"Coba tengok ke belakang, itu makam Bapak kamu, bukan?" Inamah menunjuk. Aku hampir terkesiap karenanya. Dadaku bergemuruh. Ya Tuhan. Bagaimana? Kugerakkan kepala, menoleh ke belakang. Tepat di sana, di belakangku yang berjarak hanya sejengkal saja, sebuah gundukan tanah bernisan putih. Benar, itu adalah makam almarhum Bapak. Apa yang harus kujawab pada Inamah? Haruskah aku jujur sekarang? Tapi, aku sudah berjanji. Bahkan pada Ibuku. Rahasia Bapak dan istri keduanya. Inamah tak boleh tahu. Kutoleh kembali wajah istriku itu. Sorot matanya seakan meminta penjelasan. Mendadak telapak tanganku dingin. Aku gugup. "Bukan, Dek," jawabku mencoba bersikap biasa saja. Datar. "Masa, sih? Tapi, kok namanya sama ya, Mas?" tanyanya masih memandangku. Lalu menatap lekat ke nisan di belakangku. Bolak-balik. Bergantian. Ya Tuhan. Aku harus jawab apa?! "Mmm--mungkin kebetulan aja, udah gih kalau mau ngedoa. Kasian Kia kepanasan," sergahku. Berharap ia tak memb
Tepat seperti dugaanku. Rupanya, kedatangan ibu, ingin memberitahu bahwa Lastri sedang ada di rumahnya. "Dia sedang terguncang. Rudi menjatuhkan talak tiga padanya. Mereka tak bisa rujuk. Bahkan sekarang pun, Rudi entah ada di mana. Lastri tak tahu." Ucapan Ibu menambah berat beban dalam hatiku. Kuembus napas kasar. Mungkin, sudah saatnya untuk jujur pada Inamah. Memberitahu semua fakta tentangku bersama Lastri. Lalu, meminta kelapangan hatinya agar mau menerima Lastri dan Hasan dalam rumah tangga kami. Ya, itu kalau Inamah mau. Tapi, kalau tidak? Bagaimana? "Aku butuh kamu, Mas." Lastri menatapku dalam. Aku sendiri bingung. Harus bagaimana setelah ini. "Rudi, dia ..,""Lupakan Mas Rudi! Kami sudah berakhir! Aku, hanya mau sama kamu, Mas. Beri hakku. Juga hak Hasan secara utuh." Lastri menekan kalimatnya. Ia bukan lagi meminta. Tapi memaksa. Kugaruk kepala yang tak gatal. Aku bahkan belum bicara apa pun pada Inamah. Ya Allah. Harus ba
Dingin dan membeku. Tak ada kata yang terucap. Hanya kedua pandangan mata yang menyimpan sorot kesedihan. Inamah terdiam. Duduk di bibir kursi. Ia tak lagi mampu untuk berdiri. Tubuhnya memberi kode bahwa ia telah tumbang. Begitu pun hatinya. Hancur berserakan. "Dari sederet kisah masa lalumu itu. Kenapa bagian ini tak pernah kau ceritakan padaku, Mas? Kenapa kau menutupinya?" "Aku ... aku, bahkan sudah kau tipu sejak kita belum menikah." "Dan sekarang ...," Kalimat Inamah terhenti. Tenggorokannya tercekat. Ia lalu mengembus napas kasar. Beberapa menit terdiam, demi meredam gejolak amarah dalam hatinya.Sepi. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari bibir tipisnya itu. Sementara Bram, ia berdiri dengan lutut bergetar. Seolah tercabut tulang belulang dari dalam tubuhnya."Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua, Mas. Aku butuh waktu," ujar Inamah. Sebelum akhirnya ia berlalu pergi. Kembali ke dalam kamar. Ditinggalkannya Bram sendiri.
[Mas, kamu di mana? Kenapa nggak ada kabar?][Mas, aku ingin bicara penting. Datanglah. Aku tunggu.][Mas!][Mas! Jangan buat kesabaranku hilang. Ini penting tentang Hasan!][Maaaaaasss!!] Kedua mata Inamah bergerak membaca pesan dari Lastri. Tak lagi ada rahasia di antara Bram dan Inamah. Gawai suaminya telah berada dalam genggamannya. Sejak perbincangan hingga larut malam itu. Inamah belum kembali tidur. Sementara, Bram sudah terbuai dalam mimpi indahnya. Tersenyum miris. Inamah lalu menggelengkan kepalanya. Pantas saja suamiku begitu perhatian. Rupanya Hasan selalu kau jadikan umpan.Rabbi ....Inamah membatin lirih.[Besok saja kita bertemu. Ada banyak hal penting yang ingin aku sampaikan padamu.] Inamah membalas pesan kepada Lastri. Tentu saja dari nomor Bram. Sementara di ujung sana. Lastri terus bersorak gembira. Ia tak tahu bahwa bukan Bram yang membalas pesannya barusan.***Mendidik kesabaran diri. Sejatinya begitu ba
"Kamu beneran ingin tahu?" Bram menghentikan suapannya. Disingkirkannya piring yang masih berisi nasi goreng ke sisi kiri meja. Tak berselera."Pertanyaan kamu salah, Mas. Aku memang sudah tahu semuanya." Inamah menekan di akhir kalimat. Kilat matanya menyimpan luka. "Dek.""Sudahlah, Mas." Bram menatap iba. Berharap agar Inamah tak menghakiminya. Ia ingin meluruskan kesalah pahaman yang terjadi. Masalah Handoko dan Sarah. Ia tak terlibat sepenuhnya. "Kebohongan apalagi yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Kamu dan ibumu. Kenapa kalian tega sekali? Apa salahku di sini?" "Bukan begitu, Dek. Dengarkan penjelasanku dulu.""Apanya yang mau dijelaskan?"Inamah meraih saku dalam gamisnya. Meraih sesuatu yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi. Dapat! Selembar foto lalu ia sodorkan pada Bram. "Lihat! Apakah karena ini kalian membohongiku?" Inamah menyentak. Dadanya bergemuruh. Hatinya semakin panas dan tercabik-cabik. Meski begitu, ada perasaan lega tersendiri. Ia luapkan segalanya. Fakta
Seminggu berselang ....Inamah tampak sangat sibuk menyuapkan makan malam untuk Ani. Sementara, Bram sedang duduk di ruang tamu memangku Kia. Sejak pulang dari rumah sakit, Ani kini tinggal satu atap bersama Inamah. Berbagi tugas. Saling membantu satu sama lain. Inamah dengan sangat hati-hati menyuap sendok demi sendok makanan ke dalam mulut Ani. "Enak, Bu?" tanya Inamah lembut. Sedikit kesulitan, Ani pun menjawab. Dengan bibir yang sedikit miring, pengaruh sakit stroke yang dideritanya. Drrrrtttt! Drrrrrttttt! Gawai Bram bergetar berkali-kali. Diliriknya sekilas benda pipih yang diletakkan di atas nakas itu. Hatinya resah. Ia sudah hafal betul. Sudah pasti itu nomor Lastri. Terakhir, ia menemui perempuan itu untuk memberinya sedikit bantuan berupa uang. Demi menyelamatkan agar tak sampai terusir dari rumah Bu Yuyun. Bram berusaha menjaga jarak. Meski dalam hati ia
Aku buka lembaran baru. Bukan karena kalah oleh godaan orang ke tiga. Tapi, karena yang kuperjuangkan hanyalah sampah. Sesuatu yang menjijikkan tak mungkin aku pungut ulang. Biarlah ia membusuk bersama dengan sampah yang ia simpan.Benar kata Anggi. Sebelum semuanya terlambat. Aku harus segera mengakhiri. Secepatnya. *** "Dek, tolong, Dek. Tinggallah di sini dulu. Maafin Mas, Dek." "Mas nggak mau pisah sama kamu. Mas sayang banget sama kamu dan Kia." Terus saja Mas Bram merayu. Menyebut Kia agar iba itu datang lagi padaku. "Sudahlah, Mas. Jangan semakin banyak berakting. Aku sudah muak. Enak bener kamu selingkuh sampai lupa sama aku dan Kia. Trus, giliran mau pergi. Sekarang anakmu kau bawa-bawa!""Bukan begitu, Dek. Mas khilaf waktu itu. Tolong, mengertilah.""Khilaf? Kamu bahkan sudah bersumpah atas nama Allah tidak melakukan perbuatan
"Kamu boleh bangga dengan kehidupanmu, Mas. Tapi, kamu lupa. Bahwa semuanya adalah titipan. Allah tak pernah tidur. Orang zalim sepertimu, tinggal menunggu waktunya untuk tersungkur."*** Keluar dari mobil online. Sambil menggendong Kia dalam dekapan. Inamah berjalan ke luar. Melangkahkan kaki menuju taman edukasi. Di depannya, tampak jalanan berpaving dengan pohon besar di sisi kiri dan kanan. Meneduhkan. Hati Inamah gusar. Ia bingung harus pergi ke mana. Tak ada sanak saudara yang bisa dihubungi. Mau ke tempat Umi Safa, ia malu sekali.Sementara, diam saja di rumah Bram dan menerima segala pengkhianatan suaminya. Bukanlah solusi yang tepat. Ia jijik juga muak. Pada semuanya. Inamah berhenti saat Kia menggeliat dalam dekapan. Dipandanginya bayi mungil itu. Tergelincir sudah setitik air yang telah Inamah tahan sejak tadi. Tak menyangka dengan nasib yang dialaminya.Lebih-lebih pada Kia. Perceraia