Share

Bab 0016

Tak lama, Yara tiba di kantor lantai paling atas Perusahaan Lastana.

Segera setelah membuka pintu, kedua matanya bertemu pandang dengan mata Yudha.

Ini pertama kalinya mereka bertemu setelah malam itu. Suasana seketika berubah canggung.

Yudha terlebih dahulu membuang muka dan lanjut memeriksa dokumen di atas mejanya.

"Sebebas itukah jam kerja di Baruy?"

Yara tertegun sejenak sebelum menyadari bahwa Yudha bertanya mengapa dia tidak pergi bekerja.

"Terjadi sesuatu. Mungkin aku nggak bisa kerja di sana lagi."

Pria itu terkekeh, seolah sudah menduganya.

Dia mengangkat kepala, mata sipitnya menatap Yara tanpa perasaan apa-apa.

"Kamu menyesal bercerai tanpa mendapat uang sedikit pun?"

Jadi wanita ini datang ke sini karena berubah pikiran tentang perjanjian perceraiannya.

"Nggak."

Yara sungguh tidak suka dengan sikap Yudha.

Jika dia benar-benar menginginkan uang, untuk apa dia bekerja sebagai pembantu cuma-cuma selama setahun?

"Yudha, kamu harus tahu, aku nggak pernah dapat apa-apa dari menikah denganmu selama satu tahun."

"Oh ya?" Tatapan Yudha jadi kelihatan meledek. "Kalau ibumu?"

Yara tidak bisa berkata apa-apa.

Dia tahu Silvia telah mendapat banyak uang dari keluarga Lastana selama satu tahun ini, tetapi uang itu tidak ada sangkut-paut dengan dirinya.

Hanya saja, mereka tetap ibu dan anak. Dia tidak bisa bebas mengatakannya.

Dia hanya bisa berkata, "Berapa? Berapa yang pernah diminta ibuku? Akan aku kembalikan nanti."

"Kamu kembalikan?" Yudha merasa semakin konyol. "Paling nggak 20 miliar. Mau kamu kembalikan pakai apa?"

Dua puluh miliar?

Yara begitu terkejut sampai hatinya bergetar.

Dia mengira paling tidak beberapa miliar.

Satu hal yang bisa dia katakan adalah Yudha sangat murah hati. Meski pria itu tidak mencintainya, dia tetap memberi ibunya puluhan miliar.

Silvia bisa menerima 20 miliar dalam satu tahun, lalu mengapa wanita itu ingin Yudha menceraikannya?

Mungkinkah jika Yudha menikah dengan Melanie, Silvia akan mendapat lebih banyak uang?

Mungkinkah?

Dari wajahnya, Yudha dapat melihat apa yang dia pikirkan. "Kalau nggak percaya, minta Revan keluarkan bukti-bukti transfernya."

"Aku percaya." Yara tahu Yudha tidak akan repot-repot membuat kebohongan seperti itu.

"Jadi kapan mau dikembalikan?"

Yudha sekali lagi berhenti dan menatapnya.

Yara merasa kepalanya pening. "Secepatnya."

Yudha tertawa dingin. Dia tahu Yara tidak mungkin mampu mengembalikan semua itu.

Sembari menundukkan kepalanya, dia segera mengatakan sesuatu lagi.

"Sudah minum obat?"

"Obat apa yang harus aku minum?" Yara tidak mengerti.

Tangan Yudha berhenti saat menandatangani sebuah dokumen. Kepalanya masih tertunduk. "Aku tanya sekali lagi. Setelah malam itu, kamu sudah minum obat?"

Malam itu?

Yara pun tersadar. Yang dibicarakan Yudha adalah apakah dia sudah minum pil kontrasepsi setelah mereka bersetubuh malam itu.

Benar juga. Mereka akan bercerai, apa jadinya kalau dia hamil?

Sayangnya, pikiran Yudha terlalu berlebihan.

"Tuan Muda Lastana, kamu nggak perlu khawatir. Aku sudah minum obatnya."

Tangan Yudha yang sedang memegang pena tanpa sadar menegang dan menggenggam semakin erat.

"Kamu sadar diri juga. Aku ingatkan sekali lagi, kalau kamu berani bermain-main denganku, walaupun kamu beneran hamil, aku nggak akan mengakuinya sebagai anakku."

Yara sudah mengerti betul bahwa Yudha tidak mencintainya. Namun, kata-kata yang dia dengar ini tetap membuatnya sangat sedih sampai dia hampir tidak bisa membendungnya.

Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata datar, "Jangan khawatir. Aku juga nggak mau membawa-bawa anak setelah bercerai."

"Bum!" Yudha membanting pena yang dia pegang ke atas meja.

Yara terperanjat, menatap Yudha tanpa kata-kata.

Lalu dia menatap Yudha mengambil telepon dari atas meja dan berkata dengan suara tidak senang, "Beri tahu semua orang, segera pergi ke ruang konferensi untuk rapat sekarang juga. Proposal macam apa ini, sia-sia saja perusahaan membayar kalian.

Ternyata masalah pekerjaan.

Yara merasa agak kagum padanya.

Yara berpikir, Yudha bukannya terlalu sibuk untuk mengurus perceraian, lebih-lebih tidak ingin bercerai. Hanya saja, masalah perceraian ini terlalu tidak penting baginya.

Pernikahan ini tidak pernah ada dalam pikirannya.

Tak lama, Revan memasuki ruangan dan mengingatkan dengan hati-hati, "Pak, semua orang sudah menunggu di ruang konferensi."

Yudha bangkit berdiri dan pergi tanpa menoleh ke belakang.

Yara ingin pergi mengejar, tetapi Revan menghentikannya.

"Nyonya, mohon tunggu di sini sebentar. Kalau ada urusan sesuatu, tunggu sampai rapatnya selesai."

Yara pun hanya bisa menyerah.

Siang harinya, Revan sendiri mengantarkan makanan untuknya.

"Nyonya, saya belum tahu selera Anda, jadi saya langsung pesankan. Coba diperiksa dulu, saya bisa minta pesankan yang lain kalau memang kurang suka."

"Nggak usah." Yara bertanya dengan agak gugup, "Rapatnya belum selesai juga?"

Revan menggeleng. "Sepertinya masih agak lama."

"Makan siangnya?"

Revan tersenyum pahit. "Tahan lapar. Kalau Pak Direktur belum memberi perintah, siapa yang berani bilang?"

Dia tidak berani berlama-lama lagi. "Nyonya, silakan nikmati makan siangnya. Nanti akan ada yang datang membereskan setelah selesai. Saya harus cepat-cepat ke ruangan lagi."

Yara menghabiskan makan siangnya dan menunggu kembali sampai beberapa jam.

Sepanjang waktu, dia berulang kali pergi ke depan pintu ruang konferensi. Dilihat ke dalam, memang masih sibuk.

Wajah Yudha tampak sangat kesal, seakan semua orang berbuat salah padanya.

Semua orang di dalam ruangan tidak berani berkutik.

Melihat sore hari yang hampir beranjak gelap, kantor catatan sipil pasti sudah lama tutup. Yara hanya bisa menyerah.

Saat berjalan keluar melewati pintu, tiba-tiba dia terpikir sesuatu.

Sesampainya di depan meja, dia mengeluarkan sebungkus cokelat dari tasnya dan meletakkannya di sana sebelum pergi.

Saat Yudha kembali ke ruang kantornya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Melihat cokelat di meja, dia ragu-ragu sebentar, kemudian mengambilnya dan memakannya.

Awalnya terasa pahit dan dia mengerutkan kening. Lalu saat cokelatnya perlahan meleleh, mulutnya dipenuhi rasa cokelat yang lezat dan kaya.

Yudha berjalan ke depan dinding kaca dan berdiri diam beberapa saat. Dia mengirim sebuah pesan kepada Yara.

"Rabu depan jam 8:30, aku tunggu kamu di depan kantor catatan sipil."

Pada saat ini, Yara baru saja mencurahkan kekesalannya tentang kejadian hari ini pada Siska.

Mereka berdua sedang duduk bersandar di sofa sambil memegang bantal dalam dekapan masing-masing.

"Gimana ceritanya si Judy tahu kamu kerja di Baruy?"

Siska merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Xilla pernah menjebak dia sebelumnya. Kini Judy datang membuat keributan. Mereka jelas-jelas punya tujuan yang sama, yaitu membuat Yara dipecat.

"Mungkin cuma kebetulan?"

Yara sendiri tidak yakin dengan ucapannya itu. Sungguh terlalu sering kalau ingin dikatakan sebagai kebetulan.

Kecurigaan dalam hatinya berkembang semakin kuat.

"Jadi, kamu harus apa?"

"Kita tunggu saja kabarnya dari Anita. Walaupun aku tahu itu pasti bukan kabar baik."

"Kamu nggak mau melawan?"

Yara terdiam.

Satu-satunya hal yang mungkin membuat Anita berubah pikiran adalah dengan membuktikan kemampuannya.

Dia sangat membutuhkan pekerjaan ini.

"Siska, aku buat beberapa desain lagi saja dalam beberapa hari ke depan, lalu kukirimkan ke Anita Senin besok."

"Oke." Siska setuju.

Meskipun Yara telah menghadapi segala macam ketidakadilan, rumput liar masih kalah bandel dibandingkan dia.

Siska percaya suatu hari nanti, Yara akan menjadi bunga yang mekar, memukau semua orang.

Sebelum tidur, Yara membuka ponselnya.

Hidungnya terasa nyeri, lalu air mata berjatuhan.

"Rara, kamu kenapa?"

Yara memeluk Siska dan berkata, "Nggak apa-apa."

Siska melihat apa yang ada di ponselnya.

Lalu dia menepuk punggung Yara dengan lembut.

"Rara, jangan terlalu sedih. Kamu juga tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Mungkin dengan begini justru bisa membebaskanmu. Kamu sudah terlalu lelah ...."

"Mencintai Yudha selama ini sungguh terlalu melelahkan bagimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status