Kini aku benar-benar berada di sebuah persimpangan. Antara rasa bersalah telah menghianati Ibu, ataupun membiarkan Ayah berbahagia dengan kehidupan barunya bersama Tante Retno. Malam sebelum Dara muncul, Tante Retno tetap bersikeras ingin mengajak Ayah ke acara reuni. "Aku malu datang sendiri. Kau tahu di usia kita, harusnya aku sudah memiliki keluarga seperti mereka," alasannya kala itu. "Lalu?""Kita bisa pergi bersama.""Kau akan lebih malu lagi jika aku pergi bersamamu.""Itu kan, menurutmu?""Kau pikir, putriku tidak akan mengamuk mendengar Ayahnya berbuat curang pada istrinya?"Ayah benar-benar laki-laki sejati, dalam keadaan seperti inipun masih mau mengakui Ibu sebagai istrinya. Tante Retno langsung menoleh ke arahku. Seolah meminta persetujuan. Aku hanya bisa diam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi, dari gelagat Ayah, jelas dia tak akan mau pergi ke tempat ramai seperti itu. Malam semakin larut. Andar pamit pulang setelah mendapatkan panggilan dari ponselnya. Mungkin dar
"Maaf, Ayah. Sarah tak bermaksud membohongi Ayah," sesalku saat Ayah mengajakku bicara di sofa ruang tamu. Tante Retno sudah pamit pulang sambil memberikan senyuman nakal kepadaku. Seolah apa yang dia pertanyakan tadi adalah suatu kebenaran. Sementara Paman Harun masih membersihkan pecahan gelas yang tanpa sengaja terjatuh dari tangan Tante Retno tadi. "Kau pikir selama ini Ayah tak tahu?" Ayah berbicara tanpa menoleh ke arahku. "Ayah, tahu?" aku meyakinkan. "Sejak kapan?""Tanyakan pada Tante Ayu. Dia bahkan ingin Ayah mengundangnya di acara pernikahanmu," lagi-lagi Ayah bicara tanpa ekspresi. Datar. Tante Ayu? Toko baju? "Ayah.... " aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Merasa malu, karena nyatanya Ayah sudah mengetahui dari kamera cctv saat Paman memeluk dan bersikap manja padaku saat itu. Bukankah layar datar yang tergantung di sudut ruangan toko itu begitu besar? Kenapa bisa sampai tak terpikirkan olehku. "Kau menyukainya?" aku menoleh memandangi wajah Ayah yang m
Wajahnya langsung berubah, seperti takut dan langsung terdiam. Aku tersenyum sembari memandang Ayah. "Kau kenapa?" tegur Ayah sembari duduk di kursi makan. Paman masih diam, sambil sesekali mengusap-usap rambutnya ke depan. "Kau takut padaku? Atau tak ingin lagi bicara padaku?" Lagi-lagi diam. "Kalau kau masih seperti itu, aku tak akan memberikan anak gadisku padamu," tegas Ayah. Paman langsung mengangkat wajah dengan senyuman khasnya, kemudian berdiri di samping Ayah. "Aku... minta maaf, Bang," dia berucap pelan. "Minta maaf kenapa?" Ayah mencelup roti manis dengan milo. "Aku... menyukai Sarah," aku tak dapat lagi menahan senyuman. Paman memang seberani itu ternyata. Kulihat senyum kepuasan di wajah Ayah. .Aku kembali berboncengan dengan Paman. Dia bilang mulai sekarang, dia akan menjemputku ketika malam. Hal itu dia lakukan karena tak perlu lagi takut, kalau Ayah akan curiga kenapa Paman sampai begitu perhatian terhadapku. Aku tak tahu apa yang akan Ayah bicarakan pada And
Malam kian larut. Mata tak kunjung bisa terpejam. Di kursi teras ini, aku memandangi kendaraan lewat yang hanya tinggal satu-satu.Sudah enam bulan sejak kepergian Ibu. Sama sekali tak ada kabar dan berita. Hatiku serasa mati, tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak ada petunjuk sedikitpun, bahkan nomor keduanya kini sudah tak dapat lagi dihubungi.Malam kian meninggi, semilir angin menyapu air mata yang tadi sempat keluar tanpa bisa kutahan lagi. Bagaimana mungkin Ibu sanggp berbuat seperti ini, membenciku hingga begitu dalam, dan langsung menghilang seperti tak berperasaan. "Sudah larut malam, kenapa belum tidur?" kulihat Paman berjongkok di depan pintu. Aku hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Ibumu pasti baik-baik saja. Dia punya banyak cara untuk bertahan hidup. Kau tahu sendiri, kan?" aku tak lagi menjawab. Perkataan seperti itu sudah hari-hari kudengar dari mulutnya. Dia bahkan sempat berpikir, bahwa Ibuku sudah menikah lagi dan hidup dengan senang. Aku tak bisa
Lalu bagaimana dengan Paman? Akankah dia akan membuktikan kata-katanya dengan membawaku kawin lari seperti yang pernah dilakukan oleh Ayah kandungku?"Berilah alasan yang baik. Aku tak ingin dia membenciku sebagai Ibu yang tak merestui hubungan kalian," Nenek terlihat sesenggukan. "Kau mau keluarga kita hanya sebatas ini-ini saja? Tak ingin ada orang lain sebagai suamimu, dan istri bagi Harun?".Aku berjalan gontai meninggalkan kamar hotel. Merasa lemah dan tak lagi berdaya di depan Nenek dan Unde Tiwi. Bak tersambar petir di tengah hari, mendengar ucapan Nenek yang datang dengan tiba-tiba. Teringat saat Unde memelukku sesaat sebelum meninggalkan kamarnya. "Maafkan Unde, Sarah. Unde tak tahu kalau Omak akan seperti ini. Beberapa hari yang lalu, Harun meminta pendapat Unde. Unde tak masalah, karena sedari awalpun jelas sudah terlihat perasaan Harun terhadap kau.""Sudah lama jugakah Unde menyadarinya?" "Bahkan Alena dan Raya pun dor (sering) lah mengejeki Paman kau itu. Dah pernah k
"Aku tak mengerti. Bicaralah dengan jelas. Jangan membuatku takut seperti ini.""Katakan saja," lirihku. "Apa yang bisa Paman lakukan untuk tetap membuatku bahagia.""Apa saja. Kau ingin aku bagaimana?" manik matanya menatapku dengan liar, penuh ketakutan. "Kalau begitu... ayo kita putus," ucapku dengan rasa sakit yang menusuk di ulu hati. Aku sampai menggigit bibir bawah sambil menahan tangis dan isakan."Apa yang kau katakan?" matanya mulai tampak berkaca-kaca. "Aku tidak sedang berulang tahun. Jadi jangan coba-coba untuk mengerjaiku. Dan cara ini sangat tidak lucu. Aku tak suka.""Tapi hal itu yang membuatku bahagia, Paman. Bebaskanlah aku, dan anggaplah aku seperti keponakan Paman yang lain.""Kau bicara apa?" suaranya mulai meninggi, sambil mengguncang bahuku. Terlihat marah. "Hubungan ini, sangat sulit untuk aku jalani, Paman," dustaku. "Kenapa?" suaranya kembali terdengar seperti berbisik. "Aku ... hanya menganggap Paman, sebagai Pamanku saja.""Bohong!" dia kembali emosi.
"Kau tidak bilang akan ada adegan pemukulan seperti ini," keluhnya sambil memegangi dadanya bekas tendangan tadi. Seorang perawat tersenyum sambil membersihkan luka di wajahnya. Aku membawa Andar ke klinik terdekat yang tidak jauh dari daerah rumahku. Untuk saat ini, tak mungkin lagi rasanya aku mengobati luka itu sendiri dengan kedua tanganku, seperti yang aku lakukan dulu terhadap luka-luka di wajah Paman. Selain masih menjaga perasaannya, tentu saja aku tak ingin berada dalam kondisi saling berdekatan dengan Andar. Ataukah dari dulu, perasaanku terhadap Paman memang sudah ada? Hingga mudah saja bagiku tuk merasa nyaman setiap berada di dekatnya."Siapa suruh kau datang?" ketusku, seolah tak memikirkan rasa sakitnya. "Kau tiba-tiba saja menelpon dan bilang ingin kembali berpacaran. Kau pikir aku bisa tenang?""Omong kosong!" tegasku. Pria yang wajahnya kini sudah babak belur itu mengela nafas sambil merasakan kesakitan di dadanya. "Sudah kubilang, hubungan kalian tak akan perna
Sungguh reaksi itu tak sedikitpun sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Dia tampak tenang seolah itu bukanlah berita mengejutkan. Akupun terheran, kenapa dia sama sekali tak merasa marah dan menuduhku sebagai penghianat."Bahkan tukang somay di ujung Kompleks pun menyadari kalau kalian bukanlah keluarga," ketusnya. "Kau saja yang bodoh dan tak berperasaan. Yang saat itu kau lihat hanya Andar, Andar dan Andar saja."Lagi, Hana orang kesekian yang dapat melihat tentang bagaimana perasaan Paman terhadapku. Kemana saja pikiranku selama ini. Kenapa Paman tak pernah berterus terang hingga harus berakhir dengan cara seperti ini. "Setelah semua yang terjadi, kau ingin putus begitu saja?""Terima kasih karena selama ini tak pernah marah kepadaku, Han," ucapku tulus."Kuberi kau waktu untuk cuti. Selepas itu, kembalilah bekerja. Kau terlalu tua untuk menunda-nunda wisudamu lagi." **************Ayah benar. Hubunganku dengan Paman tidak sedang baik-baik saja. Suasana m