Bagaimana jika ini hanya sebuah tipuan? Atau ... mungkin Mas Rudi ingin menjebakku seperti yang istrinya lakukan kemarin-kemarin? Tidak! Aku tidak mau tertipu lagi! "Maaf, Mbak. Saya pulang saja!" Aku menghentikan langkah untuk mengekori Andin. Berbalik cepat berlawanan arah dengannya. Teringat kembali kejadian kapan hari. Saat Ibu mertua bilang bahwa Mas Rudi mengakui, aku telah menggodanya. Juga saat Mas Bram bilang bahwa Mas Rudi sudah menceritakan semuanya. Terkait chat dan foto tanpa hijabku itu. Astagfirullah! Bahkan ... suamiku sampai menatapku penuh rasa jijik. Aku tak sudi. Jelas, ini pasti jebakan. Aarrgh! Aku frustasi!"Mbak, tunggu!" Andini terus memanggil.Abaikan Inamah!Abaikan!Kupercepat langkahku. Semakin jauh meninggalkan perempuan itu. "Mbak! Mbak!" Ia masih terdengar mengejar. Tak peduli. Aku takut jika ini semua sengaja direncanakan untuk menjebakku.Jika saja tak ada Mas Rudi di sana. Mungkin, aku akan tet
"I-ini ...,"Lidahku kelu. Tak berani aku mengungkapkan dugaanku. Tatapan yang semula jelas mendadak keruh. pandanganku kabur. Aku ... aku tak sanggup. "Benar, Mbak. Mas Bram dan Lastri. Mereka--""Sudah. Hentikan!" Aku menatap tajam ke arah Mas Rudi. Kuseka sudut mata dengan jari sendiri. Bagaimana bisa istrinya berbuat seperti itu pada suami orang? Di mana perannya sebagai seorang suami? Memalukan!"Mbak! Dengar, apa yang Mbak pikirkan tidak seberapa dari apa yang sebenarnya terjadi." Lagi-lagi Mas Rudi berucap. Ia cerewet sekali. Kuamati lagi foto-foto itu. Mencermati dengan detil isi di sana. Berharap ada kejanggalan di foto-foto itu. Bisa saja, Andini dan Mas Rudi sengaja mengeditnya. Lelah membolak-balik. Hasilnya tetap sama. Foto itu bisa dipastikan asli. Tanpa editan maupun efek kamera yang disamarkan.Rabbi ....Kenyataan apa ini.Kurasakan Kia menggeliat tak nyaman. Mungkin, ia sama gelisahny sepertiku. "Biar anak mbak
Allah tidak pernah membebankan kesulitan di luar kemampuan hambanya. Mungkin .... Saat ini jalanku memang berliku. Bukankah fase kehidupan selalu demikian?Ada susah, ada senang. Ada bahagia ada derita.Namun, aku selalu yakin. Bahwa semua akan indah pada waktunya. *** Jarum pendek jam di dinding kamar menunjuk ke angka lima. Di luar, senja sudah mulai menyapa. Sementara itu, aku masih terdiam, tak beranjak dari pembaringan. Menuntaskan hajat putri kecilku. Kia. Memberinya asi. Tok! Tok! Tok!Aku terhenyak. Pikiranku sedang kemana-mana tadi. Kriiieeeet .....Kuarahkan pandangan menuju daun pintu. "Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh." Daun pintu kamar terbuka. Seiring langkah kaki dari luar masuk ke dalam. Mas Bram. Dia sudah pulang. Well, dia punya kunci cadangan. Oh, Astagfirullah! Apakah ia pernah membawa mantan tetanggaku itu ke sini saat aku pergi?Ah! Pikiranku sudah tak bisa terkendali
Kami makan dalam diam. Sibuk menyuap dan menyendok makanan masing-masing. Aku sedang tak ingin bicara apa pun. Sebelum tes DNA Hasan berhasil Mas Rudi berikan. Aku akan memilih bungkam. Tak membahas hubungan gelapnya bersama perempuan bernama Lastri itu. Lama kami terdiam. Kecanggungan menyelimuti kami. Setidaknya ada bahasan lain hang harus kusampaikan. Mulutku juga sudah gatal. Tapi, hati berusaha menahan semampu yang kubisa. Ayolah Inamah. Berpikir!"Mas," panggilku akhirnya. Sungguh, tak tahan sekali diam-diaman begini. "Iya?""Aku mau nagih hutang ke Mbak Lastri," ucapku mantap. Kutatap Mas Bram. Ia menghentikan suapannya. "Bukannya kemarin baru dibahas, Dek? Sudah. Abaikan saja. Ikhlas," ujarnya tenang. Ia juga menatap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu. Dia bersikap biasa saja. Ekspresi wajah pun, datar tanpa ada kerut khawatir di riak wajahnya. "Enggak. Maaf. Karena ini kewajiban. Aku harus mengingatkannya," kilahku. Pada
Aku tergugu. Menangis kesakitan. Malam ini, pria yang bergelar sebagai suamiku itu, bukan seperti Mas Bram yang kukenal. Ia sangat kasar."Maaf, Dek," ucapnya lirih. Membisik di telinga kiri. "Kamu tahu, kan. Masmu ini nggak suka jika ditolak," tambahnya lagi. Aku bergeming. Tak sedikit pun menoleh padanya. Kubungkus rapat tubuhku dengan selimut. Hanya menyisakan kepala saja. "Dek," panggilnya lagi. Kurasakan jemarinya membelai rambut. Jika aku ikhlas, mungkin tidak seperih ini, Mas. Sayangnya, kulakukan semuanya dengan terpaksa.Ya, terpaksa. "Aku capek, Mas. Sudah. Tidurlah." Mas Bram diam. Tak menjawab ucapanku. Beberapa menit berselang, terdengar dengkuran halus dari belakang. Ia pasti sudah tertidur. Pikiranku mengembara. Malam beranjak semakin larut. Tapi, kedua mataku enggan terpejam. Kenyataan pahit yang baru kudapatkan siang tadi. Bertambah perih dengan sikap Mas Bram yang kasar dan seolah tak mau peduli. Bahkan, dalam pandangan matanya tadi. Tampak seakan menyimpan ama
Gundukan tanah terbungkus rapat oleh rumput. Karena musim hujan, tampak subur sekali daun panjang berwarna hijau itu. Begitu duduk di sebelah pusara kedua orang tuaku. Rindu ini menyeruak hebat. Kepingan wajah Ibu dan Bapak menari di pelupuk mata. Senyum mereka, ke dua mata mereka. Seakan menatapku iba. Nasibku menyedihkan sekali. Kuusap perlahan nisan berwarna putih sedikit kusam, bergantian. Kelak, aku pun akan menyusul seperti ini. Lalu, apa yang akan kusombongkan jika semua berakhir?Kuembus napas panjang. Aku datang ke sini tak lain untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa, pada masanya nanti, aku pun akan dikuburkan. Tertimbun dalam tanah. Bersama tertanam sempurna. Betapa manusia sangat terbatas sekali kemampuannya. Sekuat hati kutahan air mata agar tak tumpah. Sesak sekali rasanya. Dada seakan terhimpit benda berat. Rabbi .... Al fatihah kubacakan. Doa untuk dilapangkan kubur kulangitkan. Betapa kini aku benar-benar merasa rindu pada mereka. P
"Coba tengok ke belakang, itu makam Bapak kamu, bukan?" Inamah menunjuk. Aku hampir terkesiap karenanya. Dadaku bergemuruh. Ya Tuhan. Bagaimana? Kugerakkan kepala, menoleh ke belakang. Tepat di sana, di belakangku yang berjarak hanya sejengkal saja, sebuah gundukan tanah bernisan putih. Benar, itu adalah makam almarhum Bapak. Apa yang harus kujawab pada Inamah? Haruskah aku jujur sekarang? Tapi, aku sudah berjanji. Bahkan pada Ibuku. Rahasia Bapak dan istri keduanya. Inamah tak boleh tahu. Kutoleh kembali wajah istriku itu. Sorot matanya seakan meminta penjelasan. Mendadak telapak tanganku dingin. Aku gugup. "Bukan, Dek," jawabku mencoba bersikap biasa saja. Datar. "Masa, sih? Tapi, kok namanya sama ya, Mas?" tanyanya masih memandangku. Lalu menatap lekat ke nisan di belakangku. Bolak-balik. Bergantian. Ya Tuhan. Aku harus jawab apa?! "Mmm--mungkin kebetulan aja, udah gih kalau mau ngedoa. Kasian Kia kepanasan," sergahku. Berharap ia tak memb
Tepat seperti dugaanku. Rupanya, kedatangan ibu, ingin memberitahu bahwa Lastri sedang ada di rumahnya. "Dia sedang terguncang. Rudi menjatuhkan talak tiga padanya. Mereka tak bisa rujuk. Bahkan sekarang pun, Rudi entah ada di mana. Lastri tak tahu." Ucapan Ibu menambah berat beban dalam hatiku. Kuembus napas kasar. Mungkin, sudah saatnya untuk jujur pada Inamah. Memberitahu semua fakta tentangku bersama Lastri. Lalu, meminta kelapangan hatinya agar mau menerima Lastri dan Hasan dalam rumah tangga kami. Ya, itu kalau Inamah mau. Tapi, kalau tidak? Bagaimana? "Aku butuh kamu, Mas." Lastri menatapku dalam. Aku sendiri bingung. Harus bagaimana setelah ini. "Rudi, dia ..,""Lupakan Mas Rudi! Kami sudah berakhir! Aku, hanya mau sama kamu, Mas. Beri hakku. Juga hak Hasan secara utuh." Lastri menekan kalimatnya. Ia bukan lagi meminta. Tapi memaksa. Kugaruk kepala yang tak gatal. Aku bahkan belum bicara apa pun pada Inamah. Ya Allah. Harus ba