"Siapa? Ada apa?"Silvia terbangun ketakutan, seakan separuh jiwanya hilang.Dia berteriak pada Yara. "Kamu gila apa lagi hah?"Yara tampak acuh tak acuh dan wajahnya sedikit kelam. "Apa kamu nggak ingin menjelaskan?""Menjelaskan apa?"Silvia membuang muka dengan rasa bersalah."Kamu minum terlalu banyak tadi malam dan terus mengatakan kamu tidak ingin bercerai. Aku mengirimmu ke atas untuk beristirahat, tapi aku tidak menyangka kamu akan melakukan sesuatu yang bodoh."Retorikanya hampir sama seperti sebelumnya.Namun, pada saat itu, dia sedang sangat sedih dan pergi minum bersama teman-teman sekelasnya ... Sedangkan kali ini, dia dalam keadaan sadar dan diculik ke rumah keluarga Lubis."Aku minum cuma sedikit tadi malam."Yara menatap dingin kepada Silvia. "Aku jelas-jelas ingat, kamu dan dua orang prialah yang membuatku pingsan.""Ngomong apa kamu ini?" Silvia berteriak lagi. "Pikiranmu pasti masih belum sadar sepenuhnya."Silvia tidak mau berhenti menyangkal. Yara pun malas bicara
Zaina terdiam di tempat dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka Yara mempunyai golongan darah panda."Kak Zaina?" Silvia berjalan perlahan-lahan membawa makanan seperti baru saja keluar membeli makan. "Kenapa kamu di sini?"Zaina segera melangkah maju dan menarik Silvia. "Dokter, ini ibu pasien. Golongan darah mereka pasti sama, 'kan? Pakai darah darinya."Sebelum dokter sempat bicara, Silvia menolak."Mana bisa?"Dokter dan Zaina menoleh terkejut pada saat yang bersamaan."Maksudku, aku sedang kurang sehat dan minum banyak obat akhir-akhir ini. Aku takut ada yang salah kalau pakai darah dariku."Zaina tampak agak malu.Dokter bertanya langsung. "Golongan darah Ibu B dengan RH negatif?""Bukan." Silvia menggeleng."Itu golongan darah saya," kata Zaina tiba-tiba dari sebelahnya. "Pakai darah saya.""Jangan!" Tanpa diduga, Melanie juga datang mencarinya.Dia melangkah maju dan meraih lengan Zaina. "Bu, mana bisa pakai darahmu. Kamu lupa bagaimana kesehatanmu akhir-akhir ini?""Melly
Yara tertegun sejenak, dan reaksi pertamanya adalah tidak percaya."Di rumah sakit ada bank darah, 'kan? Kenapa perlu ambil darah darimu?""Kamu punya golongan darah panda? Ngerti nggak golongan darah panda?"Silvia diam-diam sangat bangga. Melly memang pintar."Aku tahu." Yara merasa canggung dan bertanya setelah hening beberapa saat, "Ngomong-ngomong, aku kayaknya lihat Bibi Zaina sebelum aku pingsan.""Tentu saja dia sudah pulang lagi. Dia juga sedang sakit. Dia sudah ditemani Melanie, nggak usah ganggu dia."Silvia memperingatkan."Aku tahu." Yara tidak menaruh curiga sama sekali.Keduanya terdiam beberapa saat hingga polisi datang."Siapa yang menelepon polisi?""Saya." Yara melirik Silvia dari sudut matanya."Pak Polisi, mungkin ada salah paham di sini. Kami nggak mungkin menelepon polisi."Silvia berdiri dan meminta maaf.Polisi itu mengerutkan kening. "Apa yang terjadi? Siapa Anda?""Saya ibunya." Silvia menunjuk Yara di ranjang rumah sakit. "Emosinya sedang nggak stabil ...""
Kenapa tidak biarkan dia mati?Dia benar-benar lelah, berbaring dan melihat ke luar jendela.Tanpa disadarinya, cuaca telah sedikit berubah menuju musim penghujan.Karena Kota Selayu dekat pesisir, suhu di musim hujan tetap masih panas. Hanya anginnya saja yang jadi lumayan kencang. Suara siulan angin lamat-lamat terdengar saat suasana benar-benar sunyi."Apa kamu nggak capek mengulang lagi tipuan yang sama?"Yudha akhirnya angkat bicara. Tersirat kemarahan yang terpendam dalam nada suaranya.Tipuan yang sama?Yara tidak begitu mengerti dan menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu?""Yara, kenapa kamu selalu menganggap seolah semua orang itu bodoh?"Dua tahun lalu, saat mereka putus, Yara juga menyayat pergelangan tangannya.Itulah pertama kali Yudha melihat darah yang begitu banyak. Sejak itu juga, dia jadi benci melihat darah.Seandainya dia tidak mendengar perkataan Silvia dan mengetahui bahwa Yara sengaja menambahkan darah palsu untuk menakutinya, dia sudah akan setuju mereka tidak jadi p
"Hentikan pikiran macam-macammu itu."Yudha melirik ke arah pintu kamar perawatan dan memutuskan untuk pergi."Aku datang ke sini cuma untuk memutus harapan Yara, agar dia menyerah sepenuhnya.""Benarkah?" Tangis Melanie begitu hebat. Dia menatap Yudha dengan mata memelas.Yudha mengangguk dan melepaskan Melanie dari pelukannya. "Ya sudah, aku pulang dulu.""Oke." Melanie menyaksikan Yudha pergi dan kembali ke kamar perawatan.Dengan suara pintu terbuka, Yara segera membuka matanya.Melihat orang yang masuk adalah Melanie, cahaya terakhir di matanya meredup.Dia berbalik dan melihat ke luar jendela, tidak ingin memedulikan Melanie."Rara, kenapa kamu bodoh sekali?" Melanie duduk di tempat tidur.Yara tidak berkata apa-apa."Kamu sudah seperti ini, kenapa nggak nyerah saja buat pamerannya?"Melanie bicara lagi."Kenapa?" Yara berbalik dan memelototinya. "Draf desainnya sudah aku kumpulkan, kenapa aku harus menyerah?"Melanie mendecakkan lidahnya dua kali. "Aku cuma kasihan yang lain. Ma
Dia hilang kabar selama dua hari. Sudah pasti mereka panik.Yara mula-mula membalas pesan Safira dan Siska, baru menelepon Anita."Rara, aku dengar kamu menyayat pergelangan tanganmu?" Dari nada bicaranya, Anita benar-benar tidak percaya.Yara yang dia kenal tidak seperti itu.Yara tertawa pahit. "Kak Anita, kalau kubilang aku hampir dibunuh, kamu percaya?""Yara, kamu nggak boleh bercanda yang aneh-aneh. Apa yang terjadi?"Jelas sekali Anita sangat khawatir. "Kamu di mana? Aku pergi ke sana sekarang."Satu jam kemudian, mereka bertemu di kedai kopi. Yara menceritakan seluruh kejadiannya secara detail kepada Anita.Anita terdiam lama sebelum mengucapkan dua kata, "Luar biasa.""Melanie sudah gila!" Dia tidak dapat menahan umpatan yang mendongkol dalam hatinya, lalu menatap pergelangan tangan Yara dengan hati pedih. "Rara, aku kenal dokter bedah saraf. Kubantu buatkan janji dengannya untukmu."Yara sangat terharu. "Kak Anita, terima kasih banyak.""Jangan sungkan-sungkan." Anita menyala
Melanie memandang Zaina tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Zaina ragu sejenak sebelum berkata, "Melly, menurutmu, mungkinkah Rara bukan anak pamanmu?"Benar saja, Zaina memang curiga."Mana mungkin?" Wajah Melanie kelihatan tercengang. "Bu, jangan mengada-ada. Paman dan Bibi Silvia memang orang-orang yang nggak bisa diandalkan. Ditambah Rara selalu membuat masalah. Nggak heran mereka memperlakukannya dengan buruk.""Kamu nggak akan ngerti sampai kamu jadi ibu nanti." Zaina menghela napas pelan. "Separah-parahnya anak melakukan kesalahan, ibunya pasti hanya ingin membantu dia menyelesaikan masalah itu.""Tapi ..." Jeda sejenak, dia menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang terlalu memikirkannya. Aku dan Silvia melahirkan di hari yang sama, mana mungkin Rara bukan anak Silvia?"Jantung Melanie berdebar kencang dan dia menghela napas lega saat melihat Zaina hanya berhenti sampai di sana.Urusan antara dia dan Yara harus segera diakhiri. Jika tidak, pasti akan menimbulkan masalah baru ya
"Orang sepertiku?"Yara bangkit berdiri."Di matamu, Yudha, aku orang yang menyayat pergelangan tanganku sendiri dan menghancurkan masa depan cerahku hanya demi mempertahankanmu. Jadi aku nggak pantas membicarakan masa depan, benar begitu?""Kamu nggak bisa mempertahankan aku!" Yudha menyilangkan kaki panjangnya. "Satu-satunya yang bisa kamu pertahankan cuma uang 200 miliar itu.""Tanda tangan sekarang!" Dia sudah kehilangan kesabaran. "Nggak ada untungnya kita berlama-lama menarik ulur masalah ini.""Aku nggak ingin uang!"Yara menyeka air matanya dengan kasar.Yudha mencubit alisnya menahan rasa pusing. "Yara, sudah cukup!""Dua tahun lalu," ucap Yara, memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. "Aku cuma ingin kamu memberitahuku tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi. Ada apa dua tahun lalu?"Yudha benar-benar tercengang kali ini.Dia tidak menyangka Yara bisa menyebutkan dua tahun lalu berulang kali tanpa malu-malu.Apalagi dengan tatapan mata seolah dia tidak tahu apa-apa.