Brukk!
Laila berhenti melangkah saat mendapati orang tua asuhnya dan teman yang baru dikenalnya itu dalam posisi sedemikian ganjil itu.
Namun yang diperhatikan Ervan bukanlah ekspresi Laila yang terkejut itu. Walau tubuh Adhira mendarat langsung ke permukaan pasir berbatu, kepalanya yang terantuk bagian keras tadi sudah teralasi telapak tangan Ervan.
Sontak Adhira menyingkirkan tubuh Ervan darinya saat mendapati Laila masih terpaku mencerna adegan yang berlangsung di hadapannya itu.
Laila menggaruk kepalanya kikuk. Odin yang turut berlari dengan hasil koleksinya baru tiba beberapa detik kemudian. Mengerti akan situasi ini, Laila menarik anak laki-laki tersebut menjauhi Ervan dan Adhira. Usianya masih muda, tapi mendapati kondisi seperti ini otaknya kembali distimulasi oleh prasangka-prasangka yang membingungkan.
Ervan mengamati dengan lebih saksama bagian belakang tempurung Adhira dari cedera serius.
“Aku tidak apa-apa,”
Aroma rumah sakit yang menyengat membuat Adhira selalu pusing. Jadi dia bergegas menyelesaikan segala prosedur yang dimintakan Ervan dan mengendap di ruang konsultasinya yang bebas dari bau desinfektan itu. Sebelum ke rumah sakit, Adhira sudah membuat lupis dan cemilan ringan untuk Ervan. Dia tahu Ervan tak akan sudi membelinya di pasar atau pinggiran. Adhira membuatkan khusus untuknya.Saat Adhira mendatanginya, seorang perempuan duduk dengan bercucuran air mata di depan Ervan. Dari seragam yang dikenakannya, wanita itu bukanlah pasien.“Kamu sudah tahu konsekuensi yang telah kamu lakukan,” ucap Ervan datar. “Jika tidak ada urusan lagi, silakan tinggalkan ruangan ini.”“Dokter Ervan, saya betul-betul minta maaf. Saya tidak tahu kalau kecerobohan itu mengakibatkan pasienmu….”“Pergilah!” hardik Ervan dengan nada suara yang lebih keras.Baru kali ini Adhira melihat Ervan membentak seorang wanita
Saat jam istirahat Ali pun mendatangi meja Adhira dan Ervan. Dia masih mengenakan pakaian jaga dan topi OK. Berhubung Adhira tanpa sengaja mengajaknya ikut makan siang bersama, dengan semangat Ali pun turun ke ruang makan. Tempatnya tak jauh dari kantin rumah sakit, hanya lebih teduh karena ada pepohonan dan kolam ikan koi di sekelilingnya.“Wah, aku baru tahu kamu bisa memasak,” puji Ali dengan wajah lapar. “Jadi, mana jatahku?”Ervan sudah menarik kotak ketiga ke bawah kotak makanan pertamanya. Jadi wadah yang tersisa hanya nasi liwet yang tinggal separuh beserta lauk dan kuah opor.Ali agak kecewa, tapi karena gratis dia pun tak menolak.“Aku juga tidak menyangka Ervan bisa makan begitu banyak hari ini. Lain kali aku akan buat lebih banyak lagi.”“Tidak perlu,” ucap Ervan. “Aku akan pulang dan makan di apartemen jika kamu membuat makanan.”“Tapi apartemenmu kan jauh.”
Adhira berpikir dia akan menghabiskan waktu lebih panjang di pemakaman Profesor Alan, tapi nyatanya Adhira merenung lebih lama di depan nisan Yasir Pranadipa. Nyawa seseorang telah melayang karena kelalaiannya. Dia tahu Yasir telah membuatnya emosi dan mengakibatkan kematiannya sendiri, namun Adhira tak pernah ingin mencabut nyawa orang yang disayangi oleh sahabatnya sendiri.Walau kini dia bersujud dan meminta pengampunan, tragedi di antara mereka sudah berlalu. Kuswan tak akan pernah lagi tersenyum padanya, mengalungkan tangan di bahunya, dan mengatakan, “Mainkan sebuah lagu dan aku akan berpuisi untukmu.”Kuswan tak akan lagi mau mengajaknya berkubang dalam keonaran dan saling menertawakan kesialan masing-masing, atau menandani rambutnya seperti seekor burung merak. Dia tak akan pernah lagi mendapat teman semenyenangkan itu.Kuswan yang sekarang adalah pria berwajah galak yang siap mengepalkan tangannya setiap melihat Adhira, yang akan memakinya d
Sebenarnya saat Flora mengutarakan motifnya menyelidiki tentangnya, Adhira juga menanyakan beberapa hal padanya, termasuk meminta Flora menceritakan apa yang telah terjadi pada keluarganya dan keluarga Defras.Adhira ingat ketika Genever harus dikeluarkan dari sekolah karena pertikaiannya dengan Raula saat SMA dulu. Dia putus sekolah dan bersama ibunya bekerja di kediaman Defras. Pekerjaan di dapur kediaman Defras tidak membutuhkan banyak keahlian. Dia bertugas mengantar bahan pangan dari pasar untuk dijadikan makanan siap makan.“Gene, kenapa hari ini wortelnya jelek sekali?” ujar ibu pelayan. “Kamu tahu kan Nona Lyra maunya wortel yang warna merah? Bukan yang kuning begini.”“Suruh dia sendiri yang beli ke pasar.” Genever menukas ketus.Wajahnya sebagian sudah berubah menjadi jaringan parut. Kulit yang kontraktur itu menarik sisi leher dan rahang kanannya.“Hush, Gene! Jangan ngomong begitu, tidak e
Mereka menghabiskan banyak waktu sepanjang hari di taman belakang semenjak Myra mengundangnya dalam kelas belajar. Genever sering menunjukkan foto-foto saat dia berjalan-jalan di luar. Setiap gambar yang diperlihatkannya, Myra selalu menatap dengan penuh minat.Satu hal yang akhirnya membuat Genever mengerti, Myra memiliki keterbatasan untuk bisa keluar dari rumahnya. Gadis ini tak pernah mendapat kesempatan seperti anak-anak lainnya. Semias terlalu sibuk untuk mengajaknya jalan-jalan. Dia hanya terkurung di rumah mewahnya ini tanpa pernah melihat dunia luar.Myra ingin melihat laut, menginjak pasir dan membelah ombak, menghirup udara gunung yang sejuk, menari di bawah sinar matahari. Dia selalu mendengar cerita orang-orang. Itu pula yang membuat lukisan lansekap yang dibuatnya tak pernah terlihat hidup. Itu hanya dia tiru dari majalah bekas dengan sedikit imajinasinya sendiri.Genever memperhatikannya untuk beberapa waktu sebelum bertanya, “Myra, apa kamu
Seorang pria berusia separuh abad itu turun dari mobil, diikuti dengan dua pelayan lain.“Papa?”Dengan sedikit geram, dia berkata pada mereka, “Myra, kembali ke mobil. Dan kamu, jangan ajak anak saya keluar lagi setelah ini.”Keduanya tak bisa berkutik saat pelayan tadi menurunkan Myra dari motor Genever dan membawanya masuk ke mobil.“Sudah berapa kali Papa bilang kamu tidak boleh pergi keluar sendiri,” tegur pria itu dalam perjalanan pulang.“Myra kan perginya sama Gene. Bi Iren kan juga mamanya Gene.”“Myra!” bentak Semias pada anak gadisnya tadi. “Kamu ini dibilang malah membantah. Dia itu anak pelayan yang dikeluarin dari sekolahnya karena terlalu bandel. Kamu tidak boleh berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Terus orang-orang yang bagaimana yang pantas? Gene dikeluarkan juga karena dia tidak sengaja menumpahkan air keras itu.”&ld
Lyra dan Ingvar duduk di pelantara depan dengan senyuman tajam.“Bagaimana kencannya?” sindir perempuan itu saat Myra didorong masuk ke dalam rumah.Ingvar yang tak mengerti ucapan Lyra hanya memandang heran. “Myra, ke mana sepatumu?”Myra tahu Ingvar tak bermaksud bertanya karena perhatian padanya. Niatnya lebih dari itu. Dia ingin Myra selalu ditutupi oleh rasa malu sehingga saat kesempatan itu memang muncul, dia kembali menggaungkan cibiran pedas kepadanya.“Untuk apa memakai sepatu kalau tidak dipakai buat berjalan?” cetus Lyra.Myra berlalu tanpa menggubris baik pertanyaan Ingvar atau juga jawaban dari saudara perempuannya yang sangat masuk akal.Sejak kejadian tersebut, Genever tidak pernah lagi muncul setiap dia turun ke dapur atau belajar di taman. Myra berulang kali menitipkan barang untuk diberikan diantarkan oleh Genever, tapi setiap dia meminta Bi Iren mengantar barang, Genever tidak pernah ada
“Akhirnya kau datang juga.”Dari balik pohon beringin tua, suara itu muncul.“Aku sudah menemukan buktinya,” ucap Genever tanpa menoleh. “Dia orang yang telah membunuh ayahku.”Orang itu menepuk bahu Genever, “Sudah kubilang mereka mengasihanimu karena mereka merasa bersalah.”Genever mencekal kedua tangannya penuh amarah, “Berikan aku racunnya.”Dia sudah berdiri di tengah-tengah seutas tali. Tidak ada jalan lain selain melepaskan diri dari dendam yang menjeratnya. Sejak malam waktu ayahnya ditembak dua belas tahun lalu, Genever selalu dihantui bayangan mengerikan. Dia harus menghabisi orang itu sebelum segala yang dimilikinya kembali hilang.Sosok dalam gelap tadi menyodorkan sekantung pakaian serba putih beserta sebuah vial kecil berisi cairan bening kekuningan.“Di dalamnya ada benda yang kamu butuhkan. Jangan salah langkah,” ucap pria itu lagi. “Butuh s