enjoy reading ... sorry up nya tengah malam...
"Saya nggak mau ya sekamar sama Bapak!" ucapku ketus. Masih dengan berkacak pinggang dan menatapku, Pak Akhtara kembali membuka suara. "Ya udah. Kamu aja yang tidur di kursi. Saya tidur di kasur." Aku mengerutkan kedua alis tidak percaya dengan sikapnya yang egois. Biasanya lelaki akan mengalah lalu memberikan tempatnya untuk perempuan. Tapi rupanya, hal itu tidak berlaku untuk Pak Akhtara. Si bujang lapuk berhati dingin ini. Suami kontrakku. Usai berkata demikian, Pak Akhtara justru duduk di kursi lalu meraih paper bag berisi kado-kado yang dia terima dari keluarga besarnya. Sedang aku hanya bisa terdiam dengan mata membelalak tidak percaya dan masih berdiri di depan gawang pintu kamar. "Pak Akhtara egois!" ucapku lantang. "Baru tahu?" ucapnya santai tanpa menatapku. Kedua tangannya justru sibuk mengambil satu demi satu kado dari dalam paper bag. Dan itu seperti menyulut api amarah yang membakar dadaku. Kemudian aku melangkah ke hadapan Pak Akhtara dengan bersungut kesal.
"Ehm ... bukan siapa-siapa, Pak," ucapku dengan berusaha setenang mungkin. Aku kembali memasukkan ponsel itu lalu menyodorkan kado yang Den Mas Lubis berikan untuk Pak Akhtara. "Ini, Pak. Dari Den Mas Lubis. Saya ke kamar mandi dulu." Aku beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur dengan membawa clutch bag. Tapi ketika akan mencapai pintu kamar, suara Pak Akhtara menginterupsi. "Jihan, kamu yakin mau ke kamar mandi bawa tas?" Aduh! Manusia satu ini bagaimana bisa begitu detail dengan setiap apapun yang dilihat? "Eh ... tas saya mau saya taruh di kamar, Pak." Pak Akhtara meletakkan kado dari Den Mas Lubis lalu berdiri seraya berjalan ke arahku. Mau apalagi suami kontrakku ini? Reflek aku memundurkan tubuh selangkah dengan wajah waspada. "Kenapa kamu kayak takut gini? Siapa yang nelfon?" Kepalaku menggeleng tegas lalu masuk ke dalam kamar begitu saja. "Jihan!" Tanpa memperdulikan panggilan Pak Akhtara aku segera memasuki kamar mandi dengan membawa clutch b
"Jihan! Buruan! Mau sampai kapan kamu berendam di kamar mandi?!" Itu suara Pak Akhtara. Si suami kontrakku yang menyebalkan tujuh atap tujuh langit dan semoga saja tidak tujuh turunan! "Ya, Pak! Masih luluran!" Karena ancamannya tadi, aku berbalik badan ke kamar mandi lalu berendam air hangat di bath up yang tersedia. Menuangkan aromatherapy lavender sedikit lebih banyak dan merenungi banyak hal selama aku sendirian di sini. Hasilnya .... ah, lumayan untuk menghibur diri sendiri. Bahwa aku perlu waktu untuk berpikir jernih setelah pertengkaranku dengan Pak Akhtara. Aku mengalah dan sadar bila beliau berhak atas diriku sepenuhnya. Selain kami terikat pernikahan yang sah, beliau juga sudah menunaikan kewajibannya dengan memberiku sejumlah uang selama menjadi istri kontraknya. "Jihan! Kenapa kamu masih belum keluar juga! Keluarga saya udah nunggu di luar!" Aku menghela nafas panjang lalu mematikan vape. Sigaret jaman sekarang yang menggunakan liquid. Kebetulan ada di dalam cluth
Usai melepas kaosnya yang basah kuyup di tengah gelapnya ruang tamu dan hujan deras di luar yang masih mengguyur, Pak Akhtara menjawab ... "Lepas baju lah, Han. Kalau saya pakai baju basah, malah masuk angin." Oh .... syukurlah. Aku kira Pak Akhtara akan melepas bajunya lalu mendekapku untuk memberi kehangatan. Selayaknya dalam film-film romantis. Tapi beliau tidak melakukan itu. Kukira beliau akan mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk bisa memelukku di situasi yang mendukung seperti ini. Kuakui, Pak Akhtara benar-benar seorang manajer sekaligus lelaki yang teguh pada prinsip. Pantas saja mantan tunangannya dulu bersedia melakukan apa saja demi mendapatkan hati Pak Akhtara lagi. "Kamu berani di sini sendiri kan, Han?" Masih dengan mendekap selimut yang membungkus tubuh dan pakaianku yang basah kuyup disertai menahan nyeri di kaki yang terkilir. "Emangnya Bapak mau kemana?" Sekilas cahaya petir yang menyala dan menembus jendela kaca villa ini, membuatku bisa melihat da
"Berisik!" Pak Akhtara lalu menggendongku di tengah keremangan malam villa yang kami huni berdua saja. Dengan kami sama-sama memakai bathrobe. Kedua tanganku ada di pangkuan lalu beliau menggendongku begitu saja. Kedua tangannya terasa erat memegangi tubuhku dalam dekapannya. Nyatanya digendong Pak Akhtara seperti ini juga bisa membuatku malu-malu kucing. Tubuh tegapnya seakan tidak merasa berat sama sekali saat mengangkatku. Kuakui postur tubuh Pak Akhtara itu jauh lebih tinggi dan gagah dari Mas Hadza. Tapi tetap saja, rasa cintaku ini hanya untuk Mas Hadza. Kemudian beliau mendudukkanku perlahan di tepi ranjang. Tapi rasa nyeri dan nyut-nyutan di kaki itu kembali mendera. "Aduh .... " Keluhku dengan menyentuh kaki kiri yang menapak di lantai. Sedang senter ponselku tetap menyala di sampingku. "Sakit banget, Han?" "Iya, Pak. Nyut-nyut banget." "Kamu itu jalan gimana sih?!" Lha ... kenapa aku justru diomeli? "Namanya juga licin, Pak. Hujannya mendadak." Aku meringis
Bukan tanpa alasan, aku benar-benar tidak mau disentuh atau berhubungan dengan Pak Akhtara selayaknya suami istri. Kami hanya menikah kontrak dan aku tidak jatuh cinta padanya. Aku menjadi istrinya murni karena profesionalisme semata. Dan yang lebih membuatku marah adalah karena dibalik bathrobe ini tidak ada kain apapun lagi yang menutupi tubuhku. Karena semuanya masih basah. Aku benar-benar jijik, kesal, sekaligus marah andai Pak Akhtara semalam benar-benar menyentuh bagian tubuhku saat aku terlelap. Itu sama saja dengan menodaiku! "Harusnya Bapak bangunin saya meski saya masih tidur! Saya jijik sama apa yang terjadi semalam, Pak!" Pak Akhtara menatapku sungguh-sungguh tanpa senyum sama sekali seperti tadi. "Kita nggak melakukan apapun, Han." "Tapi saya nggak mau!" ucapku keras. Lalu air mataku memenuhi kelopak mata. Menunjukkan betapa sedih dan merasa hinanya aku merapat ke arah Pak Akhtara secara tidak sengaja untuk mencari kehangatan semalam. Siapa yang salah? Kami b
"Saya dan Rani mau izin pulang kampung, Mbak Jihan." Jika Bik Wati dan Rani pulang kampung, lalu siapa yang akan mengurus rumah ini? "Berapa lama, Bik?" Bik Wati tidak segera menjawab, melainkan berpikir sejenak dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. "Kira-kira satu sampai dua bulanan, Mbak Jihan." Aku menaikkan kedua alis mendengar ucapannya. Bukankah itu artinya aku dan Pak Akhtara akan berada di rumah ini berdua saja selama itu? Membayangkan satu atap berdua dengan Pak Akhtara mendadak bayanganku persis dengan apa yang kami alami kemarin di Puncak. Tapi .... Ah .... aku terlalu buruk menilai Pak Akhtara yang buktinya kini merasa terhina dengan dugaannku yang tak terbukti. Seharusnya aku tidak perlu takut bersama beliau karena ia bukan lelaki penggoda. "Kok lama, Bik?" "Emaknya Bibik sakit keras, Mbak. Saudara-saudara Bibik yang lain udah pada angkat tangan. Jadi Bibik harus pulang. Dan Rani pengen ikut pulang sekalian." Kepalaku hanya mengangguk pelan. "Rencananya pul
Usai menyantap makan siang dengan keheningan bersama Pak Akhtara, kami semua yang ada di rumah ini berkumpul. Pak Akhtara, aku, Bik Wati, dan Rani tengah duduk bersama di ruang makan. Tujuannya adalah untuk mendengar alasan Bik Wati yang mendadak ingin pulang kampung. Alasannya sama dengan yang Bik Wati katakan padaku tadi. Bahwa Emaknya sedang sakit keras di kampung halaman dan tidak ada saudara yang bisa merawat. Tidak hanya itu, Bik Wati juga berniat meminjam sejumlah uang pada Pak Akhtara untuk bekal hidup di kampung. Barangkali tabungannya tidak cukup. "Saya kasih lima belas juta, Bik. Nggak usah dikembalikan. Anggap sebagai ucapan terima kasih saya karena selama ini Bibik dan Rani udah kerja dengan baik." Bik Wati menerima uang itu dengan senyum tulus yang bahagia. "Terima kasih banyak, Pak Akhtara. Terima kasih. Semoga Bapak sehat, bahagia, dan langgeng selalu dengan Mbak Jihan. Rumah tangganya selalu dilimpahi keberkahan." Lha? Mengapa doanya menjadi mengikutsertakan