"Teman Ayah sebentar lagi akan menjemput. Nanti Ayah kenalkan padanya, agar kau tak lagi khawatir.""Siapa, Yah?" tanyaku penasaran. Tak lama bunyi klakson mobil terdengar. Aku membukakan pintu pagar setelah Ayah memberitahukan bahwa itu adalah teman yang dia maksud. Aku menyalami pria yang mungkin seumuran dengan Ayah. Aku tersenyum setelah tahu bahwa dia dan Ayah dulunya bekerja di perusahaan yang sama. Mereka mungkin hanya ingin pergi sebentar untuk mengobrol dan mengahabiskan waktu karena sudah lama tidak saling bertemu. Baru kuingat, bahwa Om Dimas juga pernah hadir menjenguk Ayah di rumah sakit bersama istri dan juga anak-anaknya. Aku jadi sedikit merasa tenang karena Ayah pergi bukan dengan sembarang orang. Aku masuk ke dalam rumah yang masih terlihat rapi. Ayah benar-benar ikut membantu merawat rumah ini meski dengan keterbatasan fisik. Tak ada tanda-tanda bahwa Paman sudah pulang. Mungkin seperti beberapa hari ini, dia sengaja terlambat lagi untuk mengurangi intensitas p
Sungguhlah takdir memang sulit untuk dihindari. Entah sejak kapan, rasa itu mulai tumbuh dan berkembang tanpa disadari. Benarlah apa yang orang-orang katakan. Cinta bisa hadir dengan seiring berjalannya waktu. Dengan, atau tanpa kita sadari. Aku dan Paman terduduk di sofa, dengan tangan dan kaki yang gemetaran. Aku di ujung sini, sementara dia di ujung sana. Kami duduk bersisian sambil menatap lurus ke depan, dengan pipi bersemu merah di masing-masing wajah.Tak ada yang berani menoleh. Mencoba menstabilkan detak jantung yang dari tadi berdentum-dentum kian keras. Teringat saat adegan mengejutkan yang kami lakukan tadi. Paman menarik wajah setelah selesai melakukan aksinya. Perlahan kubuka mata yang tadi sempat terpejam. Menatap lamat-lamat seorang pria berperawakan yang nyaris seperti orang dewasa baru selesai menciumku. Sempat bertanya di dalam hati. Apakah ini bentuk amarah dan sebuah hukuman yang dia tujukan untukku. Lalu seketika, isi kepalaku mulai normal dan kembali dapat be
Suara mobil terdengar di dari halaman depan. Aku dan Paman saling menoleh dari tempat duduk masing-masing. "Ada apa dengan kalian?" Ayah dan Om Dimas sudah berada di hadapan kami. "Kalian bertengkar lagi?" tuduh Ayah. Mataku berkedip, kemudian bangkit dan menyalami Ayah juga Om Dimas. Aku seperti salah tingkah karena tuduhan Ayah. Paman juga melakukan hal yang sama. Mempersilahkan Ayah, dan tamunya untuk segera duduk. "Bikinkan minum," perintah Paman seraya menoleh ke arahku. Gegas aku menuju ke dapur tanpa menyahut. Kenapa hubungan ini terasa begitu canggung. Aku tak lagi bisa bersikap layaknya keponakan nakal seperti biasanya. Aku memanaskan air di dalam panci bertangkai membentuk seperti gayung. Lalu menuangkan ke dalam dua cangkir berisi kantongan teh dengan aroma melati. Tak lama Paman menyusul ke arahku. Debaran di dada kian bergetar. Langkahnya semakin dekat menuju ke arahku. "Wajah mu memerah," ucapnya sambil memandangku. Aku menepuk-nepuk pelan kedua pipiku. Biasanya
"Benar. Ayah lihat pakaianmu juga sudah ketinggalan jaman," Ayah ikut meledekku. Memang benar keadaannya seperti itu. Mana mungkin aku memikirkan lagi hal-hal tidak penting seperti halnya sebuah pakaian. Biaya kuliahku yang cukup menguras tabungan, sudah membuatku kewalahan dalam mengatur keuangan. Ada baiknya tubuhku tak banyak mengalami perubahan. Pakaian-pakaianku yang dulu masih bisa terpakai dan kugunakan. "Sebelum masuk tahun ajaran baru, belilah beberapa potong pakaian dan sebuah tas, ya. Ayah ingin melihat mahasiswi tingkat lima yang Ayah banggakan ini, tampak modis dan sangat cantik!" seru Ayah semakin bersemangat. "Temani Sarah Ya, Yah? Ayah sudah lebih tahu tentang gaya berbusana anak sekarang," rengekku sambil menyeka bulir bening yang tadi sempat menitik. Seketika aku kembali teringat saat dulu Ayah mengajak kami jalan-jalan ke sebuah mall. Aku dan Dara menggandeng tangan Ayah di kiri dan di kanan. Sedangkan Ibu terlihat merajuk karena tak mendapatkan tempat di sampi
"Paman, tidak apa-apa kah membiarkan Ayah larut dalam pekerjaannya seperti itu?" teriakku saat kami kembali berboncengan di atas motor. Dia tak lagi meninggalkanku seperti kemarin-kemarin. Setidaknya sampai liburan semester berakhir. Dia bahkan membiarkan tanganku melingkari pinggangnya untuk berpegangan. "Biarkan saja. Dia terlihat bersemangat," dia juga ikut berteriak. "Apa nanti tidak akan mengganggu kesehatannya?""Ayahmu tak akan kemana-mana. Dia hanya bekerja online dari rumah. Kurasa aku pernah mendengar profesi seperti itu. Semacam ghostwritter pada penulis. Dia hanya akan bekerja dari balik layar, dan akan dibayar mahal untuk itu.""Benarkah? Paman tidak bohong, kan?""Aku sudah melihat riwayat perusahaan itu. Tak ada celah untuk Ayahmu kembali ke sana, sehebat apapun kemampuannya."Ternyata Ayah dan Paman diam-diam sudah merencanakan ini tanpa sepengetahuanku. Mereka hanya takut aku melarang, sebelum semua itu sempat terjadi. Ayah akan kembali menemukan pekerjaannya melal
"Kak, dia datang," seru Mita. Aku bergegas melangkah ke ruangan Hana. Mencoba menghindar dan bersembunyi dari pria yang pernah mengisi hatiku itu. Aku sengaja meminta siapapun yang pertama kali melihatnya, meski masih di parkiran untuk segera memberitahukan kepadaku.Aku juga berpesan agar mereka mengatakan bahwa hari ini aku tidak masuk kerja. Terserah dia mau mencariku kemana. Untuk saat ini, paling tidak untuk hari ini, aku bisa benar-benar terbebas dari usahanya meyakinkanku lagi. Ada hati yang begitu lembut yang benar-benar harus kujaga. Aku tak ingin hari bahagia ini hancur berantakan begitu saja. Aku juga tak mau lagi kembali berdiam-diaman dengan Paman yang saat ini, jelas-jelas sudah jujur tentang perasaannya. "Main kucing-kucingan terus. Mau sampai kapan?" ketus Hana sembari memainkan jemarinya di layar ponsel dan bersandar di kursi empuknya. "Sampai dia menyerah," balasku singkat. "Kau yakin tak ingin memaafkannya?" kacamatanya sedikit diturunkan seperti nenek-nenek ya
"Oh, kelihatannya dia sudah pergi," dia melupakan sejenak ucapannya tadi. "Akan kupotong gajimu jika kau tak bergegas ke meja kasir," ketusnya lagi. Sontak aku berdiri dan mendekatinya. Kupeluk sekilas tubuh mungil itu dan menempelkan pipiku ke pipi nya. "Ish... menjijikkan," dia kembali berdesis. Kelakuannya tak pernah berubah sedari dulu. Namun aku tetap saja melakukannya, karena ku tahu dia juga menyayangiku hingga masih setia mendampingiku hingga hari ini. Aku kembali keluar dari ruangan Hana setelah yakin bahwa motor sport merah itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan perasaan lega, aku kembali ke meja kasir dan duduk bersandar di sana. .Hari mulai sore, aku mempercepat waktu menggantikan seragam oranye terang itu dengan pakaian yang kupakai saat berangkat pagi tadi. Aku berdiri sambil memegang helm di teras kafe, menantikan Paman yang akan segera keluar dari kantornya. Tak seperti biasanya, aku menghabiskan waktu bersantai di kursi dalam, menantinya yang mungkin akan s
Hujan kian deras saat kami hampir sampai. Langit sore tertutupi awan gelap dan berubah seperti hari hampir malam. Aku melepaskan ikatan tanganku dari pinggang rampingnya sebelum memasuki pagar, karna tahu Ayah sedang menunggu dari teras rumah. Sungguh aku belum siap jika Ayah sampai melihatnya. Paman melajukan sepeda motor sampai ke dalam, sementara aku masih berjalan mengunci pagar dengan gembok. Wajah Ayah berdiri tercengang melihat aku dan Paman basah kuyup. Sementara wajahku dan juga Paman juga ikut tercengang melihat Ayah kini berdiri bersisian bersama Andar. Ayah tergesa masuk ke rumah, mungkin mengambilkan handuk untuk kami. Lagi-lagi wajah Paman terlihat berubah. Dan itu menakutkan. Setidaknya bagiku. Andar menatapku dengan tatapan sendu. Seperti merasa tak rela melihat aku dan Paman dalam posisi seperti ini. Kehujanan dan basah. Pandangannya kemudian dijatuhkan ke bawah. Mungkin juga tak suka. Ah entahlah. Aku hanya bisa menerka-nerka, tanpa tahu apa yang sedang mereka pi