Siska dan Felix saling berpandangan."Jangan khawatir, aku nggak akan membangunkannya." Nada bicara Santo bahkan terdengar seperti memohon.Siska pun tersadar bahwa Santo yang ada di hadapannya saat ini persis seperti seorang ayah tua yang baru saja kehilangan kekasih hidupnya, dan yang sedang sakit di dalam adalah putrinya.Sekalipun Santo tidak tahu yang sebenarnya, Siska tidak punya hak untuk melarang mereka bertemu."Oke, Paman, kamu masuk saja. Kami menunggu di luar, panggil saja kami kalau butuh sesuatu."Santo mengangguk dan membuka pintu.Saat mendekat, dia melihat sudut-sudut mata anak itu memang agak basah. Bahkan ada sedikit noda air mata di bantal.Dengan hati yang berdebar-debar tanpa sebab, Santo mengeluarkan sapu tangan persegi panjang miliknya dan menyeka mata Yara dengan lembut.Di luar kamar, Siska dan Felix menyaksikan semua ini. Mata mereka sama-sama memerah.Keduanya kembali ke kursi dan duduk."Hubungan darah memang ajaib. Paman Santo dan Bibi Zaina sejak dulu say
"Ya." Yara menundukkan kepalanya lagi, matanya kembali memerah.Dia baru saja bermimpi ..."Mimpi apa?" Dia tidak menyangka Santo akan bertanya.Yara mengangkat kepalanya dan menatapnya heran. Setiap kali mereka bertemu sebelumnya, Santo pasti selalu marah-marah. Dia mengira mereka akan selalu seperti itu.Alih-alih menjawab pertanyaan Santo, dia justru bertanya dengan hati-hati, "Paman, bagaimana kabar Bibi?"Dia mengamati ekspresi Santo dengan seksama.Santo tiba-tiba tertawa pelan. "Kamu tadi memimpikan bibimu, ya?"Yara menggigit bibir bawahnya keras-keras, tidak berani mengingat mimpi itu."Dasar anak bodoh, mimpi itu biasanya kebalikan." Santo mengalihkan pandangannya dan menggeleng. "Bibimu baik-baik saja.""Benarkah?" Yara sangat gembira.Santo mengangguk pelan. "Dia sudah membaca semua pesan dan telepon darimu, tapi dia masih lemah. Karena terlalu khawatir, jadi dia memintaku datang kemari dan memberitahumu secara langsung.""Benarkah?" Yara merasa sulit memercayainya."Tentu
"Paman!" Hati Yara terasa sesak.Namun, dia hanyalah seorang ibu tunggal yang akan bercerai. Mengungkap hubungannya dengan Santo tidak akan berdampak baik bagi bisnis keluarga Lubis.Sebaliknya, Melanie, sebagai calon istri kepala keluarga Lastana, lebih bermanfaat bagi keluarga Lubis dan Santo.Yara mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tersenyum. "Semuanya sudah berlalu. Kita semua akan baik-baik saja mulai sekarang.""Ya, semuanya baik-baik saja." Santo menghela napas lega.Dalam hatinya, dia tahu bahwa sikapnya ini sangat egois. Namun, sebagai orang tua, mana mungkin dia menghindar dari keegoisan? Dia tidak punya pilihan lain.Setelah Santo pergi, Siska dan Felix bergegas masuk untuk memeriksa keadaan Yara."Bagaimana? Sudah dibalas?" tanya Siska ragu-ragu."Iya." Yara tersenyum. "Aku lega Bibi Zaina baik-baik saja."Keduanya saling berpandangan dan menghela napas lega di saat yang bersamaan."Aku capek, mau tidur sebentar." Yara menoleh ke arah Felix. "Kak Felix, aku ingin makan a
Dia juga hampir salah bicara, Melanie bilang itu adalah keinginan terakhir Zaina.Dia mengulangi, "Melanie bilang itu adalah keinginan Bibi Zaina. Katanya, dia nggak ingin hambatan bagi kebahagiaan mereka."Tangan Yara tersembunyi di balik selimut, kukunya tertancap kuat di telapak tangannya.Dia merasa sangat benci. Melanie sangat egois.Wanita kejam ini benar-benar tidak mempertimbangkan perasaan Santo sama sekali, atau tatapan orang-orang di sekitarnya. dia hanya memikirkan tujuannya sendiri.Jika Santo tidak datang hari ini dan mengatakannya, Yara merasa dia akan pergi dan merusak pernikahannya."Nggak apa-apa, prioritaskan yang lebih penting." Yara tersenyum pada Felix."Rara ...." Felix masih ingin berkata, tentu saja Yara lebih penting baginya."Beneran, Kak, urus pernikahannya dulu." Yara bersikeras. "Masalah ini sudah terlalu lama berlarut-larut, menyiksa semua orang.""Baiklah." Felix mengangguk setuju.Malam harinya, Siska tetap tinggal untuk menemani Yara."Siska." Yara ber
"Siska?" Sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba terdengar.Yara dan Siska menoleh bersamaan, dan melihat ternyata itu Tanto.Tanto mengenakan tuksedo yang dirancang dengan sangat baik, membuatnya terlihat anggun sekaligus santai.Dia melirik penuh arti ke arah Yara, lalu kembali menatap Siska. "Bisa bicara sebentar?""Nggak ada yang perlu dibicarakan." Siska menggandeng tangan Yara dan hendak pergi. "Rara, ayo ke sana."Tanto berjalan maju dan menghadang jalan mereka. "Yara, kamu pasti nggak ingin menarik terlalu banyak perhatian, 'kan?"Kata-kata ini jelas merupakan sebuah ancaman."Tanto, kamu nggak punya malu?" Siska menggertakkan gigi."Malu kenapa?" Tanto tampak seperti tidak akan mundur sampai mencapai tujuannya. "Siska, kamu tahu sifatku. Aku cuma mau ngobrol sebentar saja."Siska menatap Yara dengan penuh permintaan maaf."Nggak apa-apa, aku tunggu kamu di sana." Yara benar-benar tidak ingin menarik perhatian. Dia tidak ingin Yudha atau Melanie menyadari dia ada di sini."Oke,
"Gara-gara kamu, sialan ...." Tanto menggertakkan gigi dan mengucapkan beberapa kata lagi dengan cepat, "Aku nggak bisa keras.""Apa?" Siska kali ini dapat mendengarnya dengan jelas. Dia hanya ingin mendengarnya lagi."Aku nggak bisa keras!" Tanto hampir meraung.Benar-benar mencengangkan. Dia sudah berganti berbagai macam wanita untuk mencobanya, selalu tidak berhasil juga.Jika terus seperti ini, dia benar-benar mengira mungkin ada yang salah dengan organnya itu."Hahaha ...." Siska tertawa lepas. "Tanto, ini karma untukmu. Karma karena kamu mempermainkan terlalu banyak wanita, hahaha ....""Diam!" Tanto sangat marah sampai dia mendorong Siska ke pintu lagi. Tubuh bagian bawahnya juga ikut menekan wanita itu kuat-kuat.Siska tersentak dan seketika tersadar.Mau bagaimana lagi. Ini adalah satu-satunya tubuh yang pernah dia kenal. Di dalam tubuh ini, terdapat segala macam kenangan tentangnya.Siska merasakan sesuatu yang keras itu dan mendorong Tanto menjauh dengan satu tangan. "Menjau
Tanto akhirnya melepaskan Siska, untuk membuktikan bahwa dia bukan pria berkepala batu yang tidak bisa mengendalikan nafsunya.Dia merasa sedih.Karena dia saat ini benar-benar tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya.Saat diinginkan tidak datang. Saat tidak inginkan malah tidak mau pergi.Seorang playboy sejati tidak seharusnya seperti ini!Dengan perasaan murung, dia pergi ke kamar mandi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.Siska keluar dan segera pergi mencari Yara, tetapi sahabatnya itu tidak ada di mana-mana.Pada saat itu, Yara dipanggil ke ujung koridor oleh Silvia.Kini setelah masalahnya selesai, Silvia merasa akhirnya bisa berkata sesukanya di depan Yara."Mau apa kamu di sini?" Dia berkata dengan nada menghina, dengan kesombongan seorang pemenang.Yara bersandar dengan lembut ke dinding. "Menghadiri pernikahan, tentu saja.""Haha ...." Silvia tertawa menghina. "Yara, kamu benar-benar pecundang, kamu nggak pantas berada di sini."Yara mengerutkan bibirnya dan menatap wani
"Melanie, Melanie ...." Yara berkata dengan susah payah, berusaha keras untuk mengendalikan diri, tetapi tubuhnya gemetar tanpa henti.Siska semakin khawatir. "Si anjing Melanie kenapa?""Dia yang melakukannya. Dia yang membunuh ...." Yara menggigit bibirnya sebelum mengeluarkan kata, "Ibuku!"Setelah mengucapkan kata-kata ini, seluruh kekuatan dalam tubuhnya seolah-olah terkuras habis. Tubuhnya terjatuh dengan lemah.Siska buru-buru meraihnya. Sekujur tubuhnya terasa dingin dan suaranya menggigil. "Rara, kamu ... tahu?"Tubuh Yara masih terkulai dan pandangannya gelap.Pada saat ini, seluruh pikirannya diliputi penyesalan. Dia mengira bahwa Melanie akan memperlakukan Zaina dengan lebih baik dengan mengalah lagi dan lagi.Namun, dia lupa bahwa Melanie adalah orang gila yang tidak berperasaan.Melanie membunuh Zaina, dan dia, dia ikut andil di dalamnya.Dia sangat sedih, sangat sedih sampai tidak bisa menahannya."Rara? Rara?" Siska melihat tubuh Yara terkulai lemas dan benar-benar ping