Anggun tertegun. "Pa. Kita kan lagi bahas perjodohan anak kita, kenapa bahasa papa begitu? Emang jodohin anak kudu ada konsepnya gitu?" Dermawan terkekeh melihat wajah bingung istrinya. "Maksud papa, kita diam-diaman aja dulu. Jangan beritahu mereka kalau kita sedang bergerilya mencarikan mereka calon istri." "Mereka? Papa mau cari mantu dua sekaligus?" "Maunya begitu, tapi keliatannya satu dulu aja ya. Nanti kalau ternyata berhasil, baru kita cari lagi untuk yang kedua kalinya." "Haduh, Papa ini. Cari calon mantu kok seperti cari pakaian aja." "Ya kan kalau itu baik kita teruskan metode perjodohan tapi kalau tidak baik ya biar saja mereka mencari sendiri calon istri mereka." Anggun mendesah. "Kalau cari sendiri, bisa-bisa mama jadi nenek-nenek baru bisa dapat cucu." "Ya, sudah. Sekarang doanya mama dibanyakin dan dikencengin. Doa in anak-anak kita cepet dapet jodohnya, cepet pula dapat anaknya. Jadi, Mama nggak perlu jadi nenek dulu baru dapat momong cucu." "Dah. Papa berangk
Arya langsung terbatuk mendengar penuturan jujur Mega. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat wanita di depannya ini berhenti melakukan hal konyol untuk menarik perhatiannya? "Untuk apa Bu Mega membuat video tentang saya? Ibu mau menulis autobiografi tentang saya?" tanya Arya keheranan. Mega tersipu malu. Ia hendak mengucapkan sesuatu tapi terhenti karena kalimat Arya berikutnya sangat menyakitkan hatinya. "Bu Mega tidak perlu repot-repot membuat video saya. Untuk apa? Tidak ada gunanya, atau itu sekedar untuk kenang-kenangan?" Mega langsung protes. "Bukan. Bukan itu niat saya. Saya ingin mengabadikan ..." Arya tersenyum lebar. "Kalau memang untuk kenang-kenangan nggak apa-apa sih, Bu. Karena kalau tujuan ibu untuk hal lain, saya takut ibu akan kecewa." Wajah Mega menjadi aneh. Ada penasaran, ketegangan di sana. "Kecewa bagaimana? Maksud Pak Arya apa ya?" Arya tertawa kecil. "Maaf, Bu. Saya harus segera ke ruangan saya. Ada banyak mahasiswa yang sudah menunggu saya." Arya pami
Arya menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar. Ia langsung memutus panggilan itu dan memaki-maki dirinya dalam hati. Bisa-bisanya dia menghubungi wanita itu. "Bapak telpon siapa? Ponsel saya tidak berdering sama sekali? Apakah nomornya salah?" Dinda menatap terus ponsel yang dipinjamkan Arya padanya, yang masih diletakkan di meja. "Salah tekan. Saya pikir nomor yang saya tekan adalah nomor kamu tapi ternyata salah." Dinda terkekeh. "Nomor sang ratu kah?" "Ratu mana? Jangan ngaco." Arya begitu sewot. Baru kali ini, Dinda melihat wajah tidak suka Arya. "Hati-hati, Pak. Ntar malah jadi bucin, loh." "Apa itu bucin?" "Bucin = Budak Cinta doi." Dinda tergelak sendiri. Ia tahu nomor siapa yang tanpa sengaja ditekan Arya." "Saya sudah jadi bucin seseorang." "Oh..." Bibir Dinda membentuk huruf O lalu menutupnya dengan telapak tangannya. "Nggak pengen tahu siapa orangnya?" "Nggak deh, Pak. Ntar saya malah patah arang begitu tahu siapa orangnya." Olala. Dinda kembali meng
'Apa??!! Dia bilang bercanda? Hal sakral seperti ini dia bilang bercanda?' Arya memelototi Dinda yang kini bergerak cepat memasukkan semua barangnya ke dalam tas ransel. "Kamu sadar tidak dengan rencana aneh kamu itu?" "Saya kan tadi sudah meralat, Pak. Kalau saya cuma bercanda. Bapak sih terlalu serius. Jangan menanggapinya dengan serius." "Kamu salah! Kamu salah! Seharusnya, kamu tidak membicarakan topik seperti ini dengan orang dewasa." Arya bukan main geramnya. Baru kali ini dirinya diperdaya oleh seorang gadis. "Mama saya nggak masalah tuh, Pak. Beliau justru setuju." "Setuju?" Arya terkejut. Ia menyangsikan jawaban gadis itu. "Eh..." Aduh. Malah tambah runyam. Dinda menatap Arya dengan cemas. Ia harus bisa secepatnya keluar dari sini. Semakin lama dirinya ada di ruangan ini, akan semakin berbahaya mulutnya. Dan ia tidak ingin itu terjadi. Ia harus segera melarikan diri. "Jangan pernah bermimpi kamu bisa pergi dari ruangan ini dengan mudah!" ancam Arya. Pria itu berjalan
"Jadi gua harus kasih tahu alamat rumah gua ke doi, gitu?" Dinda menatap Mita ragu. "Ya nggak apa-apa. Kan beliau tanya, ya kamu jawablah. Lagian, belum tentu juga doi nyamperin ke rumah lu. Apalagi, doi udah punya gebetan. Lu kasih alamat palsu juga doi nggak bakal ngerti, tapi masa iya lu tega, menjerumuskan beliau yang sudah begitu baik sama elu?" Dinda tertegun ketika Mita menyebut kebaikan Arya. Dia sontak memukul keningnya sendiri, hingga membuat Mita terkejut. "Kalem, Din. Kalem. Nggak apa-apa. Lu salahnya cuma sedikit. Nggak perlu menyakiti diri sendiri seperti ini." Mita segera menarik tangan Dinda menjauh dari wajah gadis itu. "Bukan. Itu ponselnya ketinggalan." Dinda menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ketinggalan? Ponsel lu kan sedang diservis? Emang lu udah beli yang baru? Katanya nggak punya duit, malah udah beli yang baru aja." Dinda berdecak. "Bukan baru. Gua kan nggak punya duit, mana berani beli ponsel baru." "Terus ponsel siapa yang lu maksud barusan?" "
"Kemana anak ini? Mengapa belum pulang juga?" Sari menatap ponselnya. Berulang kali menghubungi Dinda tapi tetap tidak tersambung. Harus mencari anak itu kemana? Nomor ponsel teman-teman Dinda, tidak satu pun yang tersimpan di ponselnya. Mungkin ia harus meminta anak gadisnya itu memberikan satu nomor teman dekatnya, agar ia dapat menghubungi jika kondisi sedang darurat seperti ini. "Gimana, Ma? Dinda ada dimana?" Broto memapah Dani keluar dari kamarnya. Sari berjalan menyusul Broto dan membantu memapah putra sulungnya. "Tidak bisa dihubungi. Mama coba kirim pesan pun tidak dibaca-baca." "Ya sudah. Nanti saja kita coba hubungi lagi. Sekarang, kita harus cepat-cepat membawa Dani ke rumah sakit." Sari mengangguk. Ia memapah Dani sendirian, sedangkan Broto mengeluarkan mobil dari garasi. Suhu tubuh Dani tiba-tiba naik. Nyaris menyentuh angka 40 derajat. Jika saja Broto tidak cekatan menangkap Dani yang saat itu tengah berjalan keluar dari kamarnya, mungkin keadaan pria itu lebih p
Kedua kening Sari bertaut. Suara seorang priia? Mengapa bisa? Apakah telah terjadi sesuatu pada Dinda? "Halo?" Arya kembali menyapa. Yang ia dengar hanyalah suasana ramai yang ia tidak tahu latar belakang tempat asal suara. Diantaranya suara roda yang di dorong dengan cepat, ada juga suara tangisan anak-anak juga dewasa. *Ya. Halo. Maaf saya berbicara dengan siapa?" Sari mengubah suaranya menjadi tidak ramah. Siapa pria yang sudah berani mengangkat telponnya, di ponsel Dinda. "Maaf, Bu. Saya ..." Arya hendak menjelaskan duduk perkara sebenarnya, namun ia harus menundanya sebentar. Menghadapi ibu-ibu memang harus hati-hati. Ekstra hati-hati. "Tolong berikan kepada putri saya. Saya ingin bicara dengannya. Sangat penting! Seumur-umur dirinya hidup, baru kali ini Arya diperlakukan seperti ini. Apa sulitnya memberinya beberapa menit untuk menjelaskan semuanya? Apakah wanita itu sangat sibuk hingga tidak bersedia mendengarkan penjelasan darinya? Arya sama sekali tidak diberi waktu ole
Keterangan yang diberikan pemuda tampan di depannya sedikit membingungkan Sari. Biasanya, Dinda akan menceritakan setiap orang baru yang ia temui di kampus. Lebih lagi, jika orang itu memiliki penampilan yang sangat tidak biasa dari orang lain. Dan pria muda di depannya memiliki penampilan yang cukup mencolok, dan Sari yakin, jika pria ini adalah tipe-tipe yang sesuai dengan selera Dinda. Anehnya, mengapa Dinda tidak pernah menyinggung pria ini di depannya? Apakah sengaja dirahasiakan darinya? "Mengapa DInda tidak pernah cerita tentang kamu?" Arya tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu. Apakah itu artinya DInda sangat terbuka dengan keluarganya? Termasuk siapa saja orang yang dekat dengannya di kampus? Atau siapa saja yang menarik perhatiannya akan ia ceritakan kepada orang tuanya? Dan dirinya tidak menarik sama sekali bagi Dinda hingga ia tidak diceritakan kepada orang tuanya? Arya tersenyum kecut. "Saya tidak menonjol seperti yang lain, Bu. Lebih banyak diam daripa