Menunggu sampai semua orang pergi, dia merendahkan suaranya dan bertanya, "Apa sebenarnya maksudmu?""Maksudku apa?" Tanto terlihat tidak sabar."Kamu nggak pernah menghubungi Siska akhir-akhir ini. Apa maksudmu?" Yara semakin marah pada Tanto."Bukankah ini yang kalian inginkan?" Tanto mencibir, "Kenapa? Menyesal?"Yara menggertakkan giginya. "Kalau begitu, ambil kontraknya dan hancurkan di depan kita.""Untuk apa?" Tanto menepis tangan Yara dan pergi turun terlebih dahulu.Yara mengikuti dengan langkah marah. Ketika meninggalkan ruangan, dia melihat Liana menunggu di lantai pertama, menatapnya dengan mata dingin.Setelah Tanto turun, mereka pergi bersama.Yara semakin merasa suram. Dia ingin menghilangkan pikiran itu dari benaknya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.Saat makan malam, suasana cukup harmonis.Yudha duduk bersama Melanie, Tanto duduk bersama Liana, dan Yara duduk bersama Felix.Sepanjang waktu, mata Yara sering menyasar ke arah Tanto dan Liana.Ini harusnya kesempat
Sementara itu, Melanie mengirim pesan kepada Zaina dalam perjalanan kembali ke rumah sakit."Yudha sebentar lagi naik ke atas. Kalian desaklah dia untuk segera menikah."Tidak ada jalan lain. Reaksi Agnes malam ini terlalu meresahkan. Urusan antara dirinya dan Yudha tidak bisa ditunda lagi."Yudha." Melanie menunduk dan bersuara pelan. "Aku nggak nyangka Rara datang ke makan malam keluarga hari ini.""Itu ide Kakak." Sama seperti Agnes, dia juga menyalahkan Felix.Melanie tersenyum pahit. "Kadang-kadang aku iri sama Rara. Entah itu Kakek, Kak Felix, atau Paman, mereka semua suka dia. Nggak seperti aku, aku bodoh dan nggak bisa apa-apa."Yudha tidak berkata apa-apa."Yudha." Melanie berkata lagi. "Kamu nggak akan membenciku, 'kan? Aku juga ingin menyenangkan mereka, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya."Akulah yang ingin menikah denganmu, jadi dirimu sendiri saja." Sambil berbicara, Yudha memarkir mobilnya di basement rumah sakit. "Keluarlah, sudah sampai.""Yudha, ayo ikut aku." Mela
"Kalau begitu, kapan kamu mau menceraikan Yara?" Santo bertanya langsung.Sejak dia kembali, dia selalu mendengar Melanie mengeluh bahwa Yara tidak mau melepaskan Yudha dan mereka belum kunjung bercerai.Namun Santo merasa bahwa Yudha lebih bersalah soal ini. Siapa Yara? Punya latar belakang dan kemampuan apa dia? Jika Yudha bertekad untuk menceraikan Yara, mana mungkin Yara bisa menahannya?Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan ini pada putrinya yang bodoh.Mata ketiga orang itu seketika terfokus pada wajah Yudha, menunggu dia menjelaskan."Harusnya sudah selesai beberapa hari yang lalu," kata Yudha jujur. "Tapi Yara tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya tertunda ...""Alasan!" Santo mendengus tidak puas.Zaina menarik Santo lagi dan bertanya penuh perhatian, "Rara sakit? Dia kenapa?"Setelah bertanya, dia merasakan tatapan tajam Melanie."Katanya gastroenteritis akut. Harus dirawat beberapa hari.""Kenapa malah kamu pedulikan dia?" Santo terlihat tidak senang. "Anak itu jelas-jelas seda
Keesokan paginya, ketika Yara pergi ke ruang tamu dan melihat ponselnya, dia pun melihat Zaina telah meneleponnya beberapa kali dan mengirim banyak pesan.Mau bagaimana lagi. Sejak Siska mengetahui kehamilannya, dia tidak mengizinkannya bermain ponsel sebelum tidur. Jadi dia hanya meletakkan ponselnya di ruang tamu dan mematikannya.Sejak dia mengetahui hubungannya dengan Zaina waktu itu tetapi tidak bisa memberitahukannya, dia tidak pernah berani menghubungi Zaina.Jadi, dia cepat-cepat membuka pesan itu."Rara, katanya kamu sakit gastroenteritis akut? Sudah baikan belum?""Rara, kamu harus selalu jaga kesehatan. Makannya bubur dulu biar perutmu cepat pulih.""Rara, Bibi dan Paman mohon maaf. Tapi Melly anak kami, kami nggak punya pilihan."Setelah melihat pesan terakhir, hidung Yara terasa sakit dan air matanya langsung jatuh.Betapa dia ingin memberitahu Zaina bahwa dia adalah putrinya, betapa dia ingin berbagi kabar baik tentang kehamilannya dengan Zaina.Dalam situasi saat ini, ji
Mereka duduk dan memesan, lalu mulai makan tak lama kemudian.Namun, yang tidak disangka Yara, mereka bertemu Liana dan Melanie di restoran tersebut.Ketika mata Liana dan Siska saling berhadapan, mereka menunjukkan rasa terkejut yang sangat jelas."Rara, Siska, kebetulan sekali!" Melanie menyapa mereka terlebih dahulu. "Tante baru pulang dari luar negeri, jadi aku ingin mengajaknya makan di tempat yang enak. Kebetulan sekali kalian juga di sini."Yara melirik Siska. Gadis itu menundukkan kepalanya, entah sedang memikirkan apa.Dia berdiri sambil berpegangan pada meja dan berkata dengan suara datar, "Tante, kebetulan sekali."Liana mengangguk, seolah tidak ingin berkata apa-apa, dan terus menatap Siska."Tante, ayo masuk." Melanie mencoba meraih lengan Liana. Tak disangka, Liana menghindarinya.Dia menggerakkan bibirnya canggung. "Pergi saja.""Aku nggak terlalu nafsu makan hari ini. Kita pergi lain kali saja," kata Liana dingin, lalu dia menatap Siska. "Aku sudah janji mau lihat-lihat
Yara yang duduk diam sejak tadi, mengambil kopi di depannya dan menyiramkan isinya ke depan."Yara! Ahh ..." Melanie langsung menggila. Dia berdiri dan hendak menerkam. "Aku belum selesai denganmu!"Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Yara, Siska menjambak rambutnya."Kamu haus perhatian ya?" Siska menggertakkan giginya. "Segitu hausnya sampai ngemis-ngemis di depanku? Dasar anjing bodoh yang melompat ke jurang. Cari mati sendiri.""Aahh ... lepaskan aku! Memang kamu kekasih gelap Tanto, masih berani sok suci?" teriak Melanie untuk melawan.Siska menjambak semakin kuat. Saat mendengar Melanie menjerit kesakitan, dia merasa lebih lega."Melanie, aku kadang takjub betapa nggak tahu malunya kamu. Jelas-jelas aku masih kalah. Merebut orang tua Rara seenaknya? Orang tuamu sendiri sudah mati?"Melanie terbungkam karena teguran itu. Ketika dia sadar diri bahwa dirinya bukan tandingan Siska, Melanie segera menoleh ke arah Yara."Yara, suruh Siska melepaskanku, atau Zaina yang akan merasa
"Gelas ketiga ini, untukku sendiri. Tanto bajingan itu benar-benar mau tunangan. Sebagai perayaan, akhirnya aku keluar dari laut kesengsaraan dan nggak harus jadi pelampiasan lagi."Suaranya tercekat saat mengucapkan beberapa kata terakhir.Satu gelas minuman turun melewati kerongkongan Siska lagi."Siska." Yara meraih tangan Siska yang hendak menuang minuman lagi. "Sudah minumnya, kamu makan dulu.""Nggak apa-apa, kamu tahu 'kan aku biasanya kuat minum berapa banyak?" Siska melepaskan diri dari tangan Yara. "Segini saja bukan apa-apa.""Siska!" Yara menyatukan kedua tangannya, "Menangis saja kalau ingin menangis. Perasaanmu pasti lebih lega setelah menangis.""Kenapa aku harus menangis?" Siska tersenyum dengan mata merah dan bergumam pada dirinya sendiri, "Aku sangat bahagia. Aku belum pernah sebahagia ini seumur hidupku.""Siska ..." Yara tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya jatuh satu per satu."Yara bodoh." Siska mendengus dan mengulurkan tangan untuk menyeka air mata Yara. "K
"Oke, oke." Yara tahu sifat Siska.Kalau tidak bertemu Tanto dan mencurahkan kemarahannya, Siska pasti akan memendamnya seumur hidup."Biar aku yang minta ketemu, terus nanti aku juga ikut." Yara mencari ponselnya dan hendak mengirim pesan kepada Tanto."Aku bisa pergi sendiri." Setelah menangis, suasana hati Siska menjadi lebih stabil, tetapi yang jelas dia masih sangat rapuh dan berbeda dari biasanya.Yang luluh terlebih dahulu, dialah yang kalah. Seperti Siska sekarang."Aku harus ikut," kata Yara tegas, lalu dia mengirimkan pesan."Tanto, bisa bertemu besok? Jam 9, di restoran yang waktu itu."Mereka berdua menunggu beberapa saat, tetapi tidak kunjung mendapat balasan dari Tanto.Yara dengan ragu-ragu bertanya, "Kirim satu pesan lagi?""Nggak usah." Siska menggeleng. "Kalau dia nggak mau ketemu, seratus pesan pun nggak ada gunanya. Biarkan saja."Dia melirik jam di dinding dan berkata, "Sekarang sudah malam, kamu harus istirahat.""Beres-beres ini dulu." Yara bangkit berdiri."Aku