"Tara ...! Aku sudah siap. Yuk kita berangkat!" seruku sambil menyambar tas kecil di atas bufet. Tas slempang yang berisi printilan untuk jalan-jalan.Mandi kilat dan dandan tipis-tipis aja. Waktu adalah bukan uang, tapi rindu. Segitunya aku, ya.Pakaian yang aku pilih pun baju santai. Kaos oblong dan celana jeans. Rambutku yang masih belum panjang, aku pasang bando sebagai pemanis."Tapi jangan lama-lama, ya. Sebelum magrib sudah di rumah. Aku masih ada yang harus aku selesaikan," ucapku lagi.Sepatu putih bertali menjadi pilihan. Maksudku biar terlihat mudaan dikit. Kaos kaki sudah terpasang dan sekarang tinggal mengenakan sepatu.Gerakan tanganku terhenti saat sadar sedari tadi tidak ada tanggapan. Aku yang sudah membungkuk akan memakai sepatu, mendongak, mendapati Alex yang menatap ke arahku tanpa senyuman.Dia berdiri bersandar di meja makan dengan kedua tangan dimasukkan di saku celana."Kenapa?" tanyaku sambil menggerakkan dagu. Wajah yang tadinya terlihat datar, sekarang dim
“Ada masalah di kantor? Apa yang terjadi? Genting?”Aku tidak mau membuang waktu. Setelah membaca pesan dari nomor tidak bernama, aku langsung menghubungi Alex. Bukannya mendapati wajah yang terlihat mendapat masalah, dia justru menyajikan senyuman dan ekspresi santai.Layar ponsel menunjukkan dia sudah di kantor. Sekilas aku mendapati dahinya yang berkerut sesaat, mungkin karena kaget dengan pertanyaanku yang memberondong tiba-tiba ini.“Kamu kenapa, Raya Sayang? Bangun tidur karena mimpi buruk?” tanyanya balik sambil tertawa kecil.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Lega. Ternyata dia tidak terjadi apa-apa. Pasti ini ulah orang yang tidak senang melihat hubungan kami.Memang sih, orang yang sirik pasti jiwa dengkinya meronta melihat aku-wanita biasa mendapat kekasih brondong premium. Eh, avtur, ding!“Tapi benaran tidak terjadi apa-apa?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan.Tetap tidak melepas senyuman, dia menjawab, “Setiap perusahaan pasti ada masalah.”“T
Bab 86. Pasti perempuan antagonis itu. Berarti nomor telpon yang tidak tercatat dan mengirimkan pesan teror itu kemungkinan besar dia. Label yang aku sematkan tidak sengaja, justru menjadikan dia menjadi penghalang hubungan aku dan Alex.“Ada masalah, Raya?” tanya Mbak Leni. Mungkin dia menangkap ekspresiku yang berpikir keras. Tentu saja. Di kepala ini berputar menganalisis kenapa dan untuk apa perempuan itu bersikap seperti ini.Dia cantik, pintar, dan yang dikenakan menunjukkan strata sosial yang lumayan tinggi. Namun, kenapa mau dipusingkan dengan hubungan asmara orang lain?Penampilan seperti Bella Laurent itu, pasti tidak susah mencari laki-laki.“Hmm …. Tidak ada apa-apa, Mbak. Cuma ada orang yang nyari aku, katanya temen. Padahal sepertinya bukan.”“Terus? Dia berlaku jahat?” tanya Mbak Leni dengan mata membulat. Kalau hal ginian, seniorku sering pasang badan. Urusan melabrak orang, dia jagonya.“Tidak. Cuma bertanya kepada Pak Wira saja,” jawabku sambil menunjukkan senyuman.
Bab 87. Ternyata“Ayo, Raya!” seru Mbak Leni sembari menepuk bahu ini.Isi kepalaku yang masih berkutat dengan namanya Bella itu, terhenyak kaget. Sampai-sampai berkas di tanganku pun jatuh.Wanita berambut pendek ini memandang heran telapak tangannya, sembari berkata, “Eh, aku terlalu keras, ya?”Aku tertawa kecil.“Tidak, Mbak. Cuma aku kelamaan di rumah, jadi masih oleng kerja di depan komputer,” jawabku asal.“Makanya, kita ke kantin. Kali ini aku traktir, deh. Siomay sambal tiga sendok dan es the jumbo. Yuk!”Aku pasrah digelandang ke kantin. Teman kerjaku ini walaupun kecil, tapi kemauannya besar. Sebesar kekuatannya menyeretku. Semakin menyerah, ketika Jaka pun bergabung. Mereka saling bersautan menceritakan kisahnya sendiri. Tentang Mbak Leni yang mulai serius dengan kekasih terbarunya, dan Jaka yang nembak cewek tapi ditolak.“Kamu setiap bertemu cewek bening dikit langsung ditembak. Ya, kemungkinan besar ditolak, lah,” seru Mbak Leni.“Terus harus bagaimana?” Jaka garuk-garu
Mbak Leni terdiam sebentar. Kemudian merebut tak sabar berkas di tanganku. Sesaat dia membaca dan membolak-balik, dan berakhir menatapku seakan tidak percaya.“Kenapa orang seperti dia mau ke tempat ini? Dia lo bisa beli buku tanpa meminjam,” ucapnya sambil mengetuk-ketuk telunjuk ke pipinya. Dahinya berkerut dan bibirnya pun mengerucut. Kalau sudah seperti ini, pertanda dia berpikir keras. Tidak boleh di-interupsi.“Tapi, Yak. Ini fenomena aneh. Alur si Nona Bos itu mirip dengan Bos Alex. Jangan-jangan dia ada yang ditaksir di perpustakaan ini. Seperti Pak Alex yang dulu mengejarmu. Iya, kan?”Matanya melebar seakan menemukan fakta yang tidak terpikir siapapun. Kemudian senyum yang sempat terbit tergantikan dengan kening berkerut kembali.“Tapi siapa laki-laki yang dia kejar? Masak iya kalau itu Jaka? Laki-laki yang agak bening di sini kan cuma dia?” celetuknya sambil tertawa kecil.Dalam hati aku pun tersenyum dengan hasil pemikirannya. Aku biarkan saja asumsinya mengalir. Kalau aku
Tak sadar, tangan ini gemetaran seiring dengan bunyi ponsel yang tak kunjung berhenti. Inginku segera mengangkat telpon dan memaki si Bella itu. Namun, apakah ini bisa berujung pada selesainya masalah? Membantu Alex keluar dari masalah, atau justru akan membenamkannya?“Mbak Leni. Ini gimana?”Aku menatapnya dengan isi kepala kosong. Aku tidak ada ide apalagi strategi menghadapinya. Seandainya aku angkat, bisa jadi aku seperti prajurit terjun ke laga perang tanpa senjata apapun. Ini sama saja bun*h diri.Wanita berambut pendek ini menggeleng. Keningnya yang berkerut menunjukkan dia ikut memikirkan masalah ini.Untung saja bunyi telpon akhirnya berhenti. Aku menghela napas disertai menepuk dada yang masih berdegup kencang.“Tidak apa-apa. Orang wajar lah tidak angkat telpon. Apalagi kita kan kerja. Iya, kan?”“Iya, sih. Kecuali orang pengangguran yang kerjaannya menatap layar ponsel. Kita kan super sibuk dan tidak sempat mengurusi hal ginian,” seruku mencoba menghibur diri.Telunjuk
Tubuh ini seketika panas dingin. Aku seperti masuk perangkap dengan suka rela.Bodohnya aku. Kenapa tidak berpikir jauh? Baru saja mendapat ancaman tapi mau dijemput orang yang tidak dikenal.Akan tetapi aku juga tidak sepenuhnya salah. Aku tidak pernah mengira seorang Nayaka Raya ada yang rela menculik. Aku kan orang biasa.Atau …. Ini karena aku tidak pernah berburuk sangka. Semua tidak mungkin berbuat jahat, sampai-sampai melakukan penjemputan dengan mobil mewah seperti ini.Entah. Aku ini termasuk golongan naif atau bodoh.“Silakan, Bu Raya. Kita sudah sampai,” ucap lelaki berjas yang menjemputku.Dia membukakan pintu, dan berakhir dengan tubuh sedikit membungkuk. Dahiku mengernyit. Untuk kategori penculik, lelaki ini tidak ada seram-seramnya. Bahkan terlihat santun. Penampilannya pun bersih, jauh dari sosok menakutkan seperti di film-film itu. Wajar kan, kalau aku tidak sadar kalau ini penculikan.Tidak ada bentak-bentakan, apalagi seret-seretan sampai ancaman dengan senjata.Hm
Wajahnya memang cantik. Artis papan atas pun kalah. Penampilannya juga menunjukkan kelasnya. Semua yang menempel pada tubuhnya seakan menunjukkan dia bukan orang biasa. Akan tetapi, semua itu terasa hampar karena ekspresi yang tidak bersahabat. Apalagi sekarang ini. Kedua alis matanya bertaut bersamaan dengan dahi yang berkerut dalam. Sorot mata nyalang menunjukkan bara yang sudah membakar. Aku berhasil! Namun, sudut hatiku di sebelah sana merasa begidik. Memang aku bisa membuatnya tidak mengontrol emosi, tapi … apalah ini tidak membahayakan aku? Bibir berpulas warna merah itu tersenyum miring. Mungkin karena melihatku mulai goyah. Seandainya diumpamakan, aku seperti anak ayam sedangkan dia serigala yang sedang mengasah taring siap memangsa. “Sudah sadar? Kamu menghadapi siapa?” Aku menatapnya sesaat. Ingin rasanya menguliti perempuan ini. Rasanya ingin segera aku lepas aktingku yang pura-pura bodoh dan kembali menjadi diriku sendiri. Namun aku harus bersabar sedikit sebelum lang