"Jangan terlalu sentimentil lah, nggak suka aku atmosfer kayak gini. Naik sana, tidur. Aku juga masih ada urusan," kata Ben beranjak dari kursinya, ia tidak mau terjebak situasi yang akan semakin melemahkan hati dan jiwanya. Akhir-akhir ini, Ann benar-benar sukses meracuninya hingga hampir tak berdaya setelah sekian lama hatinya membeku karena Eriska. "Tangan kamu kudu diobatin dulu Mas," tahan Ann teringat pada telapak tangan Ben. "Kening kamu aja, ayok!" ajak Ben berjalan lebih dulu, ia berlalu dan naik ke tangga menuju kamar Ann. Ann menurut saja saat Ben mendahuluinya naik ke lantai dua. Ia buka pintu kamarnya dan Ben cukup takjub saat mendapati isi di dalam kamar sudah tertata rapi dan wangi. Sebelumnya, kamar yang ditempati oleh Ann ini adalah kamar milik Danisha, bungsu dari keluarga besar Yohan Takahashi. Kini, Danisha menetap di Jepang sana, ikut bersama sang kakek mengelola bisnis kuliner dan penginapan yang juga adalah warisan keluarga. "Kamu emangnya nggak puny
Pasca ciuman mendebarkan itu, Ben tidak pulang ke rumah dan tidak bertemu dengan Ann tiga hari lamanya. Ann bersyukur karena itu, setidaknya ia bisa menata hatinya. Ben memang dingin, asal-asalan, tapi Ann tidak bisa mengingkari bahwa ciuman malam itu membuat hatinya cukup berantakan. "Ann, ditunggu di ruang transit dua ya, ada yang pengin ngobrol," kata Choky, perwakilan agensi yang bertindak sebagai perwakilan Ann dan Tiara, anak baru yang direkrut belum lama ini juga. "Siapa Kak?" tanya Ann menoleh bingung. Apa Ben? Mengapa perlu melalui Choky lebih dulu jika ingin bertemu? "Nanti juga lo tau. Temuin sekarang ya, beliau nggak punya banyak waktu," tukas Choky seraya berlalu. Ann menghela napas panjang. Tadi pagi, ia baru saja menyelesaikan empat kelas kuliah yang melelahkan. Sore harinya, ia harus tampil di Queen's Diary dan standby untuk 4 jenis pakaian dalam berbeda. Kini, setelah tak melihat Ben di antara para member eksklusif sepanjang acara, apa ia harus menemui Ben
"Kita pulang beneran Mas?" tanya Ann memberanikan diri. "Rino tadi mana?" tanya Ben balik, ia menoleh ke belakang tanpa melihat Ann. "Itu!" kata Ann menunjuk ke arah lobi. Dari sana terlihat Arino setengah berlari membawakan tas milik Ann. "Cuma ini kan?" tanya Arino terengah. "Iya, makasih Bang," ucap Ann tersenyum, sorot matanya jelas bertanya-tanya sekarang. "Lo urus sama Choky masalah ini, Rin," kata Ben setelah menghela napas panjang. "Tuntut mereka kalau bisa," tegasnya. "Siap!" jawab Arino sigap. "Nyetir sendiri?" tanyanya. "Hem," desis Ben mengangguk lemah. Tak ada obrolan lagi hingga mobil datang dan Ery turun dari kursi kemudi. Arino dengan sigap membukakan pintu penumpang di depan untuk Ann, ia hanya memberi kode dengan menggerakkan kepalanya. Mood Big Ben sedang tidak baik, jadi, semua orang memilih untuk tidak banyak bicara. Suasana di dalam mobil saat perjalanan juga hening. Ben sama sekali tak bicara, begitupun Ann yang takut untuk mengajak mengobrol. S
Ben sengaja meletakkan pisau dapur yang tengah dipegangnya saat Ann datang menyusul. Gadis ini bahkan tidak mengenakan dress-nya lagi, hanya menutupi rapat tubuhnya dengan jas kepunyaan Ben. Ia duduk di kursi meja makan, enggan menatap lelaki yang kini tengah menyorotnya tajam. "Kenapa?" gumam Ann pura-pura sibuk menata sendok di tempatnya. "Kenapa nggak pake baju?" tanya Ben lantas sibuk meracik masakannya lagi. "Nanti kamu nggak puas liatnya. Makanya sengaja nggak aku pake dulu. Biar kamu makan pake lauknya ngeliat aku," sindir Ann menohok. "Terserahmu," balas Ben sekenanya, tak ingin terlibat perdebatan yang bisa menyulut emosinya lagi. "Ada apa sama Patra? Kenapa kamu marah banget pas tau aku berurusan sama dia?" tanya Ann selalu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Dia musuh bisnis," balas Ben. "Musuh bisnis? Semua orang yang jadi member bukannya musuh bisnis juga? Kenapa kamu galak banget sama dia? Kalian ada masalah serius dan bukan cuma soal kontrakku kan
Ann mendesah lemah mendengar jawaban Ben yang mengecewakan itu. Sebenarnya, ia tahu, Ben menyembunyikan banyak hal darinya. Lelaki ini sangat misterius, dingin, tapi hangat di dalam, perhatian dan mudah iba pada perempuan. Ben membungkus dirinya dalam sikap seperti kutub utara agar tak ada yang mendekat dan terlalu ikut campur dalam urusannya. "Minggu depan boleh aku pulang ke Semarang tiga hari? Kebetulan ada libur di show dan aku nggak ada jadwal laen. Aku pengin jenguk seseorang," kata Ann mengganti topik. "Tiga hari terlalu lama," balas Ben. "Tiga hari buat setahun kemudian aku udah nggak akan pulang ke Semarang lagi, Mas," desak Ann setengah memohon. Sesekali ia suap mie hangat buatan Ben yang rasanya sangat nikmat. "Dua hari, nggak lebih," kata Ben tak terbantahkan. "Oke," jawab Ann lemah. "Mas, kamu kursus masak ya? Bisaan banget masak yang seger-seger gini," pujinya. "Buat bisa bertahan di duniaku, kamu harus bisa apa aja, kamu kudu bisa ngandalin diri kamu sendiri,
Ben segera mengantar Ann ke Semarang menggunakan helikopter malam itu juga. Mengingat Ann yang sudah linglung dan tak bisa diajak bicara fokus dan rasional, Ben memutuskan untuk tetap mendampinginya. Mereka dikawal oleh dua orang bodyguard dan juga Arino yang bertugas untuk mengurus semua keperluan mendadak mereka selama di Semarang. Ketika rombongan tiba di kediaman sederhana yang ditinggali Ann sejak masa kanak-kanak, tetangga dan beberapa saudara jauh sudah berkumpul. Ann jelas langsung menjadi pusat perhatian, apalagi ia datang dikawal oleh beberapa lelaki tak dikenal yang penampilannya cukup mewah dan mencengangkan. "Aku baru mau pulang minggu depan Mbah, kenapa Mbah nggak nunggu aku," isak Ann memeluk tubuh kaku neneknya yang sudah dimandikan dan dikafani. Ben dan pengawalnya beserta Arino tampak duduk di antara para tetangga yang masih berkumpul. Meski merasa asing dengan sekitarnya, Ben berusaha menyesuaikan diri. Ia mengambil rokoknya, menawari beberapa bapak-bapak di
"Sejak aku mutusin buat berangkat ke Jakarta dulu, aku udah dicap kayak gitu karena aku kerja paruh waktu dan pulang selalu tengah malam. Ironis ya? Padahal aku jadi pelayan di rumah makan," cerita Ann. "Aku nggak mau Mbah terlalu lama denger gosip kayak gitu, makanya aku mutusin buat pergi jauh ke Jakarta. Dua hari lalu, aku dikabarin kalau Mbah masuk rumah sakit, darah tingginya kambuh. Kata Budhe, semua uang yang kukirim buat Mbah belakangan ini nggak dipake apa-apa sama Mbah, padahal aku minta dipake buat kesehatan dan buat menuhin semua keperluannya Mbah di sini. Aku ngerasa bersalah banget, Mbah yang ngerawat aku dari kecil, nyukupin semua kebutuhanku dengan jualan bunga buat ziarah ke makam," ujarnya terisak lagi, semakin keras. Melihat kondisi Ann, Ben mematikan bara rokoknya. Tidak banyak yang bisa ia katakan untuk menghibur Ann karena ia memang tidak pandai berkata-kata. Love language seorang Big Ben adalah act of service, jadi, ia memilih untuk membawa Ann ke dalam cer
Selepas pemakaman, Ben sengaja memilih untuk meninggalkan Ann dan pergi ke hotel lebih dulu. Ann masih harus mengurus masalah uang santunan dan lain-lain bersama keluarga besar, jadi Ben tidak ingin terlalu ikut campur dengan hal-hal semacam itu. Ia meminta Sony, salah satu bodyguard untuk menunggu dan menjaga Ann. "Mas Ben nggak bilang apa-apa lagi Bang?" tanya Ann saat ia mengantar makan malam untuk Sony. "Nggak ada Mbak, cuma disuruh nunggu dan nemenin sampe keperluan Mbak selesai," ucap Sony apa adanya. Ben memang hanya memberinya perintah untuk menjaga dan mengawal Ann, menyiapkan keperluan sang nona jika membutuhkan sesuatu. "Ya udah, nanti kalau acara ngaji sama urusan yang lain-lain udah selesai, anter gue ke hotelnya ya Bang," ujar Ann tersenyum simpul. "Siap Mbak," ujar Sony sigap. Ann kembali masuk ke dalam rumah, menemui Budhe Narti, kakak tertua ibundanya. Mereka sedang memberesi sisa-sisa snack untuk pengajian, termasuk menanyakan langkah Ann selanjutnya akan