Kami makan dalam diam. Sibuk menyuap dan menyendok makanan masing-masing. Aku sedang tak ingin bicara apa pun. Sebelum tes DNA Hasan berhasil Mas Rudi berikan. Aku akan memilih bungkam. Tak membahas hubungan gelapnya bersama perempuan bernama Lastri itu. Lama kami terdiam. Kecanggungan menyelimuti kami. Setidaknya ada bahasan lain hang harus kusampaikan. Mulutku juga sudah gatal. Tapi, hati berusaha menahan semampu yang kubisa. Ayolah Inamah. Berpikir!"Mas," panggilku akhirnya. Sungguh, tak tahan sekali diam-diaman begini. "Iya?""Aku mau nagih hutang ke Mbak Lastri," ucapku mantap. Kutatap Mas Bram. Ia menghentikan suapannya. "Bukannya kemarin baru dibahas, Dek? Sudah. Abaikan saja. Ikhlas," ujarnya tenang. Ia juga menatap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu. Dia bersikap biasa saja. Ekspresi wajah pun, datar tanpa ada kerut khawatir di riak wajahnya. "Enggak. Maaf. Karena ini kewajiban. Aku harus mengingatkannya," kilahku. Pada
Aku tergugu. Menangis kesakitan. Malam ini, pria yang bergelar sebagai suamiku itu, bukan seperti Mas Bram yang kukenal. Ia sangat kasar."Maaf, Dek," ucapnya lirih. Membisik di telinga kiri. "Kamu tahu, kan. Masmu ini nggak suka jika ditolak," tambahnya lagi. Aku bergeming. Tak sedikit pun menoleh padanya. Kubungkus rapat tubuhku dengan selimut. Hanya menyisakan kepala saja. "Dek," panggilnya lagi. Kurasakan jemarinya membelai rambut. Jika aku ikhlas, mungkin tidak seperih ini, Mas. Sayangnya, kulakukan semuanya dengan terpaksa.Ya, terpaksa. "Aku capek, Mas. Sudah. Tidurlah." Mas Bram diam. Tak menjawab ucapanku. Beberapa menit berselang, terdengar dengkuran halus dari belakang. Ia pasti sudah tertidur. Pikiranku mengembara. Malam beranjak semakin larut. Tapi, kedua mataku enggan terpejam. Kenyataan pahit yang baru kudapatkan siang tadi. Bertambah perih dengan sikap Mas Bram yang kasar dan seolah tak mau peduli. Bahkan, dalam pandangan matanya tadi. Tampak seakan menyimpan ama
Gundukan tanah terbungkus rapat oleh rumput. Karena musim hujan, tampak subur sekali daun panjang berwarna hijau itu. Begitu duduk di sebelah pusara kedua orang tuaku. Rindu ini menyeruak hebat. Kepingan wajah Ibu dan Bapak menari di pelupuk mata. Senyum mereka, ke dua mata mereka. Seakan menatapku iba. Nasibku menyedihkan sekali. Kuusap perlahan nisan berwarna putih sedikit kusam, bergantian. Kelak, aku pun akan menyusul seperti ini. Lalu, apa yang akan kusombongkan jika semua berakhir?Kuembus napas panjang. Aku datang ke sini tak lain untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa, pada masanya nanti, aku pun akan dikuburkan. Tertimbun dalam tanah. Bersama tertanam sempurna. Betapa manusia sangat terbatas sekali kemampuannya. Sekuat hati kutahan air mata agar tak tumpah. Sesak sekali rasanya. Dada seakan terhimpit benda berat. Rabbi .... Al fatihah kubacakan. Doa untuk dilapangkan kubur kulangitkan. Betapa kini aku benar-benar merasa rindu pada mereka. P
"Coba tengok ke belakang, itu makam Bapak kamu, bukan?" Inamah menunjuk. Aku hampir terkesiap karenanya. Dadaku bergemuruh. Ya Tuhan. Bagaimana? Kugerakkan kepala, menoleh ke belakang. Tepat di sana, di belakangku yang berjarak hanya sejengkal saja, sebuah gundukan tanah bernisan putih. Benar, itu adalah makam almarhum Bapak. Apa yang harus kujawab pada Inamah? Haruskah aku jujur sekarang? Tapi, aku sudah berjanji. Bahkan pada Ibuku. Rahasia Bapak dan istri keduanya. Inamah tak boleh tahu. Kutoleh kembali wajah istriku itu. Sorot matanya seakan meminta penjelasan. Mendadak telapak tanganku dingin. Aku gugup. "Bukan, Dek," jawabku mencoba bersikap biasa saja. Datar. "Masa, sih? Tapi, kok namanya sama ya, Mas?" tanyanya masih memandangku. Lalu menatap lekat ke nisan di belakangku. Bolak-balik. Bergantian. Ya Tuhan. Aku harus jawab apa?! "Mmm--mungkin kebetulan aja, udah gih kalau mau ngedoa. Kasian Kia kepanasan," sergahku. Berharap ia tak memb
Tepat seperti dugaanku. Rupanya, kedatangan ibu, ingin memberitahu bahwa Lastri sedang ada di rumahnya. "Dia sedang terguncang. Rudi menjatuhkan talak tiga padanya. Mereka tak bisa rujuk. Bahkan sekarang pun, Rudi entah ada di mana. Lastri tak tahu." Ucapan Ibu menambah berat beban dalam hatiku. Kuembus napas kasar. Mungkin, sudah saatnya untuk jujur pada Inamah. Memberitahu semua fakta tentangku bersama Lastri. Lalu, meminta kelapangan hatinya agar mau menerima Lastri dan Hasan dalam rumah tangga kami. Ya, itu kalau Inamah mau. Tapi, kalau tidak? Bagaimana? "Aku butuh kamu, Mas." Lastri menatapku dalam. Aku sendiri bingung. Harus bagaimana setelah ini. "Rudi, dia ..,""Lupakan Mas Rudi! Kami sudah berakhir! Aku, hanya mau sama kamu, Mas. Beri hakku. Juga hak Hasan secara utuh." Lastri menekan kalimatnya. Ia bukan lagi meminta. Tapi memaksa. Kugaruk kepala yang tak gatal. Aku bahkan belum bicara apa pun pada Inamah. Ya Allah. Harus ba
Dingin dan membeku. Tak ada kata yang terucap. Hanya kedua pandangan mata yang menyimpan sorot kesedihan. Inamah terdiam. Duduk di bibir kursi. Ia tak lagi mampu untuk berdiri. Tubuhnya memberi kode bahwa ia telah tumbang. Begitu pun hatinya. Hancur berserakan. "Dari sederet kisah masa lalumu itu. Kenapa bagian ini tak pernah kau ceritakan padaku, Mas? Kenapa kau menutupinya?" "Aku ... aku, bahkan sudah kau tipu sejak kita belum menikah." "Dan sekarang ...," Kalimat Inamah terhenti. Tenggorokannya tercekat. Ia lalu mengembus napas kasar. Beberapa menit terdiam, demi meredam gejolak amarah dalam hatinya.Sepi. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari bibir tipisnya itu. Sementara Bram, ia berdiri dengan lutut bergetar. Seolah tercabut tulang belulang dari dalam tubuhnya."Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua, Mas. Aku butuh waktu," ujar Inamah. Sebelum akhirnya ia berlalu pergi. Kembali ke dalam kamar. Ditinggalkannya Bram sendiri.
[Mas, kamu di mana? Kenapa nggak ada kabar?][Mas, aku ingin bicara penting. Datanglah. Aku tunggu.][Mas!][Mas! Jangan buat kesabaranku hilang. Ini penting tentang Hasan!][Maaaaaasss!!] Kedua mata Inamah bergerak membaca pesan dari Lastri. Tak lagi ada rahasia di antara Bram dan Inamah. Gawai suaminya telah berada dalam genggamannya. Sejak perbincangan hingga larut malam itu. Inamah belum kembali tidur. Sementara, Bram sudah terbuai dalam mimpi indahnya. Tersenyum miris. Inamah lalu menggelengkan kepalanya. Pantas saja suamiku begitu perhatian. Rupanya Hasan selalu kau jadikan umpan.Rabbi ....Inamah membatin lirih.[Besok saja kita bertemu. Ada banyak hal penting yang ingin aku sampaikan padamu.] Inamah membalas pesan kepada Lastri. Tentu saja dari nomor Bram. Sementara di ujung sana. Lastri terus bersorak gembira. Ia tak tahu bahwa bukan Bram yang membalas pesannya barusan.***Mendidik kesabaran diri. Sejatinya begitu ba
"Kamu beneran ingin tahu?" Bram menghentikan suapannya. Disingkirkannya piring yang masih berisi nasi goreng ke sisi kiri meja. Tak berselera."Pertanyaan kamu salah, Mas. Aku memang sudah tahu semuanya." Inamah menekan di akhir kalimat. Kilat matanya menyimpan luka. "Dek.""Sudahlah, Mas." Bram menatap iba. Berharap agar Inamah tak menghakiminya. Ia ingin meluruskan kesalah pahaman yang terjadi. Masalah Handoko dan Sarah. Ia tak terlibat sepenuhnya. "Kebohongan apalagi yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Kamu dan ibumu. Kenapa kalian tega sekali? Apa salahku di sini?" "Bukan begitu, Dek. Dengarkan penjelasanku dulu.""Apanya yang mau dijelaskan?"Inamah meraih saku dalam gamisnya. Meraih sesuatu yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi. Dapat! Selembar foto lalu ia sodorkan pada Bram. "Lihat! Apakah karena ini kalian membohongiku?" Inamah menyentak. Dadanya bergemuruh. Hatinya semakin panas dan tercabik-cabik. Meski begitu, ada perasaan lega tersendiri. Ia luapkan segalanya. Fakta