"Dinda sakit?" Arya mengulang pertanyaannya karena Mita justru terkejut dengan jawabannya sendiri. "Eng -itu. Hmm, tidak seperti yang Bapak pikirkan. Dinda baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Mita berusaha menganulir jawabannya. Ia harus bisa meralat semuanya, agar bisa selamat dari amukan Dinda. "Dinda sakit tidak seperti yang saya pikirkan? Jelaskan pada saya maksud kalimat kamu itu!" Tatapan Arya sangat tajam, menembus langsung ke jantung Mita. Gadis itu sampai tidak berani bergerak sedikitpun. Mita tidak juga berbicara. Dirinya justru memilih untuk diam seribu bahasa, takut jika akan salah ucap lagi. Takut jika mulutnya semakin lancang, mengatakan hal lainnya. "Saya masih setia menunggu penjelasan kamu, dan tidak akan pergi sebelum kamu menjelaskan semua." Mita benar-benar mati kutu. Ia melirik ke lantai atas, tempat kamar Dinda berada, dan berharap Dinda masih sibuk memilih pakaian yang ingin ia kenakan. "Kamu sudah sehat?" Arya menatap ke arah Dinda ya
Mita bangun kesiangan hari ini. Ia terpaksa melewatkan sarapan pagi karena harus segera mengambil berkas pendaftaran S2. Gadis itu memang berencana untuk mengambil S2 setelah wisuda nanti. Mita cukup kencang melajukan mobilnya, hingga lupa jika ia sudah berjanji pada Dinda untuk menjemput sahabatnya itu. Saat melintas di depan gedung rektorat, ia tidak melihat seorang pun yang tengah mengantri di loket administrasi. Berarti pelayanan belum dibuka, mungkin beberapa menit ke depan. Waktu yang masih cukup panjang itu dimanfaatkan Mita untuk mengisi perutnya yang pagi itu tumben begitu cerewet. Kakinya melangkah keluar dari mobil saat panggilan terdengar dari ponselnya. "Astaga! Iya!!! Gua lupaaa! Sorry, Beb! Gua kelupaan. Bener-bener kelupaan. Gimana dong?" Mita merasa bersalah. "Oke. Gua tunggu aja lu di kantin kampus. Oh, nggak? Oke, kalau gitu gua ke kantin dulu. Kita ketemu di pintu masuk aja ya..." Perut yang keroncongan membuat Mita mengabaikan beberapa salam dari mereka yang
Arya menatap tajam pergelangan tangannya yang dicekal dengan sangat erat oleh Mega. "Tolong jauhkan tangan itu dari pergelangan tangan saya!" Kali ini, suara Arya berbeda dari sebelumnya. Sangat berbeda malah, dan itu membuat nyali Mega menciut seketika. "Saya ada perlu, dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan siapapun." Arya memutar badannya, dan melihat ke tempat Dinda dan Mita berdiri. Namun sayang, kedua gadis itu sudah tidak lagi berada di tempatnya. "Sial!!" umpat Arya dengan sangat kesal. Ia, dengan langkah lebar hingga nyaris terlihat seperti hendak berlari. menuju area parkir mobil. Hati kecilnya menuntun untuk segera naik ke mobil. Arya turun dari tangga dengan terburu-buru. Dalam benaknya, Dinda sedang merajuk, dan sengaja menjauh atau menghindari dirinya. Kedua sudutnya menangkap gerakan mobil yang tergesa meninggalkan parkiran. Ketika Arya sadar siapa yang berada di dalam mobil sedan itu, ia terlambat. Mobil itu melaju dengan cepat. Di saat dirinya sedang berpikir un
Netra Mega melebar selebar-lebarnya. Pemandangan di depannya sangat menusuk jantung dan hatinya sekaligus. Entah apa yang dirasakan wanita itu. Geram, marah, jengkel, sebal, cemburu, kesal. Semua itu bergabung menjadi satu. Ia berdiri mematung melihat semuanya, menjadi saksi bisu cinta Arya kepada Dinda. Setelah Arya berbisik, Dinda tidak juga memahami ancaman sang dosen. Kepalanya memutar ke kiri, mencari keberadaan Mita, tapi sayang, gerakan itu justru membuatnya merasakan sensasi aneh yang baru pertama kali ini, ia dan Arya rasakan. Bedanya, Dinda tidak siap sedangkan Arya sudah siap sepenuhnya. Pria itu memang sudah merencanakan ini sejak Dinda dan Mita meninggalkannya sendiri bersama Mega. Yang semula hanya terjadi karena sapuan tak sengaja Dinda namun ditunggu Arya, kini berubah menjadi gerakan intens Arya. Sapuan ringan menjadi kecupan ringan. Kecupan ringan menjadi kecupan mendalam, sangat lama dan sedikit menuntut. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Dinda kala itu. Gadis
Mita tiba lebih dulu di rumah Dinda. Ia memarkirkan mobil Arya di tempat biasanya ia memarkir mobilnya bila ia main ke rumah Dinda. Dani yang sedang duduk santai di sofa tamu langsung berdiri dari tempatnya. Suara mesin yang asing di telinganya, membuatnya keluar dari rumah."Mobil baru?" Dani menghampiri Mita, yang baru saja turun dari mobil.Mita menggelengkan kepalanya. "Bukanlah. Duit darimana beli mobil mehong begini.""Trus punya siapa? Calon kamu?""Calon apaan?""Ya calon suami-lah. Masa calon istri.""Calon suami gua mah bukan. Calon suami Dinda, baru betul.""Calon Dinda? Kamu udah ketemu dengan calon Dinda?" Dani terheran-heran. 'Apakah calon suami Dinda seorang mahasiswa yang juga belum lulus kuliah?'Mita mengangguk. Gadis itu duduk di kursi teras seraya melirik ke arah Dani. "Bang. Bagi minuman dong. Haus nih.""Kamu haus? Tuh di kolam airnya banyak. Ambil aja di sana. Gratis. Banyak vitamin lagi." Dani paling sebal dipanggil dengan panggilan bang. Ia merasa menjadi tu
Arya benar-benar menunggu kedatangan Broto dan Sari. Ia memilih untuk menunggu di ruang tamu, sedangkan Dinda masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Keberadaan Arya akhirnya memancing Dani untuk keluar dari kamarnya. Setelah ia melihat adegan Dinda dan Arya yang berdiri begitu dekat, Dani merasa perlu untuk menginterogasi Arya lebih lanjut. Seingatnya, ia pernah bertemu dengan pria yang sedang berbicara begitu dekat dengan adik semata wayangnya itu. Dani melihat Arya saat ia menuruni anak tangga satu per satu. Pria tampan itu sedang sibuk dengan ponselnya. "Kita pernah bertemu sebelumnya?" Dani memilih untuk bersikap hati-hati. Takut salah menegur orang. Arya tersenyum lebar. Ia langsung berdiri. Meski dilihat dari usia, jelas Dani lebih muda darinya. Arya memilih untuk tetap menjaga sikapnya. Setidaknya ia dapat memberi contoh untuk selalu menjaga sikap dan sopan santun kepada siapa pun, tanpa melihat batasan usia. "Apa kabar?" Arya menyambut uluran tangan Dani, mesk
Arya melepas penatnya sejenak setelah keluar dari mobilnya. Angin sepoi-sepoi yang datang, membuat dirinya mengantuk. Melirik jam di tangan kanannya, Arya bergegas bangkit dari duduknya. Ia memutuskan untuk merebahkan sejenak dirinya di atas kasur. Beragam emosi dari Dinda yang ia lihat seharian ini, membuatnya berpikir untuk mempercepat niatnya. Ia tahu jika gadis itu menyimpan rasa yang sama dengannya, tapi mungkin karena Dinda tipikal gadis yang tidak bisa menunjukkan perasaannya secara bebas seperti Mega, membuat Dinda bersikap seolah ia tidak memiliki perasaan apapun padanya. 'Mengapa sulit sekali membuatnya mengatakan kata itu? Atau ia terlalu malu untuk menunjukkan semua? Apa perlu diajarkan dan dibimbing dulu?' "Kusut banget wajahnya. Ada masalah apa?" Tiba-tiba Fahri masuk ke kamar Arya. Pria yang baru saja tiba dari luar kota itu, ikut berbaring di atas kasur Arya. Keduanya melihat ke langit-langit kamar yang sama. Arya tidak menjawab. Ia tidak tahu harus dimulai darima
"Meminta Dinda?" Broto mengetukkan telunjuknya di ujung sofa yang ia duduki. " Mama mana?" Dinda sedikit terkejut mendengar pertanyaan Broto. Ia masih terpaku pada perkataan Arya barusan."Eh-Anu, Pa. Itu-Mama sedang keluar sebentar." "Hmmm." Menghadapi Broto yang seperti ini, membuat nyali Arya sempat menciut. Ia baru merasakan wibawa seorang bapak ketika putrinya dilamar seseorang. "Kita tunggu Mama Dinda dulu, meski sebenarnya yang paling berhak memberi jawaban di sini adalah Dinda sendiri." Kepala Dinda semakin menunduk. Rasa panas dan malu mulai merayapi wajahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa jika diminta menjawab permintaan Arya atas dirinya. "Apakah kamu sudah tahu semua sikap buruk Dinda?" Arya terus terang menggeleng. "Hanya tahu beberapa saja, Om. Karena saya belum begitu lama mengenal Dinda." Broto menatap heran Arya." Baru mengenal sebentar tapi sudah berani datang kemari untuk melamar? Apa yang membuatmu melakukan ini semua? Kalau bahasa orang tua, kamu termasu