melihat sikap Ibu, ini pertanda kurang baik. Tidak biasanya wanita yang melahirkan aku ini memaksakan kehendak tanpa menerima alasan. Wajah tanp
“Bapakmu itu laki-laki hebat, Nduk. Dengan keterbatasannya, sampai titik penghabisan dia berusaha. Itu yang dari dulu mengukuhkan Ibu untuk berada di sampingnya. Kalau hati sudah terikat, wanita akan membalikkan apa yang diberikan laki-laki.”Ibu tersenyum setelah menyusut sisa air mata. Pandangannya terlempar jauh seakan mengingat masa-masa indah dulu.“Sikap wanita itu seperti cermin perlakukan pasangannya. Ketulusan bapakmu, menghapus rasa tidak nyaman yang sering mencuat di keseharian. Rasa jengkel, kesal, dan keinginan menuntut lebih supaya bapakmu menjadi suami yang dewasa, luruh saat dia menunjukkan ketulusan. Hati Ibu sudah terikat, Nduk. Mengerti?”“Iya, Bu.”“Sering hati Ibu ingin menyudahi tapi kaki ini enggan beranjak. Makanya, Ibu tidak ingin kamu akan mengalami ini saat bersama Alex.”“Alex secara finansial mapan, Bu. Bahkan sangat mapan.”“Nduk. Ibu tidak mempermasalahkan materi. Uang itu bisa dicari. Kebahagiaan itu bukan karena uang.”Aku mengambil majalah dan membuka
‘Biang keroknya pasti ini. Dan, tidak akan kubiarkan mereka menyerangku melalui tangan Ibu,’ bisikku dalam hati sambil mengangguk. Niatku sudah bulat saat Tomo minta persetujuan ulang tentang tuntutan yang akan dilayangkan kepada Arman atas penganiayaan.“Ingat. Tidak ada kesepakatan ataupun keringanan!” seruku memastikan lagi.Betapa tidak panas, aku membaca rentetan pesan laporan yang dikirim anaknya yang memberi majalah. Dia mengorek keterangan dan menyimpulkan kalau ini suruhan Pak Sanjaya untuk menunjukkan umur diriku.“Bapak saya disuruh membahas artikel yang menyatakan anak muda yang berhasil di negara ini. Disuruh membahas kenapa orang seumur segitu kok bisa sukses. Tapi tolong, Bapak saya tidak tahu apa-apa. Dia hanya disuruh Pak Sanjaya.” Pesan yang diucapkan orang itu.Memang dia mata-mata yang dipasang Tomo di sana. Orang itu pun tidak tahu kalau orang yang di artikel itulah yang memperkerjakan Tomo dan kawan-kawan.Bisa dipastikan, rentang usia yang menyebabkan masalah p
Bella Laurent, perempuan yang bertahan lama berteman denganku. Kami bertemu saat kuliah di MIT USA--Massachusetts Institute of Technology. Berasal dari negara yang sama dan kebetulan bertemu di beberapa projek membuat kami sering bersama.Bisa dikatakan aku dan dia satu spesies--penyuka ilmu pengetahuan dengan segala keunikan yang dianggap aneh oleh orang lain. Tak jarang kami saling berkeluh kesah, termasuk keruwetan percintaan.“Shit! I hate it! Dia dekat denganku hanya ingin ciuman!” seru Bella yang masih aku ingat benar. Tiba-tiba di menyelonong ke kamar asrama dan mengomel tentang pacar barunya.“Ya wajarlah.”“Wajar bagaimana? Kamu tahu kan, mulut itu rumah bagi ratusan mikroorganisme. Dan air liur itu media untuk bakteri, bahkan virus. Kalau dia menulariku bagaimana, hah?!”“Kok aku yang dimarahi?” ucapku sambil tertawa.“Iya, lah. Kamu menganggahku!”Kali ini aku melihatnya lucu, walaupun yang dikatakan seratus persen benar. Namun, masak kalau akan berciuman harus dites di lab
‘Ternyata Ibu benar.”Firasat seorang ibu terhadap pendamping anaknya itu patut didengar. Walaupun belum tentu benar seratus persen, tapi ini tidak ada salahnya kalau diperiksa kembali. Karena terkadang intuisi seorang ibu itu tajam terlebih naluri proteksionis terhadap anak gadisnya. Ibu juga lah yang mempunyai cinta kasih tanpa pamrih. Semua demi kebaikan anaknya.Seperti sekarang ini, aku yang berkutat dengan masalah dan berusaha memperjuangkan hubungan ini, kekasih yang aku upayakan justru berkencan dengan wanita lain.“Raya. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”“Aku tidak perlu menggunakan otak atau menganalisis hal ini. Mata dan telingaku masih normal. Bagaimana dia mengatakan kalau kamu sedang menunggu dia. Dengan sabar, lagi! Sesuatu yang dilakukan orang yang jatuh cinta.”Rasa kesal sudah di ubun-ubun. Tidak rela lelakiku ini berlaku spesial dengan wanita lain. Perasaanku ini tidak salah, kan? “Raya, please. Dengar aku __”“Kamu yang harus dengar! Kamu tahu kan, kita ti
“Silakan, Bu,” ucapku dengan hati-hati.Ibunya Raya menunjukkan senyuman sedikit. Ekspresinya masih kaku. Aku harus lebih hati-hati dan tidak bisa langsung sesantai dulu.Wanita yang aku dambakan sebagai ibu mertua ini, terlihat bersikap menahan diri. Kebalikan dari pertemuan sebelumnya-dia yang begitu memerlihatkan keinginan menjadikan aku menantu. Sekarang justru memasang jarak.“Maaf. Sabuk pengamannya.”“Iya. Saya tahu. Walaupun orang kampung, dulu pernah punya mobil,” jawabnya sambil melengos. Aku tersenyum sambil menunjuk bagian mana yang harus disatukan. Perlahan mobil aku jalankan.Ungkapan-ungkapannya terlihat sengaja memantik rasa kesal. Pasti aku sedang mendapat ujian kesabaran. Tidak apalah, ini tantangan. Seperti biasa aku harus bersikap tenang dan memilah pemasalahan satu demi satu. Seperti mengurai benang kusut, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian.Sebenarnya ada dua permasalahan. Pertama, restu karena perbedaan usia yang dipermasalahkan oleh Ibu. Dan yang kedua, ke
Pelakuan Kakek Sebastian saat aku kecil yang mengatur ini dan itu, sering membuatku kesal. Mungkin orang lain melihatku mempunyai kehidupan yang enak. Sekolah diantar sopir pribadi, bahkan tas dan lainnya pun dia bawakan. Mereka tidak mengerti kalau aku layaknya burung di sangkar emas. Keseharianku terjadwal dengan ketat. Semua rencana kegiatan harus disetujui oleh Kakek, dan itu tidak ada tertulis waktu bebas.Hanya waktu untuk tidur saja lah yang aku gunakan untuk melakukan yang aku suka. Salah satunya dengan melukis.Jangan harap bisa berbuat seenaknya. Kakek Sebastian tidak hanya menaruh ayah dari Tomo sebagai informan, dia juga memasang orangnya tanpa aku tahu siapa dia. Ingatanku terlempar pada kejadian dulu, saat aku masih SMP dan nekad ke luar kota.“Apa yang bisa jelaskan ini kepada Kakek!” seru Kakek Sebastian.Beberapa lembar foto dilempar di meja di depanku. Foto-foto diriku mulai keluar dari mobil sampai masuk kembali ke dalam mobil. Sebegitunya Kakek memperlakukan aku. A