Komen sebanyak-banyaknya.
BAGIAN 102POV INA “Bayu … akan segera bebas dalam waktu dekat ini. Dia dan istri barunya, Tika, akan tinggal bersama kita. Semoga nanti kalau mereka sudah berada di rumah ini, kita akan selalu akur-akur, ya?” Nami berucap dengan nada bicara yang semula terdengar agak canggung. Senyum di bibirnya pun kelihatan getir. Mendengar ucapan Nami barusan, dadaku mencelos. Gemetar seluruh inci tubuhku. Apa? Bayu dan Tika si psikolog bajingan itu akan tinggal di sini? Astaga, bagaimana bisa Bayu bebas dalam waktu sesingkat itu? Dia pembunuh! Dia yang melenyapkan nyawa anakku. Kenapa dia dibebaskan? Siapa yang membebaskannya? Mas Anwar, ini pasti ulahnya! Akan tetapi … aku bisa apa? Hanya bisa kupendam peras
BAGIAN 103POV INA “Iya, Nyonya. Apa pun yang Nyonya minta kepada saya … akan saya usahakan untuk menjalankannya,” kujawab Nami dengan sungguh-sungguh. Seketika itu juga, mata Nami yang memang terlihat cantik itu tampak semakin berbinar. Dia tersenyum tulus. Bahkan lambat laun kian semringah. “Makasih ya, Ina. Aku yakin bahwa kamu itu sudah berubah jauh.” Ucapan Nami sedikit banyak membuatku tersinggung sebenarnya. Apa dia bilang? Berubah? Memangnya ada apa dengan diriku? Kau menganggapku seburuk itu dulunya, Nami? Bedebah! Dasar wanita sok suci. Lagaknya macam malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah dan dosa.&nbs
BAGIAN 104POV NAMI “Ma, Mama yakin menampung orang itu di rumah ini?” Nalen yang memang kuajak untuk bicara empat mata di ruang makan tepat pukul 01.00 dini hari itu terlihat meragu. Anak lelaki yang baru saja pulang dari toko kain milik papa sambungnya tersebut sudah tampak sangat capek. Aku mungkin sudah salah sebab mengajaknya bicara serius selarut ini. Namun, tidak mungkin Nalen tak kuberi tahu. Takutnya, saat pagi tiba dan sarapan berlangsung di meja makan ini, anakku akan bertanya-tanya tentang sosok Ina yang tiba-tiba nangkring di kursi makan bersama kami. “Mama yakin, Nalen. Dia sudah berubah. Yakinlah, Len. Kita kasih dia kesempatan.” Kuraih tangan anakku yang duduk di kursi sebelah. Anak lelaki yang telah beranjak dewasa itu tampak masih kurang setuju. Posturnya yang tingg
BAGIAN 105POV NAMI “Lho, Papa,” ucap Nalen sambil berdiri dari kursi. Aku pun tergopoh ikut bangkit. Memandang suamiku yang lengkap dengan piyama satin berwarna cokelat tua tersebut dengan agak canggung. “Len, baru pulang?” tanya Mas Anwar dengan mata yang menyipit dan langkah kaki yang agak diseret. Suamiku lalu menyodorkan tangannya ke arah Nalen. Anak ganteng itu pun langsung menyambarnya lembut dan mencium tangan papa sambungnya dnegan sangat sopan. “Iya, Pa.” Nalen menjawab singkat. “Rame toko tadi, Len?” Mas Anwar bertanya lagi. Dia langsung menuju ke arah kursi. Kugeser kaki kursi ag
BAGIAN 106POV Ina Mbak Rusmina dan Mas Suwito pun akhirnya pulang dengan menumpangi travel yang disewa oleh Mas Anwar. Pagi-pagi sekali mereka berangkat. Selepas sarapan tepatnya. Aku yang masih belum terlalu fit, meskipun sudah lepas infus ini pun harus menerima kenyataan bahwa tak ada lagi keluarga di sisiku. Aku kini sebatang kara. Persis seperti puluhan tahun yang lalu ketika diriku pertama kali datang ke kota ini untuk mengadu nasib. Sudah kupesankan pada Mbak Rusmina agar dia selalu mengirim pesan kepadaku nantinya. Aku akan minta dibelikan ponsel dan kartu perdana baru oleh Mas Anwar. Sementara nomor kakak kandung dan iparku sudah kucatat di secarik kertas. Aku juga mengingatkan mereka berkali-kali tentang hubungan dengan Mbah Legi yang tidak boleh sampai terputus. Mbak Rusmina menyanggupi. Syukurla
107POV Ina “Kenapa bisa ribut-ribut begini? Ina, kenapa kakimu?” Nami langsung terlihat panik ketika melihatku terus mengusap kaki yang memang langsung berubah tampak kemerahan. Dia pun duduk di sebelahku sambil ikut memegangi kaki ini. “S-sakit ….” Aku berucap lirih. Air mata pun sudah membanjiri di kedua pipi. Wajah Nami langsung jatuh iba bercampur geram. Dengan serta merta, Nami berteriak nyaring ke arah Rahima yang kini berdiri di depan kulkas sambil tertunduk-tunduk malu, “Rah, kamu apakan Ina?” “S-saya … tidak sengaja, Nyah,” sahutnya hampir tak terdengar.
108 POV INA Aku diantar oleh Nami ke kamar. Tangisanku belum mau kuhentikan begitu saja. Tanggung. Biar dulu kunikmati peran ini dengan seindah-indahnya. Supaya kalut hati si Nami. Setelah ini, maka nasib Rahima akan terpelanting jatuh seperti Dijah yang dulu pernah kudepak dari rumah Mas Anwar. Telaten sekali Nami membujukku. Dia menggamit lenganku di sepanjang jalan dari dapur menuju kamar. Tak hentinya dia membujuk supaya aku lekas meredam tangis. Mana aku mau. Sayang dong, kalau air mata ini kuhapus sia-sia. Toh, aku kan, memang tengah ingin banjir air mata. Ini namanya air mata berkah. Air mata pengundang keberuntungan. Sampai di kamar, Nami membawaku ke ranjang. Dia mendudukkanku di tepi dan dia pun langsung ikut
109 POV INA Makan siang akhirnya tiba. Yang menyiapkan? Tentu aku dan Nami. Sedangkan si sialan Rahima, disuruh Nami menyingkir ke kamar untuk introspeksi diri sebelum dia memutuskan akan memberikan hukuman apalagi kepada pembantu kurang ajar tersebut. Masakan hasil kolaborasi aku dan Nami sudah siap tertata di atas meja makan. Nami yang semula bilang kurang enak badan, seketika jadi sembuh. Apalagi setelah kupuji-puji bahwa dia adalah nyonya besar rendah hati yang memiliki banyak keunggulan. Pintar masak, punya ilmu keperawatan yang cukup tinggi, dan sangat pandai berpakaian. Semua kalimat-kalimat omong kosong itu dengan serta merta membua Nami seperti melayang ke awang-awang. Tak hentinya dia senyum-senyum sendirian sepanjang masak bersamaku di dapur kotor. Selamat Nami. Kamu benar-benar sudah masuk ke dalam perangkap besarku. Sup iga sapi, sambal goreng hati sapi, dan acar ketimun-nanas sudah tersusun rapi di atas meja. Nasi panas pun su