Share

4). Menunggu Panggilan

***

"Ck."

Menarik kedua tangannya dari laptop yang sejak tadi dipakai, Kalania berdecak dengan rasa kesal yang tiba-tiba saja datang. Pikiran buyar lalu konsentrasi hilang, selanjutnya itulah yang terjadi setelah ponsel yang disimpannya di dekat laptop, tak kunjung berbunyi.

Padahal, setelah memberikan nomor ponselnya pada Rainer siang tadi, Kalania berharap malam ini pria itu meneleponnya untuk mengungkap ketertarikan atas ajakan dia siang tadi.

Namun, sepertinya Kalania memang terlalu berharap karena jangankan telepon, pesan saja tak dikirim Rainer—membuat dia tentu saja frustasi sendiri karena selain memacari pria itu, dia tak tahu harus menggunakan cara apalagi untuk balas dendam pada Rajendra.

"Ini Rainer serius enggak tertarik nih sama tawaran gue?" tanya Kalania setelahnya. "Cantik lho gue tuh. Masa dia enggak mau sih? Lagian lihat adiknya permainin banyak cewek, dia enggak simpati apa? Ah, apa jangan-jangan Rainer sebelas dua belas sama Rajendra?"

Tak ada yang menjawab pertanyaannya, setelah itu suasana di kamar Kalania hening karena memang selain dia, tak ada lagi siapa pun dan tak hanya di kamar, di unit apartemen yang ditempati, Kalania benar-benar sendiri.

Kalania yatim piatu? Tentu saja bukan, karena sampai sekarang kedua orang tuanya masih hidup. Namun, memang tak lagi bersama setelah sang mama berselingkuh dengan pria lain saat Kalania duduk di bangku kelas tiga SMA.

Orang tuanya resmi bercerai, Kalania ikut tinggal bersama sang papa sampai akhirnya ketika usia dia sampai di angka dua puluh, Lukman—sang papa memutuskan untuk kembali menikah dan setahun pasca Lukman menikah, Kalania meminta untuk dibelikan apartemen karena tinggal bersama sang mama tiri yang usianya tak jauh berbeda dengan dia, Kalania canggung.

Dikabulkan, pada usia dua puluh satu tahun Kalania mulai tinggal di salah satu apartemen dan karena usianya sekarang sudah menginjak dua puluh enam, Kalania terhitung lima tahun tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya.

Nyaman? Ya, itulah yang Kalania rasakan selama beberapa tahun terakhir karena tak dikekang aturan, dia bisa menjalani kehidupannya dengan bebas bahkan untuk pekerjaan, Kalania tak dituntut masuk ke perusahaan Lukman.

Tak masuk perusahaan sang Papa, Kalania menganggur? Tentu saja tidak, karena meskipun jarang keluar dari apartemen, dia memiliki pekerjaan yang digeluti yaitu; menulis novel.

Ya, Kalania seorang penulis novel dan profesi tersebut sudah dilakoninya hampir tiga tahun. Berawal dari coba-coba mempublikasikan cerita yang dia buat di sebuah platform, sampai detik ini Kalania sudah menerbitkan tiga buah buku cetak dan jika tak ada kendala, sekitar dua bulan ke depan dia akan menerbitkan buku keempatnya setelah salah satu penerbit meminang naskah yang dia buat.

"Telepon Tami deh, biar enggak galau," ucap Kalania setelahnya. Tak lagi duduk, yang dia lakukan selanjutnya adalah beranjak dari kursi kemudian menyambar ponsel. Tak di kamar, Kalania berjalan menuju balkon apartemen dan di sana dia menghubungi Tami.

"Halo, Kal. Kenapa?"

"Rainer enggak hubungin gue sampe sekarang, Tam, gimana dong?" tanya Kalania yang langsung mengungkap keresahan di dalam hatinya.

"Ya itu berarti dia emang enggak tertarik sama lo," kata Tami apa adanya. Tahu tentang apa saja yang terjadi pada Kalania siang tadi setelah sang sahabat bercerita, selanjutnya dia berkata, "Lagian to the point banget lo langsung ngajak dia pacaran. Takut, kan, jadinya Rainer?"

"Ya kan niat gue juga bukan pacaran asli, Tam," kata Kalania setengah mendesah. "Gue mau ngajak dia pacaran pura-pura sampe Rajendra kapok."

"Ya tahu, tapi kan Rainer tetap aja kaget kalau lo mintanya blak-blakkan, Kalania," kata Tami. "Mau pura-pura atau enggak, seharusnya lo pendekatan dulu. Slowly but sure gitu lho maksud gue. Udah dikasih tahu kalau Rainer itu dingin, masih aja grasak-grusuk. Gitu, kan, jadinya? Diusir bahkan disangka orang gila. Masih untung enggak dianterin ke RSJ tadi lo sama Rainer, Kal."

"Ish lo tuh," desah Kalania. "Bukannya hibur malah mojokin gue. Nyebelin. Lagian lo juga enggak ngasih tahu stepnya dari awal. Salah langkah, kan, gue?"

"Ya gue pikir lo enggak bego-bego banget, Kal, tapi ternyata super bego," kata Tami tanpa basa-basi. Berteman sejak zaman SMA, dia dan Kalania memang sudah seperti saudara sehingga selain selalu ada ketika salah satu kesusahan, keduanya juga tanpa ragu saling menjudge ketika kesalahan dilakukan keduanya. "Udah mah gampang dibegoin Rajendra, sekarang malah bikin ilfeel Rainer. Susah deh habis itu."

"Terus gimana dong?" tanya Kalania dengan raut wajah merajuk. "Gue serius mau balas dendam sama Rajendra biar dia kapok."

"Ganti rencana."

"Rencana apa?"

"Ya kan kemarin targetnya Rainer, nah sekarang ganti."

"Jadi siapa?" tanya Kalania penasaran.

"Bokapnya," celetuk Tami. "Nikahin tuh Bapaknya Rajendra biar lo jadi ibu tirinya mantan lo. Itu sih balas dendam terbaik."

"Duda emangnya?" tanya Kalania yang memang belum tahu apa-apa tentang keluarga Rajendra, karena dua bulan berpacaran, dia tentunya belum sempat bertanya lebih jauh.

"Enggak," celetuk Tami. "Ada istri alias Mamanya Rajendra dan Rainer, cuman kan kali aja lo niat jadi istri muda gitu. Kaya lo keluarga mereka. Lumayan, kan?"

"Kampret," umpat Kalania yang disambut tawa renyah dari sang sahabat. "Seputus asanya gue,  enggak mau ya gue jadi istri muda terus rebut kebahagiaan orang. Cukup Papa gue aja yang istrinya direbut, orang lain jangan. Najis banget jadi pelakor."

"Selow, Kal, selow," kata Tami di sisa tawa yang masih tersisa. "Ngegas banget kayanya lo."

"Ya gimana enggak ngegas kalau omongan lo ngawur?" tanya Kalania. "Dimintain saran baik-baik, malah ke mana-mana."

"Lagi pusing gue, Kal, banyak kerjaan. Jadi untuk sementara waktu otak gue kayanya buntu dulu. Maaf ya," kata Tami. "Coba lo tunggu aja sampai besok, siapa tahu keajaiban datang."

"Keajaiban apa?"

"Ya Rainer," kata Tami. "Setelah nolak lo mentah-mentah bahkan ngatain lo pasien RSJ kabur, siapa tahu Rainer kena karma sampai akhirnya dia butuh lo duluan. Nasib manusia kan enggak ada yang tahu. Iya enggak?"

"Ya iya sih, cuman kenapa gue yang pesimis ya sekarang?" tanya Kalania. "Kalau ingat lagi respon Rainer tadi siang, enggak tahu kenapa kayanya kecil banget kemungkinannya Rainer butuh gue."

"Kan," desah Tami. "Giliran gue nyemangatin, lo malah pesimis. Gimana sih, Kal? Udah deh sana sekarang lo nulis aja. Buku lo mau terbit dua bulan lagi, kan? Sana kelarin revisinya biar cepat jadi duit. Terbit buku dan banyak yang beli kan banyak lagi tuh duit lo dan kalau lo banyak duit, gue bakalan kecipratan. Iya, enggak?"

"Tahu deh."

"Jangan ngambek dong Kalkalku sayang," bujuk Tami lembut. "Malam ini gue emang pusing, tapi enggak tahu besok. Jadi tunggu aja ya, siapa tahu gue ada ide brilian lain buat lo balas dendam karena benar kata lo, Rajendra enggak akan kapok kalau dikasih pelajaran. Mentang-mentang digilai banyak cewek, dia jadi seenaknya."

"Emang," kata Kalania. "Udah deh kalau gitu gue mau tidur dulu. Ngantuk."

"Enggak lanjutin revisi?"

"Males," celetuk Kalania. "Enggak mood gue. Besok aja. Lagian masih jauh sama deadline juga."

"Ya udah gimana lo aja deh. Senyamannya Princess Kalania."

"Ye," celetuk Kalania. "Lo juga tidur sana biar enggak telat ke kantor. Jadi budak koporat kan harus bangun pagi terus. Gue dong, bangun jam sepuluh juga enggak akan ada yang negur."

"Iya deh iya yang freelancer iya," kata Tami. "Jangan terlalu santai, Kal, awasin juga Ibu tiri lo karena siapa tahu aja kan diam-diam dia mau ambil alih harta bokap lo. Alasan nikah aja pasti karena uang, kan? Jadi jangan lengah tuh kalau enggak mau harta Om Lukman raib."

"Tahu ah gue pusing," kata Kalania. "Sejauh ini dia enggak macam-macam sih bahkan sikapnya juga baik, cuman enggak tahu tuh di belakang."

"Intinya jangan terlalu percaya aja sama orang asing," kata Tami. "Cukup percaya sama gue karena gue kan terbukti kesetiannya."

"Yayaya."

Tak memperpanjang obrolan, setelahnya Kalania memutuskan sambungan telepon dengan Tami dan tak langsung masuk, yang dia lakukan pasca selesai mengobrol adalah; diam sambil menikmati semilir angin malam hingga ketika rasa dingin melanda, dia beranjak.

"Rainer seriusan enggak mau nih?" tanya Kalania ketika kini dia kembali masuk ke dalam kamar. "Jahat banget."

Tak mau larut memikirkan Rainer, pada akhirnya sekitar pukul sembilan Kalania memutuskan untuk tidur dan karena tengah datang bulan, dia tak memasang alarm pukul lima sehingga ketika pagi menjelang, Kalania masih bergelut dengan selimut.

Jam tujuh dan jam delapan terlewat, Kalania masih terlelap hingga sekitar pukul sepuluh pagi dering ponsel yang terdengar dari atas meja membuat dia terbangun.

Membuka mata dengan kepala yang pusing, Kalania mengambil ponselnya tersebut tanpa bangun lebih dulu dan ketika mendapati sebuah nomor baru terpampang di layar, kerutan di kening terbentuk.

"Siapa ya?" tanya Kalania dengan suara parau. Tak menunda, setelahnya yang dia lakukan adalah; menjawab panggilan dan tanpa bangun lebih dulu, Kalania buka suara. "Halo, siapa ini?"

"Kalania Sea Irawan?"

Mendengar suara laki-laki di telepon, kening Kalania tentu saja mengernyit hingga selang beberapa detik setelahnya beringsut pun dilakukan dan tak diam, Kalania lekas bertanya,

"Iya, saya. Ini siapa ya? Kok tahu nama lengkap saya?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
nah lo siapa yang nelpon kala rainer kah
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
nah lo siapa yang nelpon kala rainer kah
goodnovel comment avatar
Bhoenciz Poenya
ini emak tiri nya kala,bukan cwek yg prnh pacaran sama rainer kan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status