ZELINE“Turunin aku di sini aja, Dim. Buka pintunya!” Aku menyentuh handle pintu mobil dan meminta agar Dimas agar membukanya. Aku sudah tidak tahan lagi mendengar penghinaan Dimas untukku dan Jevin.“Kamu mau ke mana?” “Aku mau turun di sini. Aku nggak jadi ketemu sama keluarga kamu. Lebih baik kita batalin.”Dimas mencetak senyum miring di bibirnya. Senyum yang baru kali ini aku lihat. Dia benar-benar sudah berubah. Begitu drastis dan tidak terduga.“Kita sudah sejauh ini dan kamu bilang mau batal? Terlambat, Zel.”“Belum terlambat,” sanggahku. “Hubungan kita masih baru dan belum ada apa-apanya. Lebih baik kita akhiri semua sekarang dari pada nanti saat semua sudah jauh.”Alih-alih akan menerima saranku, Dimas menekan pedal gas lebih dalam, meningkatkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Caranya melampiaskan emosi membuatku kaget. Tindakan Dimas jauh di luar prediksiku.“Dan sekarang kamu bisa bilang begitu karena sudah ketemu dia. Jujur aja, Zel. Kamu ingin kita putus lalu kamu k
JEVINZeline masih berada di dalam dekapanku. Air matanya yang banjir membasahi dadaku. Aku membiarkannya menangis selama yang dia mau. Walau mungkin jika suaminya tahu pria itu berkemungkinan membakarku hidup-hidup. Untung nggak ada Kaka, jadi aku bisa dengan leluasa memeluk Zeline.Tadi setelah Zeline dan Dimas meninggalkan rumah, aku juga pergi membuntuti mereka. Untungnya lagi Kaka bisa dibujuk sehingga tetap tinggal di rumah.Cinta membuatku menjadi penguntit yang andal.Aku tiba di rumah Dimas lalu menunggu di seberang jalan. Menanti puluhan menit, akhirnya pasangan itu keluar dari rumah. Namun yang mengejutkanku adalah saat melihat Dimas menyeret Zeline dengan kasar. Bahkan aku bisa melihat ringisan di wajah Zeline. Demi apapun aku nggak rela Zeline disakiti. Dan sekarang tangisan Zeline memberiku keyakinan yang kuat bahwa hubungan keduanya tidak baik-baik saja. Mereka bermasalah.Kuusap punggung Zeline lembut. Lalu kucium puncak kepalanya dengan hangat.“Dia nyakitin kamu?” ta
JEVINDimas tak kuasa menyembunyikan rasa kejutnya saat melihat aku merangkul Zeline. Dari rahangnya yang mengetat aku tahu kalau dia marah. Salah sendiri. Siapa suruh kasar pada perempuan. “Siang, Mas Javas,” sapanya pada Javas.“Siang, Dim.” Javas tersenyum hangat.“Aku minta izin sebentar mau bicara sama Zeline, Mas. Boleh kan?"Sungguh dia begitu sopan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangatlah santun. Sampai-sampai kalau bukan melihat sendiri perlakuannya pada Zeline tadi rasanya aku nggak akan bisa percaya kalau dia mampu bersikap kasar.“Tentu boleh. Serius amat ngomongnya. Silakan, Dim.” Javas menjawab lalu melirik Zeline. Matanya nyalang melihat tanganku yang dikait Zeline.Zeline tidak bergerak. Dia masih membisu di sebelahku. Ya, aku tahu kelemahan Zeline. Dia memang paling nggak bisa dikasari. Sikap dan tindakan kasar yang melukai hatinya akan membuatnya trauma. Javas kemudian mengirim sinyal dengan tatapannya yang tajam agar aku bergerak.Tahu diri, aku melepas tang
ZELINE“Nggak mungkin, Zel. Mbak nggak ngizinin kamu.”Itu jawaban yang kudengar dari Mbak Zoi saat aku menyampaikan rencana berangkat ke Semarang berdua dengan Jevin.“Tapi aku udah iyain, Mbak. Dia juga udah beliin tiket pesawat.” Pada awalnya mati-matian kutolak ajakan Jevin. Tapi dia dengan segala effort-nya berhasil membuatku luluh.“Gimana sih kamu?” kata Mbak Zoi menyayangkan sikapku. “Kamu lupa sikap denial Mama dan Papa sama Mas Jevin? Nggak ada kapoknya ya?!” Mbak Zoi marah padaku.Aku sudah menceritakan tentang hubunganku yang telah selesai dengan Dimas pada Mbak Zoi dan Mas Javas. Awalnya mereka tidak terima dan menyalahkanku. Tapi ketika mendengar keteranganku dengan lebih detail keduanya tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Kamu nggak tahu apa-apa, Zel, banyak yang terjadi saat kamu pergi.”“Maksud, Mbak?” Aku memperdalam tatapanku pada kakakku itu.Mbak Zoi membuang napas berat sebelum mulai bercerita. Membuatku penasaran pada peristiwa apa saja yang terjadi selama aku t
ZELINESudah sejak tadi aku memandangi Jevin yang fokus menyetir. Berbagai pikiran berputar-putar di kepalaku yang semuanya bermuara pada satu nama. Jevin.Betulkah sampai saat ini Jevin masih mengalami amnesia?Benarkah hanya aku satu-satunya yang mengisi memorinya? Terlihat dari luar Jevin baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengalami sesuatu yang berat di dalam hidupnya. Jevin juga tidak terlihat mengalami depresi. Dia tampak normal dan sehat secara kejiwaan. Lalu aku teringat sesuatu. Yang namanya penyakit mental tidak bisa tertebak dari luar.“Jev ...” Aku memanggilnya pelan.“Ya?” Jevin menoleh padaku. Membagi atensinya sejenak dari jalan raya di hadapan kami.“Kamu ... baik-baik saja?” tanyaku hati-hati.“Dari konteks mana dulu?” Jawaban Jevin jauh di luar dugaanku. Tadinya aku pikir dia akan menjawab iya.“Dari konteks mana saja.”Jevin terdiam sesaat lantas memandang lurus pada jalanan di depannya. “Jadi kamu sudah tahu semuanya? Tentang—“ Jevin menjeda kata. D
ZELINEMama dan Papa ikut memandang pada mobil yang berlalu pergi. Kerutan dalam terlihat jelas di dahi mereka. Tapi kemudian perhatian keduanya teralihkan oleh celetukan Kaka yang polos seperti biasanya.“Oma, Opa, long tem no si Kaka linduuuu …”Mama langsung menyambut cucunya lalu memeluknya erat.“Oma sama Opa juga rindu sama Kaka. Udah lama banget Kaka nggak ke sini. Mama sama Papa mana? Kenapa nggak ikut?”“Papa sibuk, Mama kan ulus Bimbi, Oma.”Mama tersenyum sambil membelai kepala Bjorka, lalu anak itu pindah pada kakeknya.Setelah selesai giliran Bjorka giliran aku melepas rindu dengan Mama dan Papa.“Tadinya kalau kamu masih di Jakarta rencananya Mama sama Papa bakal nyusul kamu ke sana,” ucap Mama padaku. “Bener kan, Pa?” Mama melirik Papa meminta dukungan padanya.Papa mengangguk mengiakan lalu menatapku dengan sorot yang dalam ketika aku menunjukkan ijazah dan transkrip nilai sebagai bukti perjuanganku selama dua tahun ini.“Papa bangga sama kamu, Zel, kamu nggak pernah g
ZELINESedari kecil aku diajarkan untuk bersikap sopan kepada kedua orang tua dan mematuhi mereka apapun keadaannya. Aku tumbuh menjadi anak yang patuh dan hampir tidak pernah melawan mereka. Lalu ketika dihadapkan pada pilihan ini aku merasa bimbang.Papa adalah orang tua kandungku yang sangat aku hormati. Tidak terhitung lagi berapa banyak jasa dan pengorbanan Papa untukku. Sedangkan Jevin adalah cinta pertamaku. Jadi ketika dihadapkan pada pilihan untuk memilih salah satu di antara mereka tentu saja sulit buatku.“Jawab sekarang, Zel, tentukan pilihan kamu. Aku nggak meminta kamu untuk jadi anak yang durhaka pada orang tua. Tapi kalau bukan begini aku nggak punya cara lain. Kamu dengar sendiri mereka nggak menyetujui hubungan kita sekeras apapun kita berusaha meyakinkan,” kata Jevin mendesakku.Aku melihat Mama mengaitkan tangan ke lengan Papa dengan ekspresi yang semakin tegang. Sedangkan Papa masih dengan sorotnya yang khas, tenang dan berwibawa.Ini bukan pilihan. Aku sama-sama
JEVIN“Kita ke mana, Jev?” tanya Zeline padaku begitu kami meninggalkan rumah.“Ke kantor KUA,” jawabku lugas.“Jev, jangan main-main!” tegur Zeline penuh peringatan.Aku nggak main-main. Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku akan menikahi Zeline secara resmi tapi tentu bukan sekarang. Masih ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti dokumen pengantar ini itu dan segala macam, yang tentunya akan membutuhkan waktu.“Zel, kita ke puncak sekarang,” cetusku impulsif.“Ngapain?” tanya Zeline tak mengerti.“Nikah.” Aku tahu tempat yang kusebut merupakan tempat yang awam untuk menikah secara agama. “Kita nikah secara agama dulu, Zel, nanti setelah syarat-syarat lengkap baru kita nikah secara resmi,” jelasku lebih lengkap.Zeline ternganga, terkejut tak percaya pada ide gilaku.“Are you insane?”Aku memang nekat, tapi inilah satu-satunya jalan yang harus kutempuh sebelum Mami atau Papi kepikiran untuk menyewa orang untuk mencari kami lalu memisahkan aku dan Zeline.“Kita nggak banyak wa