Share

3). Gadis Gila

***

"Pak, kok saya diginiin sih, Pak? Saya kan barusan udah bilang kalau saya bukan orang gila! Saya seriusan mantannya Rajendra dan saya mau balas dendam sama dia, Pak! Please, Bapak bantuin saya karena kalau enggak dikasih pelajaran, Rajendra akan semakin berulah dan korbannya akan semakin banyak! Bapak mau emangnya saudara kembar Bapak memakan lebih banyak korban? Mau?"

Sambil terus meronta dari pegangan dua satpam yang kini mencekalnya, seruan panjang lebar tersebut lantas dilontarkan Kalania pada Rainer yang kini berdiri pada jarak beberapa meter.

To the point mengungkap tujuan datang ke kantor Rainer,  respon yang didapatkan Kalania memang di luar dugaan karena alih-alih bersedia, Rainer justru menuduhnya macam-macam.

Orang gila lepas dari rumah sakit jiwa.

Itulah tuduhan pertama yang dikatakan Rainer padanya dan sebagai orang waras, Kalania tentu saja tak terima sehingga sejelas mungkin dia mengatakan kronologi putusnya dengan Rajendra dan alih-alih tertarik dengan tawaran yang dia berikan, Rainer justru mengusirnya.

Kalania langsung pergi? Tentu saja tidak, karena tak menyerah begitu saja, dia terus membujuk Rainer untuk menjadi pacarnya. Tak sungguhan, Kalania mengatakan jika dia dan Rainer bisa melakukan pacaran kontrak.

Namun, tetap saja saudara kembar Rajendra itu tak tertarik sehingga setelah diusir secara baik-baik, Kalania akhirnya diusir dengan cara ditarik oleh satpam yang dipanggil Rainer ke ruangan kerjanya.

"Saya enggak peduli," kata Rainer dengan raut wajah dingin yang tak berubah sejak tadi. "Mau berapa banyak korban Rajendra, saya enggak mau tahu karena itu bukan urusan saya. Lagipula saya bukan orang gabut yang mau diajak pacaran sama kamu. Jadi silakan pergi dan jangan kembali lagi."

"Pak, tapi kan-"

"Bawa keluar, Pak satpam. Saya banyak kerjaan," potong Rainer sambil melangkah menuju meja kerjanya sementara Kalania diseret keluar dan tak bisa lagi melawan, pada akhirnya gadis itu kalah sehingga suasana ruangan Rainer pun kembali hening.

"Gadis gila," celetuk Rainer sambil mendudukan dirinya di kursi. "Rajendra apa enggak bisa sedikit pilih-pilih ya cari pacar, sampai gadis gila kaya gitu dipacarin? Aneh."

Membuka macbook kemudian melanjutkan pekerjaan tanpa pusing memikirkan Kalania, itulah yang dilakukan Rainer selanjutnya sementara Kalania sendiri kini sudah sampai di lobi dan karena terus dipegangi, atensi beberapa orang di sana tentu saja tertuju padanya—membuat rasa malu kini mendadak datang.

"Lepasin ih, Pak! Saya juga enggak akan kabur kali," kata Kalania sambil berusaha melepaskan tangannya dari satpam.

"Enggak bisa, kamu harus kami antar sampai ke luar biar enggak bikin kekacauan," kata salah satu satpam dari sebelah kiri Kalania. "Lagian berani banget kamu aneh-aneh sama Pak Rainer."

"Ya kenapa harus enggak berani? Orang dia manusia, kan? Bukan setan," celetuk Kalania dengan raut wajah kesal. "Gini deh, anterinnya udah sampai sini aja dan saya janji enggak akan nemuin Pak Rainer lagi, tapi sebelum itu tolong bantuin saya dulu karena saya serius waras."

"Bantu apa?"

"Kasihin nomor saya ke Pak Rainer," kata Kalania. Ditolak mentah-mentah, dia memutuskan untuk tak menyerah begitu saja karena selain hasrat balas dendam pada Rajendra, Kalania juga tertarik pada sosok Rainer yang menurutnya dingin dan misterius sehingga dekat dengan pria itu mungkin akan membuatnya senang. "Enggak cuman saya yang mau pergi tanpa bikin kekacauan, saya juga bisa kasih kalian uang rokok. Gimana, setuju?"

Berhenti melangkah, selanjutnya itulah yang dilakukan kedua satpam dan hal tersebut membuat Kalania melakukan hal serupa.

"Berapa uang rokoknya?" tanya salah satu satpam yang nampaknya tertarik pada penawaran Kalania.

"Lima puluh ribu seorang gimana?"

"Seratus baru mau."

"Deal," kata Kalania sambil mengulurkan tangannya pada kedua satpam di dekat dia secara bergantian. "Masing-masing seratus, tapi kasihin nomor hp saya ke Pak Rainer."

"Oke."

Secercah harapan datang, Kalania tentu saja tak menyia-nyiakannya sehingga dengan segera dia bergegas menuju meja resepsionis untuk meminta selembar kertas juga bolpoint dan tanpa ba bi bu, dia menuliskan nomornya di sana—dengan harapan; Rainer akan menghubunginya di lain waktu.

"Nih," kata Kalania sambil menyerahkan kertas berisi nomor ponsel juga dua lembar uang seratus ribu. "Awas ya kalau ini enggak sampe. Saya doain Bapak berdua bisulan di jidat."

"Amit-amit, Mbak."

"Makanya sampein."

"Iya, Mbak. Tenang aja."

"Bagus."

Bubar, selanjutnya Kalania dan dua satpam tersebut mengambil jalan berbeda karena ketika Kalania pada akhirnya memutuskan untuk keluar, dua satpam yang membawanya justru kembali menuju lift yang selanjutnya naik ke lantai atas dan cukup amanah, salah satu satpam berjalan menuju ruang kerja Rainer.

"Degdegan," gumam satpam tersebut sebelum akhirnya mengetik pintu dan selang beberapa detik, suara Rainer terdengar.

"Siapa?"

"Satpam yang tadi, Pak."

"Masuk."

Tak menimpali lagi ucapan singkat Rainer, satpam tersebut lantas membuka pintu dan sosok dingin Rainer kini memandangnya—membuat degupan jantung satpam bertubuh cukup gempal itu mendadak tak tenang.

"Ada apa?" tanya Rainer. "Oh ya gadis gila tadi apa udah berhasil kamu usir?"

"Sudah, Pak, tapi sebelum pergi dia nitipin sesuatu."

"Apa?"

Tak langsung menjawab, satpam tersebut memilih untuk melangkah menghampiri meja kerja Rainer dan yaps! Dia lantas menyimpan lipatan kertas yang dibawanya di atas meja.

"Itu apa?" tanya Rainer sambil menaikkan sebelah alis.

"Kurang tahu, Pak, tapi tadi Mbaknya baru mau pergi kalau saya kasih itu ke Bapak."

"Oh," kata Rainer. "Ya sudah sana kembali ke bawah dan pastikan gadis gila itu enggak kembali."

"Baik, Pak."

Tak menunggu Rainer membuka lipatan kertas yang dia bawa, satpam suruhan Kalania akhirnya pamit undur diri dan sepeninggalnya sang satpam, Rainer mengulurkan tangan untuk membuka lipatan kertas di atas meja dan voila! Sebuah tulisan yang menurut Rainer alay, terpampang dengan nyata.

081222××××××, itu nomor saya ya Pak Rainer yang terhormat, jangan lupa dihubungi karena cepat atau lambat, Bapak pasti tertarik sama tawaran saya. Meskipun sekarang keuntungannya cuman ada buat saya, tapi nanti saya yakin Bapak akan merasa untung juga karena ya ... saya lumayan cantik. Oh ya, nama saya Kalania Sea Irawan ya, Pak. Tadi kayanya kita belum sempat kenalan. Kalau mau manggil, sebut aja Kala ya, Pak. Pake cantik juga boleh hehe."

Selesai membaca tulisan Kalania, Rainer berubah pikiran? Tentu saja tidak, karena alih-alih melengkungkan senyuman tipis, dia justru memasang raut wajah tak simpati sebelum akhirnya meremas kertas yang dia pegang lalu boom! Rainer membuang remasan kertas tersebut di tong sampah yang berada persis di samping kursi.

"Dia bukan cuman gila kayanya, tapi sinting."

Tak terlalu mengambil pusing kedatangan bahkan surat dari Kalania, setelahnya Rainer memutuskan untuk fokus dengan pekerjaan hingga akhirnya sore pun tiba dan Rainer tentu saja bersiap-siap untuk pulang.

Tak pergi ke mana-mana setelah pulang dari kantor, Rainer memutuskan untuk langsung menuju rumah dan setelah lebih dari setengah jam di jalan, dia tiba.

Memarkirkan mobil di garasi, Rainer bergegas menuju rumah dengan setelan yang masih rapi dan sesampainya di ruang tengah, dia disambut sang Mama yang terlihat turun dari tangga.

"Anak ganteng Mama udah pulang," sambut Aleora dengan senyumannya.

"Ma."

Diam dan menunggu sang mama, itulah yang dilakukan Rainer hingga tak berselang lama Aleora pun sampai di depannya—membuat dia dengan segera meraih punggung tangan sang mama untuk kemudian dicium.

"Gimana kerjaan kamu hari ini? Lancar?"

"Lancar, Ma, Alhamdulillah," kata Rainer. "Mama sendiri di rumah gimana? Asyik?"

"Asyik dong," kata Aleora. "Tadi siang Mama kebetulan habis teleponan juga sama teman lama Mama dan kita ngobrol banyak hal termasuk tentang jodoh."

"Jodoh?" tanya Rainer. "Jodoh siapa emangnya, Ma?"

"Jodoh kamulah, jodoh siapa lagi emangnya?" tanya Aleora. "Mama tuh tadi teleponan sama salah satu staf di penerbitan Om kamu dulu dan ternyata dia sekarang punya penerbitan yang cukup terkenal juga dan yang kelola anaknya."

"Lalu?"

"Anaknya perempuan, Rai, kamu enggak tertarik gitu?" tanya Aleora. "Sejak ditinggal nikah sama Sellina, kamu kayanya belum pernah punya pacar lagi. Khawatir deh Mama."

"Khawatir kenapa? Aku normal kok."

"Terus kenapa belum ada pacar?" tanya Aleora. "Rajendra banyak, kamu malah enggak ada sama sekali."

"Ya-"

"Mama jodohin kamu sama anak teman Mama itu," kata Aleora—memotong ucapan Rainer dengan sengaja. "Karena anak Mama juga belum punya pasangan, tadi Mama sama teman Mama sepakat buat kenalin kalian dan kalau cocok, Mama sama teman Mama mau jodohin kamu sama anak teman Mama. Calista namanya, cantik lho."

"Ma," panggil Rainer. "Aku kan-"

"Dua puluh delapan, Rai," potong Aleora. "Usia kamu sekarang udah segitu dan kamu harusnya udah nikah karena Papa aja nikahin Mama pas dua tujuh. Rajendra sama Aisha sepakat buat enggak langkahin kamu. Jadi kalau kamu enggak nikah-nikah, kapan mereka bisa nikah? Mau jadi bujang sama gadis lapuk bersama emangnya?"

Tak menjawab, Rainer memilih diam dengan perasaan yang bingung karena jujur, dia tak suka dijodohkan dengan siapa pun. Ingin mencari pasangan sendiri, itulah prinsipnya sampai sekarang meskipun sulit untuk direalisasikan karena setelah cinta pertamanya menikah dengan orang lain, Rainer seperti mati rasa sehingga untuk tertarik lagi pada perempuan rasanya susah.

"Mama udah atur kencan pertama kalian malam minggu nanti," kata Aleora—kembali buka suara. "Kamu datang dan kenalan ya. Siapa tahu cocok dan bisa dijadiin pasangan. Mama dukung penuh soalnya."

Masih tak menjawab, Rainer konsisten dengan diamnya hingga tak berselang lama Aleora berpamitan untuk pergi ke dapur dan melangkahnya sang mama membuat dia teringat sesuatu, sehingga sebelum Aleora semakin menjauh, Rainer buka suara.

"Ma."

Aleora berhenti bahkan berbalik. "Iya, kenapa?"

"Aku enggak bisa kenalan atau dekat sama anak dari teman Mama itu karena aku punya pacar," ucap Rainer yang berhasil membuat Aleora kaget sehingga tanpa menunda, perempuan itu buka suara.

"Pacar?" tanya Aleora.

"Iya, Ma. Pacar."

"Siapa, Rainer? Kok sebelumnya kamu enggak cerita sama Mama?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
wah mau di jodohkan si Rainer
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
sekarang aja kamu katain gadis gil besok jadi istri mu tau
goodnovel comment avatar
Bhoenciz Poenya
wkwkwk pasyi lgsg kepikiran sama kala ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status