enjoy reading ... :-)
"Eh ... maksudnya gimana, Pak?" "Habis ketemu teman spesial atau pelanggan barumu?" Tanyanya dengan menatapku lekat. Kesepuluh jemarinya menyatu dengan siku tangannya bertumpu di meja. Jelas tergambar di matanya jika beliau seperti tidak menyukai jawabanku. Dan menuntut penjelasan lebih. "Siapa yang lagi sama pelanggan baru, Pak?! Saya keluar sama teman kok." Belaku. Karena memang aku keluar bersama Rara. Bukan dengan klien pacar sewaan seperti yang beliau tuduhkan. "Siapa?" Haruskah aku menjawab dengan siapa baru saja keluar? Bukankah jika aku berkata selepas keluar dengan Rara maka nantinya beliau bisa berpikiran jika aku kembali melakukan transaksi dengannya? Aduh ... bagaimana ini? "Kenapa nggak langsung jawab aja, Han? Benar ya dugaan saya?" Kepalaku lantas menggeleng dengan tegas. "Saya keluar sama Fita kok, Pak. Kebetulan dia traktiran karena ulang tahun hari ini." Kilahku. "Fita teman satu kubikelmu itu?" Kepalaku mengangguk. Wajar jika Pak Akhtara mengenal Fi
"Lho? Mau kemana, Han?" Tanya Mas Hadza begitu aku berdiri secara mendadak. Sedang lirikan mataku beberapa kali tertuju pada Pak Akhtara yang hanya menatapku dengan sorot dingin sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ya Tuhan, jantungku rasanya hampir terlepas karena seperti seorang istri yang tertangkap basah tengah berselingkuh. Bodohnya aku mengapa mau-maunya bibirku diusap oleh Mas Hadza! Aaargghhh!!! "Eh ... aku ke toilet bentar ya, Mas. Perut nggak enak banget." Gado-gado yang masih tinggal setengah itu akhirnya kutinggalkan begitu saja lalu berjalan setengah berlari keluar dari kantin. Tujuanku bukan ke toilet melainkan kembali ke kubikel dengan kaki setengah gemetaran. Lebih tepatnya aku merasa sangat takut. "Ya Tuhan, gimana ini? Gimana kalau Pak Akhtara minta duitnya yang dikasihkan ke gue? Astaga! Bodohnya gue!" Aku menampar pipi kiriku sendiri hingga terasa panas karena kebodohan yang kulakukan. Sekarang aku benar-benar cemas! Tidak lucu jika Pak Akhtara mem
Ponselku berdering nyaring ketika sedang mengenakan maskara. Buru-buru aku mengangkatnya karena itu berasal dari Mamanya Pak Akhtara. "Halo, Ma?" Setelah menekan tombol loudspeaker, aku kembali mengenakan maskara dengan benar sambil bercermin. "Mama udah perjalanan menuju Puncak, Han. Gimana Akhtara?" "Aman kok, Ma. Mas Tara masih mandi." "Dia nggak curiga, kan?!" "Nggak, Ma. Tenang aja. Aku pakai alasan minta ditemenin kondangan ke Puncak." "Ya udah. Nanti bilang sama Akhtara, jangan ngebut-ngebut. Biar kandungan kamu nggak kena guncangan kalau ngelewati jalan berlubang." Ya Tuhan, Mamanya Pak Akhtara ini sangat baik sekali orangnya. Meski beliau tahu jika aku ini hanyalah perempuan biasa yang dinikahi Pak Akhtara, namun beliau tidak mempermasalahkan. Jarang-jarang ada mertua yang bisa menerima kekurangan menantu dan menerima apa adanya. Padahal keluarga besarnya adalah deretan orang terpandang dengan harta melimpah. "Eh ... Iya, Ma." Dan aku merasa sangat bersalah pad
Aku menggeleng pelan dengan wajah tegang saat keluarga besar Pak Akhtara terus meneriakkan kata-kata .... "Cium!" "Cium!"Karena aku tidak kunjung melakukannya, ada yang berucap ...."Ya udah kalau Jihan nggak mau nyium, berarti Akhtara aja yang nyium duluan!" Apa??? Aku membulatkan kedua bola mata lebar-lebar karena ucapan keluarga besar Pak Akhtara. "Ayo! Cium!" "Ayo, Tara! Cium Jihan!" Dan suasana makin riuh dengan keluarga besar Pak Akhtara terus bertepuk tangan dan menyerukan agar beliau menciumku lebih dulu. Astaga!!! Ini benar-benar diluar skenario dan aku tidak mau dicium atau mencium Pak Akhtara! Aku tidak mencintainya dan tidak sudi melakukannya! Meski kami ini suami istri sekalipun! Kemudian aku melirik Pak Akhtara yang berdiri menjulang di sampingku dan memberinya gelengan kecil pertanda aku tidak mau melakukan perintah mereka. Tapi kini justru band indie yang disewa keluarga Pak Akhtara malah memainkan sebuah lagu romantis. Diiringi suara saxofon yang makin men
Usai merayakan potong kue dan makan bersama, kini keluarga besar Pak Akhtara beralih ke acara bernyanyi secara bergantian. Tidak peduli sekalipun suaranya fals, mereka wajib bernyanyi untuk memeriahkan acara ini. Sedari tadi, aku duduk di samping Pak Akhtara yang tangan kirinya terus bertengger di pundakku. Sumpah! Ini risih sekali! "Pak, tangannya!" Aku memperingatkan dengan suara berbisik dan berintonasi tegas. "Diam." Hanya itu yang Pak Akhtara katakan sejak tadi. Beliau tidak mau sama sekali memindahkan tangannya dari pundakku. Bukan apa-apa. Hanya saja setiap kali beliau menyentuhku, ada sesuatu di dalam perasaan yang bergejolak. Entah apa dan aku tidak ingin tersiksa karena perasaan itu jadi aku memintanya untuk menjauhkan tangannya dari pundakku. Sayangnya, beliau selalu saja .... MENOLAK! "Saya risih!" Lalu Pak Akhtara kembali merundukkan wajahnya ke telingaku. Kali ini beliau seperti sengaja mendekatkan bibirnya ke telingaku. Begitu aku sedikit menggeser badan untuk m
"Saya nggak mau ya sekamar sama Bapak!" ucapku ketus. Masih dengan berkacak pinggang dan menatapku, Pak Akhtara kembali membuka suara. "Ya udah. Kamu aja yang tidur di kursi. Saya tidur di kasur." Aku mengerutkan kedua alis tidak percaya dengan sikapnya yang egois. Biasanya lelaki akan mengalah lalu memberikan tempatnya untuk perempuan. Tapi rupanya, hal itu tidak berlaku untuk Pak Akhtara. Si bujang lapuk berhati dingin ini. Suami kontrakku. Usai berkata demikian, Pak Akhtara justru duduk di kursi lalu meraih paper bag berisi kado-kado yang dia terima dari keluarga besarnya. Sedang aku hanya bisa terdiam dengan mata membelalak tidak percaya dan masih berdiri di depan gawang pintu kamar. "Pak Akhtara egois!" ucapku lantang. "Baru tahu?" ucapnya santai tanpa menatapku. Kedua tangannya justru sibuk mengambil satu demi satu kado dari dalam paper bag. Dan itu seperti menyulut api amarah yang membakar dadaku. Kemudian aku melangkah ke hadapan Pak Akhtara dengan bersungut kesal.
"Ehm ... bukan siapa-siapa, Pak," ucapku dengan berusaha setenang mungkin. Aku kembali memasukkan ponsel itu lalu menyodorkan kado yang Den Mas Lubis berikan untuk Pak Akhtara. "Ini, Pak. Dari Den Mas Lubis. Saya ke kamar mandi dulu." Aku beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur dengan membawa clutch bag. Tapi ketika akan mencapai pintu kamar, suara Pak Akhtara menginterupsi. "Jihan, kamu yakin mau ke kamar mandi bawa tas?" Aduh! Manusia satu ini bagaimana bisa begitu detail dengan setiap apapun yang dilihat? "Eh ... tas saya mau saya taruh di kamar, Pak." Pak Akhtara meletakkan kado dari Den Mas Lubis lalu berdiri seraya berjalan ke arahku. Mau apalagi suami kontrakku ini? Reflek aku memundurkan tubuh selangkah dengan wajah waspada. "Kenapa kamu kayak takut gini? Siapa yang nelfon?" Kepalaku menggeleng tegas lalu masuk ke dalam kamar begitu saja. "Jihan!" Tanpa memperdulikan panggilan Pak Akhtara aku segera memasuki kamar mandi dengan membawa clutch b
"Jihan! Buruan! Mau sampai kapan kamu berendam di kamar mandi?!" Itu suara Pak Akhtara. Si suami kontrakku yang menyebalkan tujuh atap tujuh langit dan semoga saja tidak tujuh turunan! "Ya, Pak! Masih luluran!" Karena ancamannya tadi, aku berbalik badan ke kamar mandi lalu berendam air hangat di bath up yang tersedia. Menuangkan aromatherapy lavender sedikit lebih banyak dan merenungi banyak hal selama aku sendirian di sini. Hasilnya .... ah, lumayan untuk menghibur diri sendiri. Bahwa aku perlu waktu untuk berpikir jernih setelah pertengkaranku dengan Pak Akhtara. Aku mengalah dan sadar bila beliau berhak atas diriku sepenuhnya. Selain kami terikat pernikahan yang sah, beliau juga sudah menunaikan kewajibannya dengan memberiku sejumlah uang selama menjadi istri kontraknya. "Jihan! Kenapa kamu masih belum keluar juga! Keluarga saya udah nunggu di luar!" Aku menghela nafas panjang lalu mematikan vape. Sigaret jaman sekarang yang menggunakan liquid. Kebetulan ada di dalam cluth