enjoy reading .... :-)
“Diem deh, Pak!” ucapku lirih namun tegas sambil tetap membungkuk di kursi penumpang sebelahnya.Telunjuk kananku juga memberi kode di depan bibir agar Pak Akhtara tidak berkata-kata lagi. “Oh … takut ketahuan?" “Jangan pura-pura nggak tahu deh, Pak!” ucapku ketus. Aku kembali mengintip sekeliling parkiran. Ternyata Mas Hadza baru saja melepas helm lalu pergi dari parkiran. Oh ... lelaki idamanku. Ingin rasanya berjalan di samping Mas Hadza yang sekarang berjalan seorang diri. Sedang karyawan lain juga baru berdatangan dari makan siang. Mereka memarkir motornya satu demi satu di lahan parkiran basement kantor hingga membuatku terjebak lebih lama di mobil Pak Akhtara. Kampret banget! "Ini semua gara-gara Bapak!" Gerutuku sambil menegakkan badan. Pak Akhtara yang sedang fokus pada ponselnya pun menoleh. "Saya? Emangnya saya ngapain, Han?" "Tau lah! Ngeselin!" "Kamu itu udah ditraktir makan siang masih aja marah-marah." Tetiba saja kata hatiku berkata agar segera membuka ponse
"Heh?" Bukannya menjawab apakah bersedia pulang bersama Mas Hadza, aku justru menatapnya penuh keterkejutan. Otakku masih memproses apa yang Mas Hadza tawarkan ditengah rasa tidak percaya ini. Benarkah dia menawarkan jok belakang motornya untuk mengantarku pulang? Ya Tuhan, jika benar, tolong jangan buat aku pingsan dulu! Benar kata sang pujangga, kadang jatuh cinta itu bisa membuat seseorang tampak terlihat begitu bodoh sekali. Seperti saat ini contohnya. Aku justru menatap Mas Hadza yang sedang duduk di atas jok motor skuter warna biru miliknya. Bukannya menjawab apakah aku bersedia diantar pulang olehnya atau tidak. "Han?" Tanya Mas Hadza lagi dengan menggoyangkan tangan di depan mataku. Lalu tangan Fita menoel lenganku sedikit kasar hingga aku terbangun dari keterkejutan. Oh Tuhan, kebahagiaan apa yang akan Engkau berikan padaku? Tiba-tiba saja Mas Hadza menawarkan ajakan pulang. Seperti keajaiban yang luar biasa indahnya datang dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Han
“Intinya, Pak Direktur nggak mau kesalahan ini terulang lagi. Meski kesalahan terbanyak ada di tangan Pak Hadza, tapi tetap aja kamu juga kena imbasnya, Han. Karena kamu juga dituntut untuk rajin kroscek ke gudang. Bukan asal langsung setor ke saya.” Mendadak nafsu makanku langsung hilang seketika mengetahui karirku sebenarnya terancam. “Tapi, kalau saya tiap hari ke gudang, mana mungkin bisa ngerjain laporan, Pak?” “Itulah kekurangannya, Han. Satu sisi perusahaan nggak bisa nambah jumlah karyawan baru, tapi jumlah barang meningkat. Jadi, pintar-pintarnya kamu dan Pak Hadza aja gimana caranya bisa bekerja sebaik mungkin biar minim kesalahan.” Pak Akhtara nampak tenang menjelaskan duduk perkara yang terjadi. Sedang aku justru tertegun tidak percaya jika sebenarnya juga tercatut dalam sanksi yang seharusnya diberikan perusahaan. Sanksi yang berpotensi membuatku kehilangan pekerjaan. Tapi ditanggung oleh Pak Akhtara. “Pak, kenapa Bapak melindungi saya dari sanksi yang akan diberikan
"Ra, lo ada ide nggak?" Siang itu saat makan siang, aku menghubungi Rara, pemilik agensi pacar sewaan. Aku dulu bekerja untuknya dengan menjadi pacar sehari para lelaki dengan kompensasi sejumlah uang. Meski aku dan Rara tidak terlalu akrab, namun kami berteman baik. Dan hanya dia lah satu-satunya orang lain yang mengerti duduk hubunganku dengan Pak Akhtara. Bahwa kami sedang menjalani pernikahan kontrak. Rasa-rasanya, sangat tepat jika aku menanyakan pada Rara tentang kado terbaik apa yang bisa kuberikan pada Pak Akhtara. Toh, dia juga sangat ulung menilai selera para lelaki."Ide apaan, Han?" Tanyanya melalui sambungan telfon. "Cowok kayak Pak Akhtara itu mending dikasih kado apa ya, Ra?" "Cieeee .... udah mulai ngasih-ngasih kado? Udah mulai sayang nih ceritanya?" Aku mendesis tidak suka dengan godaan yang Rara utarakan dan sayangnya itu salah kaprah. Siapa juga yang mulai menyayangi Pak Akhtara?!"Kalau bukan karena orang tuanya mau ngerayain ultah tuh orang, mana mungkin gue
"Eh ... maksudnya gimana, Pak?" "Habis ketemu teman spesial atau pelanggan barumu?" Tanyanya dengan menatapku lekat. Kesepuluh jemarinya menyatu dengan siku tangannya bertumpu di meja. Jelas tergambar di matanya jika beliau seperti tidak menyukai jawabanku. Dan menuntut penjelasan lebih. "Siapa yang lagi sama pelanggan baru, Pak?! Saya keluar sama teman kok." Belaku. Karena memang aku keluar bersama Rara. Bukan dengan klien pacar sewaan seperti yang beliau tuduhkan. "Siapa?" Haruskah aku menjawab dengan siapa baru saja keluar? Bukankah jika aku berkata selepas keluar dengan Rara maka nantinya beliau bisa berpikiran jika aku kembali melakukan transaksi dengannya? Aduh ... bagaimana ini? "Kenapa nggak langsung jawab aja, Han? Benar ya dugaan saya?" Kepalaku lantas menggeleng dengan tegas. "Saya keluar sama Fita kok, Pak. Kebetulan dia traktiran karena ulang tahun hari ini." Kilahku. "Fita teman satu kubikelmu itu?" Kepalaku mengangguk. Wajar jika Pak Akhtara mengenal Fi
"Lho? Mau kemana, Han?" Tanya Mas Hadza begitu aku berdiri secara mendadak. Sedang lirikan mataku beberapa kali tertuju pada Pak Akhtara yang hanya menatapku dengan sorot dingin sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ya Tuhan, jantungku rasanya hampir terlepas karena seperti seorang istri yang tertangkap basah tengah berselingkuh. Bodohnya aku mengapa mau-maunya bibirku diusap oleh Mas Hadza! Aaargghhh!!! "Eh ... aku ke toilet bentar ya, Mas. Perut nggak enak banget." Gado-gado yang masih tinggal setengah itu akhirnya kutinggalkan begitu saja lalu berjalan setengah berlari keluar dari kantin. Tujuanku bukan ke toilet melainkan kembali ke kubikel dengan kaki setengah gemetaran. Lebih tepatnya aku merasa sangat takut. "Ya Tuhan, gimana ini? Gimana kalau Pak Akhtara minta duitnya yang dikasihkan ke gue? Astaga! Bodohnya gue!" Aku menampar pipi kiriku sendiri hingga terasa panas karena kebodohan yang kulakukan. Sekarang aku benar-benar cemas! Tidak lucu jika Pak Akhtara mem
Ponselku berdering nyaring ketika sedang mengenakan maskara. Buru-buru aku mengangkatnya karena itu berasal dari Mamanya Pak Akhtara. "Halo, Ma?" Setelah menekan tombol loudspeaker, aku kembali mengenakan maskara dengan benar sambil bercermin. "Mama udah perjalanan menuju Puncak, Han. Gimana Akhtara?" "Aman kok, Ma. Mas Tara masih mandi." "Dia nggak curiga, kan?!" "Nggak, Ma. Tenang aja. Aku pakai alasan minta ditemenin kondangan ke Puncak." "Ya udah. Nanti bilang sama Akhtara, jangan ngebut-ngebut. Biar kandungan kamu nggak kena guncangan kalau ngelewati jalan berlubang." Ya Tuhan, Mamanya Pak Akhtara ini sangat baik sekali orangnya. Meski beliau tahu jika aku ini hanyalah perempuan biasa yang dinikahi Pak Akhtara, namun beliau tidak mempermasalahkan. Jarang-jarang ada mertua yang bisa menerima kekurangan menantu dan menerima apa adanya. Padahal keluarga besarnya adalah deretan orang terpandang dengan harta melimpah. "Eh ... Iya, Ma." Dan aku merasa sangat bersalah pad
Aku menggeleng pelan dengan wajah tegang saat keluarga besar Pak Akhtara terus meneriakkan kata-kata .... "Cium!" "Cium!"Karena aku tidak kunjung melakukannya, ada yang berucap ...."Ya udah kalau Jihan nggak mau nyium, berarti Akhtara aja yang nyium duluan!" Apa??? Aku membulatkan kedua bola mata lebar-lebar karena ucapan keluarga besar Pak Akhtara. "Ayo! Cium!" "Ayo, Tara! Cium Jihan!" Dan suasana makin riuh dengan keluarga besar Pak Akhtara terus bertepuk tangan dan menyerukan agar beliau menciumku lebih dulu. Astaga!!! Ini benar-benar diluar skenario dan aku tidak mau dicium atau mencium Pak Akhtara! Aku tidak mencintainya dan tidak sudi melakukannya! Meski kami ini suami istri sekalipun! Kemudian aku melirik Pak Akhtara yang berdiri menjulang di sampingku dan memberinya gelengan kecil pertanda aku tidak mau melakukan perintah mereka. Tapi kini justru band indie yang disewa keluarga Pak Akhtara malah memainkan sebuah lagu romantis. Diiringi suara saxofon yang makin men